Bab 9
"Mulai sekarang, WhatsApp aku saja kalau ada apa-apa."
"Aku lambat mengetik." Jason refleks menyahut.
"Ya kirim saja pesan suara atau telepon sekalian. Jangan bilang kamu nggak tahu fitur apa saja yang ada di WhatsApp."
Jason pun terdiam sesaat, lalu berujar, "Aku cuma ingin sebisa mungkin menghindari adanya kontak."
Pria tua itu pun memukul bagian belakang kepala cucunya.
Sayangnya, dia adalah arwah yang tidak memiliki wujud fisik. Tangannya langsung menembus kepala Jason, sementara cucu sulungnya itu sama sekali tidak bereaksi.
Alena sudah sering melihat pemandangan seperti ini.
Dia bahkan tidak tertawa.
"Cucu menantuku, jangan dengarkan perkataan bocah ingusan ini. Kalau kamu ada apa-apa, hubungi saja dia dan minta bantuannya. Dia juga nggak mungkin nggak akan membantumu. Kakek kasih tahu, ya. Biarpun bocah ingusan ini berlidah tajam, hatinya sebenarnya lembut. Dia adalah orang yang sangat bertanggung jawab. Karena sekarang kamu sudah sah menjadi istrinya, dia nggak mungkin mengabaikanmu."
Alena sebenarnya ingin mengatakan bahwa dia tidak memerlukan bantuan Jason.
Namun, dia mengurungkan niatnya.
"Oke, aku nggak akan mengganggu Pak Jason lagi, waktumu 'kan sangat berharga. Kalau sudah nggak ada apa-apa lagi, apa aku boleh pergi? Aku nggak mau membuang-buang waktu Pak Jason yang berharga."
"Ya, sudah."
Alena pun meminum air hangatnya lagi, lalu meletakkan gelasnya dan bangkit berdiri seraya berkata kepada Jason, "Oke, aku duluan, ya."
Jason kembali bergumam mengiakan tanpa bangkit berdiri untuk mengantar Alena.
Pria tua itu kembali mengayunkan tangannya memukul kepala Jason.
Aduh, bocah ingusan ini!
Kurang ajar sekali!
Alena pun berjalan keluar dari kamar presidensial itu tanpa menoleh ke belakang.
Pria tua itu mengikuti Alena.
Dia berjalan sambil berkata kepada Alena, "Cucuku, kamu nggak usah berdebat dengan Jason. Bocah itu memang sok dan sombong sekali. Waktu Kakek masih hidup, kadang Kakek gemas sekali mau memukulnya setiap kali sikap soknya keluar."
"Ah, itu sih cuma di bibir Kakek saja. Aslinya, Kakek sangat sayang padanya."
Alena tahu kakeknya Jason itu sangat menyayangi cucunya.
Pria tua itu terdiam sesaat, lalu berujar lagi, "Neneknya pasti akan mencambuknya. Kalau kamu ngadu ke neneknya, Kakek jamin neneknya akan membalaskan amarahmu dengan mencambuk Jason. Oh, neneknya Jason masih hidup kok. Sehat sentosa pula."
"Kakek, aku nggak marah. Nggak usah menghukumnya dengan dalih membalaskan amarahku."
Alena juga tahu neneknya Jason masih hidup, serta alasan Jason menikah kilat karena desakan neneknya.
"Tapi, dia nggak memperlakukanmu dengan baik."
Alena pun tersenyum. "Kakek, Jason dan aku itu menikah kilat. Kami bahkan nggak saling kenal sebelum punya buku nikah. Dia itu menunggu istrinya turun dari langit, begitu pula denganku. Cuma sebuah kebetulan semata kami jadi pasangan suami istri."
"Dia memperlakukanku seperti biasanya kok. Justru aneh kalau dia tiba-tiba jadi penuh perhatian dan penyayang di saat kami baru beberapa jam saling kenal. Apa Kakek percaya seandainya sekarang dia bilang dia mencintaiku?"
Pria tua itu langsung menggelengkan kepalanya.
"Tuh, hantu saja nggak percaya!" sahut Alena.
Pria tua itu pun terdiam.
"Cucuku, kamu tinggal di mana?" tanya pria tua itu mengganti topik pembicaraan.
"Gunung Tanpa Nama."
"Seperti nama tempat tinggal orang sakti."
Alena sontak tertawa. "Kakek, aku bukan orang sakti, aku cuma orang miskin."
"Orang miskin apanya! Kamu itu istri cucu sulung Keluarga Pramana! Malah begitu melihatmu, Kakek merasa kamu itu gadis yang sangat beruntung dan baik. Kamu pasangan yang cocok buat Jason. Kalau kamu nggak punya uang, beri tahu Kakek saja. Nanti akan Kakek berikan."
Sudah beberapa tahun semenjak pria tua itu meninggal, arwahnya juga terkadang muncul. Namun, tidak ada satu orang kerabatnya pun yang dapat melihat atau mengobrol dengannya.
Sebuah hal yang langka bisa bertemu dengan cucu menantunya, bahkan mengobrol dengannya tanpa rasa takut. Justru saking asyiknya mengobrol dengan Alena, pria tua itu sampai lupa bahwa sekarang dia hanyalah sesosok arwah. Dia bahkan bisa-bisanya bilang akan memberikan Alena uang jika Alena memintanya.
