Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 11

"Aduh … " Lidya memegangi dahinya sambil mengeluh di bawah tatapan Sandy. "Hampir saja aku terbakar! Aku bahkan sempat melihat kakekmu melambai padaku!" Lily terdiam. Dia merasa kikuk dan malu, terutama karena dia jelas merasakan tatapan penuh selidik dari Sandy terhenti cukup lama padanya sebelum akhirnya beralih ke Lidya. Lily mengerucutkan bibirnya, kemudian duduk diam sambil melihat Lidya berakting. Dia sama sekali tidak ingin memikirkan apa arti tatapan Sandy tadi. "Nenek," Sandy berjalan mendekat, mengenakan setelan jas yang rapi. Sosoknya yang tinggi dan tegap berdiri di bawah cahaya lampu yang terang, menutupi cahaya di atas kepala Lily. Tanpa sadar Lily melirik ke arahnya, merasa sedikit bingung. Wajah Sandy yang samar tetapi memikat membuatnya tak bisa menahan diri untuk tidak mencuri pandang beberapa kali. "Cucuku, kamu tahu nggak kakekmu bilang apa pas melambai padaku?" Lidya memegangi dahinya, mata kecilnya yang berkilau menatap Sandy melalui celah jari-jarinya. Sandy terlihat begitu berkelas dengan paras tampan dan garis wajah yang sempurna, membuat siapa pun tahu dia bukan orang sembarangan. Dulu Lidya selalu merasa, tidak ada seorang pun yang pantas untuk cucunya. Namun, sejak dia bertemu Lily, dia merasa keduanya benar-benar pasangan yang serasi! Selain sifatnya yang lembut dan tenang, wajahnya juga begitu cantik seperti boneka mahal. Penampilan dan auranya ini, benar-benar sangat cocok dengan Sandy. Dia tidak bisa membayangkan betapa tampannya anak yang akan mereka miliki! "Kakek bilang, jangan buru-buru menyusulnya kalau belum punya cicit." Bibir tipis Sandy bergerak sedikit, tatapannya secara samar jatuh pada Lily. Rambut panjangnya yang bergelombang seperti sutra tergerai di bahunya, bibirnya merah dan giginya putih bersih. Saat dia menopang tubuhnya dengan siku bertumpu pada lutut, kerah bajunya sedikit terbuka. Sedikit kilau putih memantul di matanya, membuat jakunnya bergerak dan tubuhnya menegang. Lidya menjentikkan jarinya, pandangannya bergantian antara mereka berdua. "Tepat sekali! Itu yang dia katakan. Jadi, kapan kalian berdua mau punya anak?" Lily sudah terbiasa dengan desakan Lidya untuk punya momongan. Namun, cara kali ini terasa kocak sekaligus memalukan. Telinganya tanpa sadar memerah, dengan ragu-ragu memikirkan cara untuk menghindari situasi hari ini. Biasanya, Lidya lebih sering mendesak Lily. Sandy sendiri hanya membiarkannya mencari alasan untuk mengelak. Semua alasan yang bisa dia pikirkan sudah dia gunakan. Alih-alih terus mengarang alasan atau menghindar, dia memutuskan menyerahkan bola panas ini ke tangan Sandy. "Nenek, tanyakan saja padanya." Begitu kata-kata itu keluar, tatapan Sandy makin dalam. "Kamu tega kalau Nenek nggak bisa jawab pertanyaan Kakek?" Lidya mendekat sambil menjulurkan lehernya untuk bertanya pada Sandy. Sandy merapikan ujung lengan bajunya dengan satu tangan dan berkata dengan nada acuh tak acuh, "Cicit itu bagaikan jimat mautmu. Aku nggak rela kalau Nenek pergi bertemu Kakek, jadi aku ngak akan punya anak." Balasan yang menohok itu membuat Lidya langsung melotot. Tenggorokannya seperti tersumbat kapas, hingga tak bisa berkata-kata lagi. "Nyonya Lidya, makan malam sudah siap!" kata seorang pelayan yang baru saja datang. Lidya segera memanfaatkan kesempatan itu untuk keluar dari situasi canggung. "Ayo makan dulu! Kalau nggak makan, aku bisa benar-benar menyusul kakekmu. Kalau aku nggak berhasil membujuk kalian, nanti aku suruh kakekmu yang membujuk kalian langsung ... " Setelah mengajukan perceraian, Lily merasa tidak nyaman setiap kali bertemu dengan Sandy. Terutama sejak insiden di depan restoran beberapa waktu lalu, percakapan yang tidak menyenangkan itu membuatnya tidak ingin bertemu dengan pria itu lagi. Untungnya Lidya banyak bicara, suasana di meja makan sangat harmonis. Setelah makan malam, Lidya menarik Lily untuk duduk bersamanya. "Kamar kalian sudah dibereskan. Malam ini, ayah dan ibumu nggak pulang, jadi kalian berdua menginap saja di sini untuk menemaniku." "Ini … " Lily tanpa sadar menoleh ke arah Sandy. Menginap berarti mereka harus tidur sekamar. Mengingat mereka sudah sepakat untuk bercerai Rabu depan, tidur di kamar yang sama akan canggung dan tidak nyaman. "Kenapa kamu lihat dia?" Lidya tidak memberi ruang untuk penolakan. "Aku yang memutuskan!" Akhirnya, Lily dan Sandy terpaksa menginap. Namun, setelah naik ke atas, Sandy langsung pergi ke ruang kerja. Dia akan tidur di ruang kerja malam ini, sebagai bentuk kesadaran diri pria yang akan segera