Bab 9
Lily menatap sang ibu yang selalu menyalahkannya, seraya menatapnya penuh penyesalan.
"Kalau ini ada hubungannya dengan Sandy, bagaimana?" tanya Lily.
"Jangan keras kepala," jawab Karina sambil berdiri, dengan nada menasihati.
"Sudah berapa kali Ibu bilang, pria itu susah payah mencari nafkah. Kamu itu harus pengertian, sabar, jangan setiap saat marah-marah."
Selama dua tahun ini, sikap dingin dan acuh Sandy terhadap Lily sudah sering dia keluhkan.
Akan tetapi, setiap keluhannya selalu dimentahkan oleh Karina dengan kata-kata semacam itu.
Meski begitu, Lily rupanya mampu bertahan selama dua tahun. Alasannya hanya satu, cinta pada pandangan pertamanya pada Sandy, telah berkembang kian mendalam.
Kini, dia berpikir, kalau Sandy tidak selingkuh, apakah dia akan menjadi seperti Karina? Perempuan yang terus dipengaruhi untuk menjadi sosok yang rendah hati dalam pernikahan, bahkan menjadi pihak yang paling dirugikan?
Karina hampir menginjak usia lima puluh, tetapi tubuhnya masih seperti perempuan berusia tiga puluhan.
Dia terlihat sangat muda. Ada banyak nyonya besar dari keluarga tersohor yang iri melihat tubuhnya.
Namun, itu hanya saat di luar. Ketika kembali ke keluarga Juliardi, Lily melihat ibunya berubah menjadi perempuan yang tidak memiliki hak suara dan harus selalu berhati-hati dalam setiap tindakannya.
Lily sama sekali tidak iri dengan kehidupan ibunya yang tampak mulia di luar, tetapi harus tunduk di dalam rumah.
"Pulang sana ke rumah dan minta maaf pada Sandy. Jangan sampai kamu buat dia marah lagi," ujar Karina sambil duduk kembali.
Tatapan lembutnya pada Lily, kini tampak murung. Ada sedikit rasa kecewa, tetapi juga tersirat rasa iba.
Bagaimanapun juga, Karina adalah ibunya. Dia pun mencoba berbicara lebih lembut, "Wanita itu hidupnya bergantung pada lelaki, Sayang. Semua yang kamu makan, kamu pakai, itu semua dari Sandy …"
Perkataan itu membuat Lily teringat akan tatapan menghina Sandy.
Setiap bulan, kamu dapat 100 miliar uang jajan. Tugasmu cuma menyiram bunga, menanam tanaman, dan tidur denganku. Perlakuan seperti ini masih kurang enak, ya?'
Setiap kali ia mengingat kata-kata itu, hatinya terasa nyeri, seolah terluka kembali.
Dia mungkin bisa menjadi ibu rumah tangga demi Sandy. Dia mungkin bisa menerima sikap Sandy yang selalu memperlakukan dirinya lebih rendah. Akan tetapi, dia tidak bisa bertahan dalam pernikahan ini jika tahu bahwa Sandy sama sekali tidak mencintainya!
Dia menggigit bibirnya, jarinya mencengkeram ujung bajunya, dan matanya menunjukkan tekad yang semakin kuat.
"Bu, kenapa sih Ibu merendahkan diri kalian sebagai wanita?" Hans tiba-tiba terdengar dari lantai atas. Dia meluncur turun sambil menggulung lengan bajunya. "DI zaman sekarang ini, pria dan wanita derajatnya sudah setara, 'kan?"
Cara bicara Karina kepada Hans, berbeda dengan yang dia lakukan dengan Lily. Kali ini, terdengar lembut, bahkan penuh kasih sayang, "Dasar anak nakal, ini bukan urusanmu!"
Hans dua tahun lebih muda dari Lily. Dia juga anak kesayangan keluarga Juliardi.
Lily sering mendengar Karina berkata bahwa saat Lily lahir sebagai anak perempuan, seluruh keluarga Juliardi kecewa.
Karina bahkan tidak berani menyusui Lily. Begitu selesai masa nifas, dia langsung mencoba hamil lagi.
Untungnya, Tuhan masih berbaik hati. Setelah satu setengah tahun, Karina melahirkan Hans. Baru setelah itulah posisi Karina sebagai nyonya keluarga Juliardi benar-benar kokoh.
Lily mendengarkan kisah itu dengan perasaan getir. Namun, tidak ada sedikit pun kesedihan dalam suara atau ekspresi Karina.