Alena pun berjalan ke pintu masuk lift, lalu berhenti dan menoleh menatap pria tua itu sambil berujar mengingatkannya dengan geli, "Kakek, uang yang bisa Kakek berikan kepadaku itu uang alam baka, bagaimana aku bisa pakai? Nanti saja kalau aku mati saat tua nanti dan kehabisan uang baru aku minta ke Kakek."
Pria tua itu pun menepuk dahinya sendiri sambil tersenyum dengan kikuk. "Ya ampun, Kakek sampai lupa Kakek sudah mati saking asyiknya mengobrol denganmu. Ya sudah, nanti Kakek datang saja ke mimpi Jason dan menyuruhnya untuk memberikanmu kartu hitam yang bisa kamu pakai sepuasnya. Kakek kasih tahu, ya. Jason itu punya aset pribadi senilai triliunan, Keluarga Pramana juga adalah keluarga triliuner. Kamu bebas membelanjakan uang kami sesuka hatimu."
"Terima kasih, Kakek, tapi nggak perlu kok. Aku sudah terbiasa menggunakan uang yang kuhasilkan saja. Sudah, Kakek cepat kembali sana. Kalau kelamaan nanti kaki Kakek keburu hilang."
Alena berujar sambil menunjuk ke kaki pria tua itu yang sudah tampak transparan di bawah betis. Ini pasti karena arwah pria tua itu terikat dengan jam tangan yang Jason gunakan, tetapi sekarang dia berada terlalu jauh dari jam tangan itu. Alena juga tidak tahu kenapa bisa seperti ini.
Namun, dia juga tidak ingin tahu.
Karena Alena yakin semua hal di dunia ini mengikuti hukum sebab-akibat.
Pria tua itu pun menundukkan kepalanya, lalu memekik, "Sialan, lagi-lagi jadi transparan! Oke, dadah, cucu menantuku."
Setelah berkata seperti itu, pria tua itu pun berbalik badan dan berlari pulang.
Begitu dia berlari, betisnya kembali terlihat.
Pintu lift pun terbuka dan Alena masuk ke dalamnya.
Begitu dia pergi, Jason melangkah menuju lift bersama sekelompok pengawalnya.
Arwah pria tua itu sudah tidak terlihat, pasti karena sudah kembali ke dalam jam.
Daniel, yang mengikutinya, ingin berbicara tetapi berhenti.
Setelah Jason menyadarinya, dia menoleh dan melirik ke arah Daniel. Hati Daniel bergetar dan dia dengan cepat berkata, "Pak Jason, setelah Nona Alena keluar, dia tidak tahu bicara dengan siapa. Dia berbicara sepanjang jalan sampai dia memasuki lift."
Mata Jason tampak dalam, entah apa yang sedang dia pikirkan. Dia mendengarnya, lalu bertanya, "Apa kamu belum pernah mempelajari kata 'berbicara pada dirimu sendiri'?"
Daniel terdiam.
Dia merasa Nona Alena tidak sedang berbicara pada dirinya sendiri, tetapi benar-benar berbicara dengan seseorang.
Namun, setelah dia berusaha melihat, dia tidak melihat orang kedua selain Nona Alena.
Mungkinkah Nona Alena benar-benar sedang berbicara pada dirinya sendiri?
Apa yang dikatakan Daniel mengingatkan Jason saat dia menuangkan air untuk Alena di dalam kamar. Alena sepertinya sedang berbicara dengan seseorang, tetapi saat itu hanya mereka berdua yang ada di ruangan itu.
Dia juga tidak bicara dengan Alena.
Mungkinkah Alena adalah orang gila?
Dia suka bicara sendiri?
Jason menyesalinya lagi.
Dia menyesal karena telah marah pada neneknya dan menikah kilat dengan Alena tanpa memahami Alena.
Meskipun dia bisa segera bercerai, setelah bercerai, neneknya akan mulai mendesaknya untuk menikah tanpa henti. Dia benar-benar muak dengan desakan neneknya untuk menikah.
Bagaimanapun, dia dan Alena menjalani pernikahan rahasia. Dia tidak bertanya pada Alena di mana wanita itu tinggal dan Alena juga tidak menanyakannya. Mereka masih orang asing yang tidak saling mengganggu. Kalau Alena itu gila, hal itu juga tidak akan memengaruhinya.
Hal ini bahkan juga dapat membantunya menghalangi desakan menikah neneknya.
Jason pun menghilangkan penyesalannya.
Tidak ada penyesalan!
Mana mungkin seorang Jason Pramana akan menyesal? Prinsip Jason adalah jangan pernah melakukan apa pun yang akan dia sesali.
Setelah keluar dari Hotel Makmur, Alena segera melaju pergi.
Dia pulang ke Gunung Tanpa Nama.
Dia belum menulis jatah bab baru sebanyak 4.000 kata untuk hari ini.
Mungkin dia bisa sampai rumah sekitar pukul 16.00. Habis itu, dia akan mengerahkan segenap tenaga untuk mengunggah bab baru, lalu makan malam. Setelah itu, dia akan menonton TV sambil bersantai dengan kucing peliharaannya. Menenangkan sekali.
Sayangnya, manusia boleh berencana sedangkan langit-lah yang berkehendak. Jalanan mendadak macet.
Saat Alena mengemudikan mobilnya kembali ke rumah Keluarga Kusuma, waktu sudah menunjukkan pukul 18.00.
Siana hendak pergi ke ladang sayur untuk menyiram sayuran, tetapi dia meletakkan ember pupuk yang dia bawa begitu melihat Alena sudah pulang.