bercerai. Lily berpikir seperti itu sambil kembali ke kamar untuk mandi. Sepuluh menit kemudian, dia keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit tubuhnya. Uap mengepul di belakangnya, rambut basahnya menempel di pipi dan menjuntai di leher jenjangnya hingga ke tulang selangka. Di depannya, berdiri seorang pria yang hanya mengenakan celana tidur. Sandy baru saja selesai mandi di ruang kerja dan rambut pendeknya masih setengah kering. Lily bisa melihat dengan jelas dadanya kecokelatannya yang berotot. Aroma maskulin yang kuat memenuhi udara, membuat Lily tanpa sadar menahan napas. Mata beningnya bertemu pandang dengan tatapan dingin pria itu. Sebelum sempat bertanya apa yang dilakukan Sandy di sini, pria itu tiba-tiba mengulurkan lengannya yang kekar. Lily merasa pinggangnya tertarik dan seketika tubuhnya sudah berada dalam pelukan pria itu. Dadanya menempel pada dada bidang pria itu. Di balik lapisan tipis handuk mandi, uap lembap yang belum hilang dari tubuhnya berpadu dengan dada panasnya. Suasana penuh gairah perlahan-lahan menyelimuti keduanya. "Apa yang kamu lakukan?" Lily menahan dada Sandy dengan satu tangan sementara tangan lainnya memegangi handuknya yang hampir melorot. Tatapan Sandy yang gelap dan penuh hasrat jatuh pada tulang selangkanya. "Menurutmu?" Dia menarik Lily lebih dekat ke pelukannya. Lily bisa merasakan perubahan pada tubuh pria itu. Mata Lily terbelalak kaget. Tiba-tiba saja adegan Shita membereskan ruang istirahat Sandy terlintas di benaknya. Apa nafsu pria ini begitu besar hingga tak bisa menahannya semalam saja? Sekalipun dia tidak tahan, tetap saja dia tidak seharusnya mengganggu Lily. "Apa perlu kuingatkan kalau kita ini akan bercerai?" Sandy mendengus kecil, seolah mendengar lelucon yang menggelikan. Dia mengangkat tangan dan mencengkeram dagu Lily, memaksa wanita itu menatapnya. "Untuk dapat kesempatan ini, kamu bahkan sampai harus bawa-bawa nenek. Sekarang mau berpura-pura apa lagi?" Setiap tahun, Lidya selalu pergi ke gunung untuk berdoa selama sebulan. Malam minggu lalu, Lidya baru saja pergi ke gunung, dan sekarang baru seminggu berlalu, sesuatu yang tidak biasa. Ternyata, Sandy mengira Lily yang sengaja membawa neneknya turun dari gunung dan membuat kebohongan tentang 'kebakaran' untuk memaksanya kembali ke rumah. "Aku juga ditipu nenek untuk datang ke sini!" Lily buru-buru menjelaskan. Dia tidak suka disalahpahami. Namun, Sandy jelas tidak percaya. Tangan yang melingkari pinggang Lily perlahan bergerak turun. "Berhenti berpura-pura. Nggak ada gunanya lagi." Dia memang bukan orang yang banyak bicara, apalagi membuang waktu untuk membongkar kebohongan-kebohongan kecil seperti ini. Sudah beberapa hari dia tidak menyentuh Lily. Karena tubuhnya sudah tidak tahan lagi, dia bisa mengabaikan masalah Lily yang telah menipunya untuk kembali hari ini. Dia juga bisa mengabaikan fakta bahwa Lily belum mengakui kesalahannya. Asalkan malam ini dia bisa melepaskan hasratnya, dia akan menganggap masalah ini selesai. Lily hendak membuka mulut untuk berbicara lagi, tapi bibirnya tiba-tiba dibungkam oleh ciuman Sandy. Ciuman Sandy begitu liar dan kuat, membuat bibir serta lidahnya seperti mati rasa. Kekuatan mereka jelas berbeda. Perlawanan Lily justru makin membangkitkan naluri penaklukan pria itu. Handuknya perlahan melorot, rambut panjangnya berantakan, dan cahaya hangat dari lampu memantulkan kulitnya yang putih memikat. Pria itu makin tersulut gairahnya. Tubuhnya menegang dan di kedalaman matanya yang sipit tampak nyala api membara. Sayangnya, Lily terus melawan. Nafsunya yang tak kunjung tersalurkan, membuatnya merasa jengkel. Selama dua tahun pernikahan, dia cukup mengerti karakter Lily. Gadis ini lebih luluh dengan pendekatan lembut daripada paksaan. Dia kemudian membujuk dengan suara serak yang memikat, "Kamu juga menginginkannya, 'kan? Aku akan memberikannya padamu." Ucapan itu seakan meruntuhkan kewarasan Lily, membuat tubuhnya lemas tak berdaya. Dia memiliki tubuh yang ideal. Terlihat kurus saat tertutup, tetapi lekuk tubuhnya begitu sempurna saat menanggalkan pakaiannya. Sandy seketika kehilangan kendali, mendorongnya ke dinding dan menciumnya lebih dalam. Kepala Lily terasa pening, tetapi seketika dia tersadar kembali. Tanpa ragu dia langsung menggigit Sandy. Rasa sakit yang tajam menyerang lidahnya dan rasa darah memenuhi mulut mereka. Tatapan penuh hasrat Sandy berubah menjadi kemarahan. "Lily, sampai kapan kamu mau begini? Ini kesempatan terakhirmu. Apa kamu yakin ingin terus buat masalah?"

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.