Yang terlihat justru kepuasan ... karena dirinya mampu membuktikan diri dan melanjutkan garis keturunan keluarga Juliardi.
Lily tahu, dia dan Karina memiliki pandangan hidup yang sangat berbeda. Bahkan, jika saat ini Lily mengungkap perselingkuhan Sandy, Karina tetap tidak akan membelanya.
"Kenapa ayah suruh aku pulang?" Lily merasa tak bisa tinggal lebih lama.
Dia takut jika Karina bicara lebih jauh, dia tidak akan mampu menahan diri untuk mengatakan bahwa dirinya ingin bercerai dengan Sandy!
"Beberapa hari yang lalu dia ke luar kota dan bawa oleh-oleh. Kamu kan mau ke rumah keluarga Febrianto hari ini, bawakan juga buat mereka," kata Karina.
Karina langsung menyadari bahwa Lily ingin pergi. Dia kembali duduk sambil menarik tangan Lily, lalu berbicara panjang lebar, "Kamu sudah menikah dua tahun, tapi kok belum ada kabar hamil juga. Ayah mau ajak kamu ke dokter buat periksa."
Beberapa hari yang lalu, berita tentang Sandy yang merayakan ulang tahun Shita besar-besaran sempat terdengar telinga Cahyo.
Cahyo khawatir posisi Lily di keluarga ini tidak aman.
Mendengar tentang kehamilan, hati Lily terasa seperti disayat pisau tajam. Luka itu terasa nyata, menganga, dan berdarah-darah.
Sandy pernah memberinya sebotol pil kontrasepsi. Dia bahkan selalu memastikan agar Lily menelannya setelah berhubungan.
Kerjaanku terlalu sibuk. Aku nggak mau terganggu oleh anak dulu. Kita tunggu beberapa tahun lagi,' begitulah kata Sandy.
Sekarang, meskipun terasa pahit, Lily justru bersyukur. Tidak punya anak berarti dia bisa bercerai tanpa beban.
"Sepertinya nanti saja kalau ada waktu."
Lily langsung berdiri dan mendesak Karina untuk mengambilkan oleh-oleh yang dimaksud.
Karina pun beranjak sambil tetap mengoceh.
"Kamu jangan meremehkan ini, ya. Sandy itu terlalu hebat. Wanita yang mau mendekatinya pasti banyak. Kamu itu harus cepat punya anak agar posisimu resmi di mata semua orang. Jangan sampai dia memikirkan wanita lain!"
Setelah selesai bicara panjang lebar, Karina melihat Lily hanya diam tanpa menjawab. Dia langsung menarik kembali oleh-oleh itu, "Aku akan carikan dokter yang bagus buat memeriksamu. Kamu harus ikut!"
"Nanti saja kalau ada waktu, baru kita bicarakan," jawab Lily mencoba menghindar.
Namun, Karina enggan memberikan oleh-oleh itu jika Lily tidak berjanji.
Akhirnya, Lily pun menyerah. "Oke, aku akan pergi kalau Ibu sudah atur jadwalnya. Tapi sekarang aku mau jalan dulu."
Hans mencari alasan untuk mengambil jaket dan ikut keluar bersamanya.
"Kenapa nggak bawa mobil, Kak?" tanya Hans. Dia datang dengan mobil sport hitam yang mencolok.
Biasanya, Lily akan memarkir mobilnya di sebelah mobil Hans saat pulang. Namun, hari ini, tidak ada mobil di sebelahnya. Bahkan, halaman parkir juga kosong.
Lily membuka pintu penumpang dan masuk, "Aku nggak bawa. Kamu mau ke mana? Turunin aku di halte bus saja kalau searah."
Hans masuk ke mobil dan menyalakan mesin, lalu melirik kakaknya dari sudut mata.
Mobil itu melaju keluar dari apartemen keluarga Juliardi dan masuk ke jalanan yang ramai.
"Kak, kamu ada masalah, ya?"
"Kenapa tanya begitu? Nggak ada apa-apa, kok." Lily memandangnya sekilas dengan wajah datar.
Hans memiliki kepribadian yang santai dan sembrono, tetapi juga sangat peka, "Biasanya, kalau Ibu ngomel, kamu cuma sekadar mencoba membantah, tapi akhirnya tetap menuruti keinginannya. Tapi hari ini kamu malah menghindar. Asal kamu tahu, ya. Semakin kamu menghindar, semakin jelas ada sesuatu yang disembunyikan."
