Bab 1
"Kenapa, Thalia? Kenapa kamu melakukan ini padaku?"
"Lima tahun menikah, apa aku nggak cukup baik untukmu? Kenapa kamu tega selingkuh dengan pria lain?"
Di dalam vila, mata Arman memerah. Dia dengan lantang menanyai wanita cantik jangkung yang mengenakan pakaian kerja OL berwarna hitam di depannya.
Di atas meja di depan mereka, terdapat beberapa foto Thalia yang dipeluk pinggangnya oleh seorang pria asing, saat mereka berdua berjalan memasuki hotel.
"Kamu benar-benar membuntutiku, Arman?"
Thalia mengerutkan kening. Dia menatap foto-foto di atas meja. Pada wajah cantiknya yang memesona, tidak ada sedikit pun rasa bersalah. Thalia malah terlihat tidak peduli, "Kalau begitu, sebaiknya kita cerai saja."
"Cerai?"
Arman merasa kepalanya seperti mau meledak. Tubuhnya gemetar.
Arman hanya ingin Thalia memberikan penjelasan kepadanya. Memberitahunya jika yang terjadi tidak seperti itu, meskipun hanya bohong belaka.
Akan tetapi, yang didapatnya adalah kata-kata cerai.
"Ya, cerai."
"Ini surat cerai. Tanda tangan di atasnya."
Thalia mengeluarkan selembar surat cerai dari tas bahu Hermes senilai ratusan juta dan menepuk-nepuknya di depan Arman.
Arman tidak bisa memercayai penglihatannya saat melihat surat cerai yang sudah disiapkan sebelumnya di hadapannya. Kemudian, dia menatap Thalia. "Kamu sudah lama ingin bercerai denganku?"
"Kamu yang memaksaku. Aku paling nggak suka diikuti."
Nada suara Thalia begitu dingin.
"Jadi, pada akhirnya, ini semua salahku?"
"Jangan menatapku seperti itu, Arman. Selama ini, yang kamu makan dan kamu pakai itu semuanya dariku. Aku mau bersama siapa, itu bukan urusanmu."
"Bukan urusanku? Thalia, kamu itu istriku! Istri sah Arman Lambardi di mata hukum ... "
Arman ingin berteriak. Akan tetapi, saat melihat surat cerai yang dingin di depannya, Arman seakan-akan kehilangan keberaniannya dalam sekejap.
Arman mengepalkan tinjunya erat-erat, sehingga telapak tangannya terasa perih.
"Lantas?"
Thalia tidak mau ambil pusing. "Kalau kamu nggak mau, kamu bisa menceraikanku. Tapi sebelumnya, aku ingin kita menegaskan satu hal terlebih dulu. Kamu nggak bisa menerima tingkah lakuku setelah menikah. Setelah bercerai, kamu harus pergi dari rumah ini tanpa membawa apa pun."
Mata Arman terbelalak. Dia menatap Thalia dengan makin tidak percaya.
Sebelumnya, Arman tidak pernah membayangkan jika kata-kata ini akan keluar dari mulut Thalia.
Apa Thalia masih gadis baik hati yang sama seperti lima belas tahun yang lalu? Gadis yang memberi Arman sepotong roti saat dia putus asa dan menyuruhnya agar tetap bertahan hidup?
"Sudah, sudah. Jangan buang waktuku lagi. Cepat tanda tangani surat cerai itu."
Suara dingin Thalia memutus lamunan Arman.
Arman kembali ke akal sehatnya. Dia menatap Thalia, menatap wanita yang kejam dan egois di hadapannya itu.
Semua orang mengatakan, wanita akan berubah drastis setelah berusia 18 tahun. Apakah penampilannya saja yang berubah ataukah kepribadiannya juga ikut berubah begitu drastis?
Arman tidak bisa lagi melihat cahaya di mata Thalia, apalagi kebaikan yang dulu ada.
Tatapan mata Arman mulai diliputi kekecewaan. "Thalia, aku sadar kalau kamu benar-benar sudah berubah. Kadang-kadang, aku bahkan berpikir, apa kamu gadis yang sama dengan waktu itu."
"Apa sebenarnya yang ingin kamu katakan, Arman? Kalau hanya untuk mengulur waktu, aku sarankan agar kamu nggak mengatakan omong kosong seperti itu."
Thalia berkata dengan dingin.
Gadis waktu itu apa maksudnya? Thalia bahkan belum pernah sama sekali bertemu dengan Arman sebelum menikah.
Arman tidak menjawab. Dia hanya memastikan untuk yang terakhir kalinya. "Thalia, apa kamu benar-benar ingin bercerai denganku?"
"Benar."
Thalia berkata dengan tegas.
"Jadi begitu."
Arman menghela napas dalam-dalam.
Tatapan matanya menjadi agak dalam.
Thalia agak terkejut.
