Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 7

Gedung tinggi menjulang yang berdiri kokoh itu tampak tak berujung. Lily menengadah hingga lehernya hampir terasa kaku. Ini pertama kalinya dia menginjakkan kaki di Grup Striva. Dia tahu bahwa keluarga Juliardi tak bisa dibandingkan dengan keluarga Febrianto. Namun, dengan berdiri di depan gedung pencakar langit ini, dia melihat para karyawan dengan jumlah tak terhitung yang tak henti-hentinya keluar masuk. Barulah saat itu Lily menyadari, ini bukan lagi soal tidak bisa dibandingkan, melainkan benar-benar tak ada pembandingnya sama sekali. Bahkan, di masa kejayaannya dulu, keluarga Juliardi tetap tak sebanding dengan keluarga Febrianto. Banyak karyawan perempuan di perusahaan ini, bahkan resepsionis pun mengenakan setelan formal dan riasan wajah yang sempurna. Dalam lingkungan seperti ini, tak heran jika Sandy memandang rendah Lily yang hanya menjadi ibu rumah tangga. Padahal, menjadi ibu rumah tangga adalah pilihan yang dia ambil demi mendukung Sandy. Lily menggigit bibirnya perlahan. Perasaan rendah diri yang sulit dijelaskan menyelimuti hatinya, membuat napasnya terasa berat. Dia berjalan menjauh dan mencari sudut yang sepi untuk menelepon Tara. "Nyonya." "Pak Tara, akua ada di lantai bawah, bisa tolong …" Lily sebenarnya tidak berniat naik. Dia hanya ingin Tara mengantarkan dokumen dan sup itu ke Sandy. Namun, belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Tara sudah memotong, "Saya sedang rapat. Saya akan suruh seseorang buat menjemput Anda." Lily terdiam sambil ternganga sejenak, "Bukan, aku cuma …" Lily semakin tercengang melihat telepon yang diputus. Tak sampai dua menit, asisten Tara pun keluar. Dengan sikap hormat, dia mempersilakannya untuk naik ke atas. "Kamu tinggal serahkan ini ke Sandy saja," ujar Lily sambil menyerahkan dokumen dan termos sup itu. "Maaf, Nona. Dokumen yang langsung ditujukan ke Pak Sandy tak boleh melalui perantara kami. Mohon Anda yang mengantarkannya sendiri." Asisten itu menjawab dengan senyum sopan, lalu membimbing Lily masuk ke dalam gedung. Lily akhirnya tak punya pilihan selain mengikutinya masuk. Di tempat lain. Kantor CEO. Sandy baru saja selesai rapat. Wajahnya tampak begitu kesal, alisnya mengerut tajam, dan tangan berototnya dengan jari-jari panjang menarik dasinya dengan keras dua kali. "Pak Sandy, Nyonya ke sini," ujar Tara sambil ikut masuk, lalu meletakkan sebuah dokumen di mejanya. Gerakan Sandy terhenti sejenak. Kerutan di dahinya sedikit mereda, sorot matanya yang dalam pun memancarkan sedikit ejekan. Semalam, Lily masih terlihat angkuh. Namun, hari ini dia malah datang sendiri dan memohon untuk bertemu dengannya? Sandy tidak menunjukkan tanda-tanda ingin menolak. Jemarinya menyentuh dagu, seakan tengah memikirkan sesuatu. "Apa rapat yang dijadwalkan sepuluh menit lagi harus ditunda?" tanya Tara. Sandy merenung sejenak sebelum menjawab, "Tunda setengah jam." Meskipun Lily datang untuk meminta maaf, dia tidak akan memaafkannya dengan begitu mudah. Sandy berencana untuk membuatnya jera dulu. Kalau tidak, bisa saja dia akan mengulanginya di lain waktu. Dengan begitu, sepuluh menit jelas tidak akan cukup. "Baik," ujar Tara sambil segera mengeluarkan ponselnya, bersiap memberi tahu semua departemen untuk menunda rapat. Sementara itu, Lily naik ke lantai atas menggunakan lift biasa, ditemani oleh asisten Tara. Ada orang yang turun pada setiap lantainya, itu sebabnya memakan waktu lebih lama sebelum akhirnya sampai ke lantai tertinggi. "Apa Sandy ada di kantornya?" tanya Lily tiba-tiba. "Belakangan ini Pak Sandy sibuk sekali. Setelah rapat satu selesai, dia langsung lanjut ke rapat berikutnya. Kata Pak Tara, dia bahkan menginap di kantor beberapa hari ini. Malam-malam pun masih harus memimpin rapat internasional. Aduh, pasti lelah luar biasa ..." Asisten Tara mulai berbicara panjang lebar, yang sama sekali tidak menjawab pertanyaan Lily. Namun, Lily justru merasa tergerak. Mendengar semua itu, keningnya berkerut semakin dalam. Sandy punya masalah lambung, semua itu karena pola makan yang tidak teratur akibat pekerjaannya yang berlebihan. "Sudah sampai." Asisten Tara berhenti di depan pintu, "Nona, silakan masuk sendiri. Saya harus mengurus hal lain!" Sebelum Lily sempat menjawab, asisten itu sudah pergi menjauh, meninggalkannya sendirian di depan pintu. Dia memandang dua pintu kayu hitam di depannya, sebuah aura tegas terasa menyambutnya. Lily membayangkan Sandy yang mengenakan setelan jas, dengan gaya yang memancarkan wibawa, masuk dan keluar dari pintu ini. Setelah meletakkan barang-barangnya, dia akan pergi begitu saja dan tak peduli apa kata-kata kasar yang keluar dari mulut Sandy. Dia akan pura-pura tak mendengarnya. Dengan pemikiran itu, dia pun mendorong pintu dan masuk. Di dalam sana, seluruh