Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 9

Rumah lama keluarga Vijendra terletak di daerah pegunungan Kota Hanara yang terkenal tempat tinggal orang-orang kaya. Ada taman bergaya tradisional di rumah itu. Bangunannya tampak begitu megah dan indah, gentengnya berwarna hijau dan merah. Walaupun terkesan sederhana, tetap saja kemegahan dan kemewahannya terlihat. Kediaman keluarga Vijendra dibagi menjadi dua. Keluarga putra sulung tinggal bersama sang kakek di rumah lama, sementara keluarga putra kedua tinggal di pusat kota. Justin sebenarnya tinggal sendiri di sebuah vila, tetapi akhir-akhir ini tinggal bersama orangtuanya karena habis terluka. Pukul 18:00. Matahari sudah terbenam, langit pun menjadi gelap. Adelia mendorong kursi roda Justin melewati lorong panjang sebelum akhirnya sampai di ruang tamu. Lampu di dalam ruangan sudah dinyalakan hingga terang benderang, manusia berjejer di mana-mana. Para pelayan menyusun hidangan lezat di atas sebuah meja panjang, sementara ada seorang wanita yang memerintahkan mereka untuk bekerja ini dan itu dengan suara nyaring. "Dia itu bibimu. Orang yang cerdas, cekatan dan sangat mementingkan citranya," ujar Jihan memperkenalkan sosok wanita itu kepada Adelia dengan suara pelan. "Namanya Dara Winola, tapi banyak yang diam-diam memanggilnya Kirena, si wanita penguasa di drama klasik itu." "Nah, yang duduk di sofa itu pamanmu. Dia itu orang yang kejam dan licik." Sepertinya mereka sekeluarga tidak ada yang baik. Adelia mencatatnya dalam hati. Tepat pada saat itu, Dara pun menoleh. Begitu melihat keluarga putra kedua, dia langsung tersenyum dengan kesan aneh. "Kalian akhirnya datang juga. Aku merasa agak nggak tega melihat Justin duduk di kursi roda." Dari wajahnya, Dara terlihat memiliki kepribadian yang cukup keras. Sepasang matanya tampak sempit dan runcing, dagunya terlihat tajam dan bersudut. "Memang cara bicara Kakak Ipar itu tajam nyelekit, ya," komentar Jihan dengan acuh tak acuh. "Aku paling suka bicara jujur," sahut Dara sambil tersenyum, lalu menatap Adelia. "Oh, ini menantumu yang dari desa itu. Ya, ya. Memang gadis kampungan itu ditakdirkan jadi pasangan pria cacat." Itu berarti Dara menyebut Adelia bodoh, sementara Justin adalah orang cacat! Tentu saja ucapannya itu sangat menyinggung perasaan anggota keluarga putra kedua. Irena yang tidak tahan lagi pun langsung balas mengejek, "Bibi nggak gosok gigi ya tadi pagi? Mulutmu bau banget. Apa Paman nggak terganggu kalau malam?" "Bisa-bisanya kamu bicara nggak sopan begitu dengan orang yang lebih tua, Irena! Beginikah hasil didikan dari keluarga putra kedua?" tegur Dara sambil memicingkan matanya, ekspresinya langsung terlihat marah. "Aku itu paling suka bicara jujur," sindir Irena dengan kesal. "Langit pasti menciptakan manusia-manusia lain berdasarkan citramu." Dara yang merasa sangat marah pun hendak menampar Irena dengan kencang. Masalahnya, Irena bukanlah tipe orang yang diam saja ditampar. Dia langsung mencengkeram tangan Dara dan mematahkannya hingga bibinya itu menjerit kesakitan. "Apa-apaan ini!" Tiba-tiba, terdengar suara lantang seorang lelaki tua dari arah tangga. Lelaki itu mengenakan setelan pakaian olahraga berwarna biru tua dan menggunakan tongkat berjalan dengan ornamen kepala naga. Sorot tatapannya terlihat