Barusan, sesaat ketika pikirannya kosong, Thalia merasa Arman sudah berubah menjadi orang lain.
Akan tetapi, setelah kembali ke akal sehatnya, Thalia menyadari jika Arman masih sama seperti sebelumnya.
Arman mengenakan celemek masak, tidak menunjukkan sedikit pun kejantanan seorang laki-laki.
Thalia menatap Arman dengan tatapan merendahkan dan berkata dengan nada dingin, "Sebenarnya, harusnya kamu tahu kalau dunia kita sudah berbeda."
"Ya."
Kali ini, Arman tidak membantah. "Sekarang, kamu adalah direktur yang berstatus tinggi, salah satu dari sepuluh pengusaha terkemuka di Kota Setala. Aku hanyalah seorang pria yang tidak berguna di matamu, yang hanya tahu cara mencuci piring dan memasak."
Thalia terkejut. Dia tidak menyangka jika Arman tiba-tiba saja menyadarinya.
Senyuman angkuh mulai terukir di sudut bibir Thalia. "Sepertinya akhirnya kamu sadar dan mengerti kalau dirimu sekarang nggak berguna dan nggak pantas untukku."
"Haha, benarkah?"
Arman juga tersenyum. Hanya saja, senyum itu penuh ejekan dan celaan pada diri sendiri. "Sejujurnya, aku harus berterima kasih padamu. Terima kasih karena sudah membuatku melihat dengan jelas siapa dirimu sebenarnya."
"Apa maksudmu?"
Thalia mengerutkan kening.
"Apa maksudku? Lima tahun. Lima tahun penuh ... Dalam lima tahun ini, nggak pernah ada hari di mana kamu pulang lembur larut malam dan aku nggak menyajikan semangkuk bubur beras yang hangat untukmu."
"Sewaktu kamu bilang kalau kamu lelah, aku akan memijat dan mengurut kakimu."
"Saat kamu datang bulan dan merasa sakit tak tertahankan, aku akan bergadang semalaman untuk merawatmu."
"Kamu bilang, kamu ingin memulai bisnis. Tanpa ragu-ragu, aku memberikan modal awal untuk mendukungmu."
"Lima tahun. Lima tahun penuh. Sekalipun kamu merawat seekor anjing, pasti akan ada perasaan ... "
"Sudah cukup, Arman. Tutup mulutmu!"
Bentakan tajam Thalia langsung memotong kata-kata Arman.
Thalia seperti kucing betina yang kakinya terinjak. Wajahnya tampak merah padam. "Semua itu kamu lakukan secara sukarela untukku. Aku nggak pernah memaksamu! Selain itu, aku bisa mengembangkan perusahaan hingga menjadi seperti sekarang ini, bukankah semua itu karena hasil kerja kerasku siang dan malam yang nggak terhitung jumlahnya? Ditambah lagi, dengan semua yang sudah kamu makan dan kamu pakai selama ini, sama saja dengan aku sudah mengembalikan semua uang yang kamu berikan dulu!"
"Benarkah?"
Arman menatap Thalia, seakan sedang menatap orang asing. "Apa kamu benar-benar berpikir kalau kamu bisa meraih apa yang kamu miliki hari ini, itu semua karena kemampuanmu sendiri?"
"Lantas kalau nggak?"
Thalia balik bertanya pada Arman.
Arman tidak menjawab.
Dia mengambil pena dan menandatangani namanya di atas surat cerai itu dengan sigap.
Tidak ada lagi harapan di hati Arman.
Pena itu jatuh.
Arman melemparkan surat cerai itu pada Thalia dan berkata dengan acuh tak acuh, "Seperti yang kamu inginkan. Pernikahan ini berakhir. Semoga, kamu nggak menyesalinya nanti."
Setelah berkata demikian, Arman pun langsung berbalik tanpa ragu.
"Apa maksudmu, Arman? Cepat jelaskan padaku!"
Wajah Thalia merah padam.
Akan tetapi, Arman tidak menoleh ke belakang dan langsung berjalan keluar dari pintu gerbang vila.
Tempat ini, sudah tidak layak lagi untuk dikenang olehnya.
......
Kriiinnggg.
Baru saja keluar dari gerbang kompleks vila, ponsel Arman berdering.
Kemudian, barisan mobil Maybach berwarna hitam berjajar dua baris, melaju ke arahnya.
Masing-masing dari mobil tersebut bernilai puluhan miliar.
Iring-iringan mobil tersebut berhenti di depan Arman.
Satu demi satu pintu mobil terbuka. Belasan pria berjas dan berkacamata hitam bergegas turun dari mobil. Mereka berdiri dalam barisan rapi di bawah tatapan mata Arman. Kemudian, mereka membungkuk 90 derajat kepada Arman, sambil berkata, "Kami di sini atas perintah Pak Hadi, menyambut kedatangan Pak Arman!"