ruangan tampak berhiaskan warna abu-abu gelap, serasi dengan sosok Sandy yang dingin dan angkuh, mencerminkan kemewahan yang tersembunyi, tetapi terasa kuat. Sebuah jendela besar dari lantai ke langit-langit membiarkan sinar matahari pagi menyinari seluruh kantor. Di udara, aroma lembut khas Sandy mengambang di sekitar hidung Lily, memunculkan kenangan yang tak tepat waktunya. Saat mereka masih dekat, kedua tangan kekar dan hangat Sandy akan melingkari pinggang rampingnya. Di setiap arah pandangnya, hanya ada dada kekar berwarna cokelat madu dengan otot-otot yang jelas terlihat. Hanya pada saat-saat seperti itu, dia bisa merasakan keberadaan Sandy yang nyata, dengan mencium aroma tubuhnya. Di dalam kantor, semuanya tampak kosong, bahkan tidak ada sosok manusia. Sandy pun tidak ada di sana. Dalam sekejap, hatinya terasa seperti berlubang, disapu oleh kekosongan yang tak terlukiskan. Apakah Sandy sedang sibuk, ataukah dia tahu Lily datang dan tak ingin menemuinya? Meskipun dia memang tidak berniat menemui Sandy, kenyataan bahwa dia benar-benar tak ada di sini membuat rasa kecewa yang tak terkendali hampir menelannya bulat-bulat. Lily berdiri di tengah ruangan selama beberapa saat. Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, lalu melangkah menuju meja kerja Sandy. Dia meletakkan termos berisi sup dan setumpuk dokumen di atas meja. Tanpa disadari, pandangannya tertuju pada sebuah lengan jas yang terjuntai di tepi meja. Jas itu sedikit kusut dan samar-samar berbau asap rokok. Bukankah Sandy sangat peduli kebersihan? Dulu, sesibuk apa pun, dia selalu menyuruh Tara pulang untuk mengambil pakaian bersih. Lily masih ingat bagaimana dulu dia selalu menyetrika pakaian Sandy, agar siap digunakan kapan saja diperlukan. Lily meragu dan bertanya-tanya, apakah dia harus membawa pulang jas itu untuk dicuci seperti dulu? Namun, sebelum dia sempat memutuskan, tangannya sudah lebih dulu mengambil jas itu. Ketika dia kembali sadar, jas itu sudah tergantung di lengannya, seolah dia telah memutuskan untuk membawanya pulang. Dia kesal pada dirinya sendiri atas tindakan refleks itu. Saat dia hendak meletakkan jas itu kembali di tempatnya … Pintu kantor tiba-tiba terbuka, membuatnya spontan menoleh ke sumber suara. Shita masuk dengan kemeja hitam, dua kancing atasnya dibiarkan terbuka, memperlihatkan kulit putih bersih dan belahan dada yang mencuri perhatian. Rok pendek yang tidak sampai lutut itu memamerkan sepasang kaki jenjang yang terbalut stoking hitam, menggoda dan memikat. Ditambah dengan aura seorang wanita karir yang kuat, sulit bagi pria mana pun untuk tidak terpesona. "Siapa yang membiarkanmu masuk?" Shita berjalan mendekat dengan ekspresi seolah tidak mengenali Lily sama sekali, lalu merampas jas yang ada di tangannya. Setelah itu, pandangannya tertuju pada termos sup dan dokumen yang ada di atas meja, "Kamu pasti pembantu keluarga Febrianto, ya?" Lily begitu tinggi, Shita hanya akan setara dengannya jika mengenakan sepatu dengan hak setinggi lima atau enam sentimeter. Saat tangannya kosong begitu saja, tatapan dinginnya menyapu jas yang baru saja direnggut dari genggamannya. Wajahnya pun perlahan-lahan berubah serius. Mendengar pertanyaan Shita, dia tak mampu lagi menahan diri, "Bukan." Shita menatapnya dengan ekspresi malas berbicara, "Aku nggak peduli siapa kamu, tapi lain kali jangan langsung masuk ke kantor Sandy, apalagi sampai menyentuh barang-barangnya." Sambil berbicara, dia berbalik dan masuk ke ruang istirahat. Pintu ruang istirahat terbuka lebar, memperlihatkan tempat tidur berukuran besar yang berantakan. Kemeja putih pria, celana panjang hitam, dan celana dalam kotak-kotak biru tua tergeletak di ujung ranjang. Shita dengan cekatan memungut satu per satu pakaian itu, membawanya ke kamar mandi, lalu kembali untuk merapikan selimut di atas ranjang. Namun, Lily tanpa sengaja melihat sepasang stoking hitam dan bra bermotif macan tutul yang begitu mencolok di bawah selimut. Napasnya tercekat, wajahnya seketika pucat pasi. Bukankah Sandy sibuk? Nyatanya, dia masih sempat bersenang-senang di ruang istirahat ini bersama Shita! "Kok kamu masih di sini?" Shita melemparkan stoking dan bra ke dalam kamar mandi, lalu berjalan ke arahnya. Wajah Shita menunjukkan kekesalan begitu melihat Lily yang masih berdiri di sana. Lily menunjuk dokumen yang dia bawa, "Ini harus kuserahkan langsung ke tangan Sandy." "Berikan saja padaku," kata Shita, tatapannya kini mengandung sedikit rasa permusuhan. Shita yang seperti ini, sungguh berbeda dari sosok yang lembut dan pemalu di depan Sandy saat di restoran. Di kantor Sandy, Shita bersikap seperti nyonya rumah. Hal itu membuat Lily, yang merupakan istri sah Sandy, merasa sesak dan tertekan. Dia pun melangkah mendekati Shita.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.