tajam, auranya terasa mengintimidasi. Seorang pria yang tampak angkuh berdiri di sampingnya. Pria itu adalah Revan. Sementara itu, masih ada seorang pria paruh baya lagi yang bertubuh kurus dan berpenampilan sopan. "Ayah." "Kakek." Semua orang tidak berani ribut-ribut lagi. "Duduk." Dengan perintah dari Tommy, semua orang pun duduk mengitari meja makan. "Hari ini aku meminta kalian semua ke sini untuk mengumumkan sesuatu," kata Tommy. "Keluarga putra sulung sudah menemukan murid Roman, Felix Zardin. Sebagai imbal balik, keluarga putra kedua akan menyerahkan proyek mereka kepada keluarga putra sulung, serta menandatangani 'Surat Pemindahan Proyek' ini." Begitu Tommy selesai bicara. Keluarga putra sulung diliputi dengan kegembiraan, sementara keluarga putra kedua merasa sangat tertekan dan marah. Wajar saja sesama anggota keluarga saling membantu, tetapi Tommy malah melibatkan kepentingan pribadi! Mana mungkin keluarga putra kedua rela! "Jangan bilang kalian nggak mau?" tanya Dara sambil sok tersenyum manis. "Kayaknya kaki Justin nggak sebanding dengan proyek itu, ya." "Kamu!" Jihan merasa begitu marah, dadanya sampai terasa sakit. Proyek itu adalah hasil jerih payah putranya, tetapi nasib kaki putranya juga sedang dipertaruhkan. Jihan pun menggertakkan giginya dengan kesal, lalu berkata, "Kaki Justin lebih penting! Tapi, kami harus menyelidiki orang itu terlebih dulu!" "Kamu nggak percaya padaku, ya," sahut Tommy sambil tertawa dengan dingin. "Dokter Felix, silakan periksa kaki cucuku dulu." "Baik," jawab si dokter paruh baya yang terlihat kurus dan pintar di samping Tommy itu sambil membungkuk dengan hormat. Felix pun membungkuk dan membuka kotak obatnya, memperlihatkan sederet jarum yang terlihat dingin berkilauan. Adelia ikut melihat isi kotak itu. Ternyata jarum yang ada di dalamnya adalah jarum emas. Jarum-jarum itu pasti barang koleksi. Felix menggulung celana panjang Justin ke atas, lalu mengambil sebuah jarum dengan tiga sisi dan langsung menusukkannya ke titik ST36 yang ada di kaki Justin. Jarum pun masuk dengan sudut lurus sedalam satu inci, lalu dua inci! Namun, dia masih hendak menusuk lebih dalam. Kalau jarum menusuk lebih dari dua inci, jarum itu akan menusuk pembuluh darah. Memang benar teknik yang Felix gunakan ini bisa mengeluarkan darah, tetapi jika momennya tidak pas, justru akan memperparah kondisi Justin. Dokter yang cerdas dapat mengamati perubahan energi, entah berdasarkan pengalaman atau bakat. Adelia terlahir dengan bakat. Dia menguasai pergerakan energi dengan baik. "Jangan! Nggak boleh di situ ... " Adelia segera angkat bicara untuk menghentikan gerakan Felix, sementara semua orang refleks menatapnya dengan ekspresi yang berbeda-beda. "Jangan bilang Bu Adelia sedang mengajariku bagaimana melakukan terapi akupunktur?" sindir Felix dengan nada mengejek. "Aku sudah belajar kedokteran selama 40 tahun lebih. Aku sudah mulai belajar akupunktur dari sebelum Bu Adelia lahir." "Kamu takut Justin akan mencampakkanmu setelah kedua kakinya sembuh, ya? Dasari gadis udik," sindir keluarga putra sulung Vijendra sambil terkekeh mencemooh. Adelia hendak menjelaskan, tetapi sebuah tangan yang ramping tiba-tiba memasukkan sepotong pangsit ke dalam mulutnya. Jemari Justin yang dingin menyentuh bibir merah Adelia. Begitu