Lily tidak pernah menyadari bahwa dirinya bisa terbaca seperti itu.
Saat itu juga, dia menyesal telah naik ke mobil Hans. Ruang sempit di dalam mobil itu hanya diisi mereka berdua.
Sebuah perasaan hampa muncul secara spontan dalam hatinya.
Ketika Hans berhasil memecahkan kebisuannya, Lily bingung harus menjawab apa.
"Waktu kamu baru lulus kuliah dan diterima di salah satu perusahaan desain paling hebat, aku sangat bangga padamu. Tapi kemudian kamu justru memilih menikah dan jadi ibu rumah tangga. Meskipun kamu nggak pernah mengakuinya, aku bisa lihat kamu sebenarnya nggak bahagia dengan pilihanmu."
Hans menggaruk kepalanya, tampak sedikit canggung, "Aku nggak pandai ngomong tentang hal-hal sentimental, aku juga nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi sama kamu. Tapi aku cuma mau bilang, hidupmu itu nggak cuma soal pernikahan. Masih ada banyak hal lain yang bisa kamu capai."
Lily menangkap maksud dari kata-kata Hans.
Sekarang, seluruh perhatian dan energinya memang tercurah pada Sandy. Alhasil, suasana hatinya yang buruk hampir pasti berkaitan dengannya.
Hans mencoba menyadarkannya, agar tidak terus-menerus hanya memutar hidupnya di sekitar Sandy.
"Hans, filosofi hidupmu tinggi sekali, terus apa kamu sudah punya rencana buat mengatur hidupmu selanjutnya?"
Lily mengalihkan topik dengan lihainya.
"Ayah mau aku masuk perusahaan, tapi aku menolaknya. Minatku bukan di situ. Aku dan beberapa teman lagi ngembangin permainan. Jangan pikir aku nganggur, ya! Industri permainan sekarang itu sangat menjanjikan. Nanti, kalau aku sukses, aku yang bakal ngasih kamu dukungan. Kita nggak perlu lagi tunduk sama Sandy. Kenapa sih cuma karena satu kata dari dia, kamu harus tinggal di rumah dan melupakan semua mimpimu?"
Hans berbicara panjang lebar, dengan mata berbinar, mengingatkan Lily pada masa ketika dia baru menerima kabar diterima bekerja di perusahaan desain impiannya dulu.
Keluarga Juliardi memang patriarkal, sangat memihak anak laki-laki. Sejak kecil, Lily sudah merasakan ketidakadilan itu.
Namun, hubungan kakak beradik antara Lily dan Hans tetap erat. Waktu kecil, setiap kali Cahyo pulang, dia hanya membawa kue kesukaan Hans saja.
Hans yang awalnya tidak menyadari makna perlakuan itu, lama-lama mengerti. Setelah tahu, Hans diam-diam sering bertanya pada Lily, apa yang dia sukai, lalu meminta Cahyo membawakannya juga.
Karena itulah, Lily tidak pernah ada rahasia dengan Hans, termasuk soal impiannya menjadi desainer terkenal.
Hati Lily yang semula tertekan oleh Karina, perlahan membaik karena kata-kata Hans. Senyum kecil pun mulai menghiasi bibirnya.
Setelah sampai di dekat apartemen Yunia, Lily turun dari mobil dan melambaikan tangan pada Hans sebelum dia pergi. Dia membawa dua kotak hadiah dan mulai berjalan menuju rumah Yunia.
Begitu tiba di pintu masuk kompleks apartemen, ponsel di dalam tasnya berbunyi. Dia mengeluarkannya dan melihat nama yang muncul, panggilan dari rumah utama keluarga Febrianto.
"Nyonya … Nyonya Muda, ada kabar buruk! Rumah utama kebakaran! Nyonya Besar …" Suara panik seorang pelayan keluarga Febrianto terdengar dari seberang.
Lily menggenggam kotak hadiah di tangannya lebih erat, "Apa yang terjadi? Bukannya nenek sedang pergi ke gunung?"
"Anda jangan tanya dulu, Nyonya … ya ampun! Tolong segera hubungi tuan muda agar cepat pulang!"
Yang disebut pelayan itu sebagai, Nyonya Besar, adalah nenek Sandy, Lidya.
Lily segera menutup telepon. Dia mencoba menghentikan taksi dengan satu tangan, sambil menelepon Sandy.