Adelia menggigit pangsit itu, isinya langsung berhamburan dalam mulutnya. "Aku paling suka makan pangsit ini setiap menghadiri jamuan keluarga. Coba kamu cicipi enak atau nggak," ujar Justin sambil membersihkan jemarinya yang berminyak dengan sapu tangan. Begitu melihat sorot tatapan Justin yang tenang, Adelia sontak teringat akan ucapan Justin sewaktu mereka masih di rumah. Pokoknya, Adelia cukup berdiri di belakang Justin dan jangan mengatakan apa-apa. "Silakan lanjutkan, Dokter Felix," kata Justin dengan acuh tak acuh. "Dia itu masih muda, jadi belum memahami apa pun. Dia hanya mengkhawatirkanku." Felix pun menusukkan jarumnya sedalam 2,5 inci, lalu memutar jarum hingga membentuk sudut yang lebih tumpul. Darah hitam pun segera mengalir keluar dari lubang jarum. Felix mencabut jarum itu, lalu bangkit berdiri dengan percaya diri. "Pak Tommy, aku bisa mengobati penyakit ini!" kata Felix dengan sebersit cahaya tajam melintas dalam pandangannya. "Kedua kakimu juga sudah bisa merasakan sesuatu, 'kan, Pak Justin?" "Iya." Justin menjawab. Dia menyadari perbedaan teknik Adelia dan Felix, dia merasa lebih nyaman dengan teknik Adelia. "Dokter Felix memang hebat sekali! Justin, cepat tandatangani 'Surat Pemindahan Proyek' ini!" ujar Revan dengan tidak sabar sambil meletakkan kontrak itu di hadapan Justin beserta dengan pena. Karena sudah seperti ini, keluarga putra kedua juga tidak memiliki pilihan lain. Justin mau tidak mau menandatangani surat itu demi kesembuhan kakinya. Adelia menggigit bibir bawahnya dengan erat, sudah tidak ada kelezatan pangsit itu lagi dalam mulutnya. Adelia pun menggenggam lengan Justin dengan sedih dan marah. Justin tidak perlu menyerahkan proyek ini kepada Revan, dia juga bisa mengobati kaki Justin! Apa Justin masih tidak percaya padanya? Justin tidak mengindahkan Adelia. Dia mengambil pena itu, lalu membubuhkan tanda tangannya yang indah. Justin meletakkan pena, lalu berkata dengan ekspresi datar, "Kak, kuserahkan proyek ini kepadamu. Tapi, kami belum berhasil mendapatkan lahan milik keluarga Saputra." Proyek Kota Masa Depan adalah kerja sama antara Grup Viel dan Grup Vijendra. Proyek ini bertujuan menciptakan sebuah kota pintar kecil yang dilengkapi dengan teknologi tinggi dan tidak tertandingi di mana pun. Lahan yang akan dibangun seluas lima kilometer persegi. Masalahnya, ada rumah lama keluarga Saputra di situ dan mereka bersikeras tidak mau pindah. Revan melipat kertas itu sambil tersenyum menyindir. "Itu sih karena kamu yang payah! Mengambil alih sebidang lahan kecil saja nggak bisa! Nanti akan kuundang kamu menyaksikan upacara peletakan batu pertama!" Dara ikut menyengir lebar. "Kalian belum tahu, ya? Revan itu berteman baik dengan Kevin yang merupakan putra keluarga Saputra. Kevin sudah mengenalkan Revan dengan ayahnya, Pak Rafa! Keluarga Saputra hanya punya satu putra, yaitu Kevin Saputra!" Keluarga Saputra memang dikenal memanjakan putra tunggal mereka. "Wah, kebetulan sekali." Revan mengangkat layar ponselnya yang berkedip-kedip sambil berkata dengan bangga, "Pak Rafa meneleponku, dia pasti setuju untuk pindah. Apa yang sulit buatmu itu perkara mudah buatku." Demi pamer sekaligus menghina Justin, Revan pun menyalakan mode pengeras suara.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.