Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 6

Keesokan harinya. Sesuai dengan tradisi, Adelia harus mengunjungi keluarganya pada hari ketiga pernikahan. Bu Jihan memilih sendiri tembakau, anggur, daun teh dan berbagai panganan manis terbaik. Dia bahkan memberikan ginseng berusia satu abad yang masih bagus karena menganggap keluarga Andoko sudah berbuat baik. "Maaf ya, Adelia. Fisik Justin belum kuat, jadi kamu terpaksa pergi sendiri," ujar Bu Jihan dengan rasa bersalah sambil menggenggam tangan Adelia. Adelia balas mengangguk kecil. Hari ini, dia mengenakan sehelai gaun panjang berwarna hijau muda. Dia melirik lantai dua vila dengan ekor matanya. Kemarin, mereka berpisah dalam kondisi terbawa emosi. Tentu saja Adelia tidak meminta Justin untuk menandatangani surat pemindahan proyek. Dia harus mencari cara lain untuk mendapatkan neneknya kembali. "Aku pergi dulu." "Hati-hati di jalan, ya," ujar Jihan sambil mengambil dua langkah mundur. Dia mengawasi Adelia masuk ke dalam mobil, lalu baru berjalan pergi. Adelia duduk di dalam mobil dengan tangan di samping. Gaunnya sama sekali tidak terlihat mencolok. Bagian mansetnya dijahit dengan jarum membentuk menyerupai bunga. Kepulangannya kali ini ke rumah keluarga Andoko pasti akan diwarnai dengan pertarungan keberanian dan kecerdikan. Kemungkinan terburuknya adalah hubungan kekeluargaan mereka benar-benar putus seutuhnya! Tidak ada satu orang pelayan pun yang datang menyambut saat mobil Adelia berhenti di depan rumah keluarga Andoko. Begitu Adelia berjalan memasuki ruang tamu, suara tawa di dalam ruangan itu pun berhenti. "Adel," sapa Dona dengan antusias sambil bergegas menghampiri Adelia. "Kamu akhirnya pulang! Apa Justin nggak ikut denganmu?" Sarah yang sedang duduk di sofa pun menengadah menatap Adelia dengan kesan meremehkan. "Siapa juga yang sudi pergi dengan gadis kampungan? Justin pasti takut merasa malu, makanya nggak ikut dengannya." "Sarah." Heru yang duduk di sisi lain pun meletakkan koran yang dia baca sambil menegur dengan serius, "Jangan bicara seperti itu dengan adikmu." Sarah hanya balas mengedikkan bahunya tanpa rasa takut. "Adelia, sini duduk dan minum teh," ajak Heru. "Yang namanya saudara itu harus saling membantu dan akur. Kalian 'kan sebentar lagi akan jadi saudara ipar, itu berarti hubungan kalian akan menjadi makin dekat. Kamu yang sabar, ya. Sarah memang sudah terbiasa hidup dimanja." "Iya, kalian itu 'kan sudah seperti saudara kandung," timpal Dona. Dia pun berusaha mengalihkan pembicaraan dengan bertanya, "Adel, kamu sudah dapat informasi tentang Pak Roman dari keluarga putra kedua? Kalau sudah, jangan lupa kasih tahu Ibu, ya." Setelah sekian tahun berlalu, Dona belum kunjung hamil lagi. Heru masih belum memiliki putra sebagai pewarisnya. Dona sudah berkonsultasi dengan banyak dokter, tetapi mereka semua mengatakan tidak bisa mengobati Dona. Katanya Pak Roman memiliki resep kesehatan yang sangat efektif. Adelia merasa sangat jijik dengan sandiwara mereka dan balas mengejek, "Kenapa? Kamu juga sakit?" "Kamu ini benar-benar nggak sopan!" bentak Dona sambil menampar wajah Adelia. Jejak telapak tangan berwarna merah pun tercetak di wajah Adelia yang putih. Dia merasa begitu sakit hati dan tidak adil. Dona adalah ibu kandungnya. "Bunda, sudah kubilang si nggak tahu diri ini nggak mungkin mengalah, tapi Bunda sama Ayah bilang dia pasti akan luluh kalau disapa duluan" sindir Sarah dengan sinis, lalu melanjutkan, "Adelia, serahkan dulu 'Surat Pemindahan Proyek'-nya." "Mana nenekku!" bentak Adelia. "Aku baru akan memberikannya kalau aku sudah melihatnya!" "Kamu pasti nggak punya surat itu, 'kan?" sindir Sarah lagi. "Itu berarti kamu bakal menderita hari ini! Kenapa Bunda malah bengong? Cepat tahan dia dan geledah tubuhnya!" "Minggir!" Adelia mengambil jarum dengan gesit dan menusukkannya ke titik akupunktur di lengan Sarah. "Aaaa!" jerit Sarah. Serangan Adelia membuatnya tidak bisa bergerak. "Adelia, lepaskan kakakmu!" seru Dona dengan panik. "Jangan sakiti Sarah!" Dona hanya memikirkan Sarah. "Aku mau bertemu Nenek!" kata Adelia dengan ekspresi dingin. Tiba-tiba, terdengar derap kaki tergopoh-gopoh dari arah tangga. "Cucuku!" "Kok tua bangka satu itu bisa keluar sih!" Seorang wanita tua yang tampak lemah dan beruban berlari menuruni tangga dengan napas yang tersengal-sengal. Dona langsung menarik lengan wanita tua itu. "Ngapain kamu lari-lari, dasar tua bangka!" "Nenek!" Begitu melihat wajah neneknya yang pucat, mata Adelia langsung menyalang dengan marah. Neneknya terlihat sangat lelah, dia pasti tidak beristirahat dengan baik di rumah keluarga Andoko. "Aduh! Nenek nggak apa-apa, kamu jangan menangis," hibur Kamila, neneknya Adelia, sambil meneteskan air mata. Setelah itu, dia berujar lagi dengan suaranya yang sudah tua dan tercekat, "Dona, itu putri kandungmu." "Tolong jangan memaksanya begini, Dona," pinta Kamila. "Adelia sudah hidup menderita sejak kecil." Kenapa menantunya menjadi orang seperti ini sekarang? "Dia harus menyerahkan surat itu dulu baru aku akan melepaskan tanganku. Kalau nggak ... " ancam Dona sambil mencengkeram lengan Kamila dengan lebih kuat. Adelia balik mengancam dengan menusukkan jarum pada titik akupunktur di bahu Sarah. Setengah tubuh Sarah terasa mati rasa. "Bunda! Tolong aku, Bunda!" jerit Sarah dengan takut. "Biarkan kami pergi," ujar Adelia menekankan setiap patah katanya. Situasi di antara mereka terasa tegang. Setegang senar gitar yang nyaris putus. Heru pun bangkit berdiri dengan ekspresi menghina. "Nak, kamu itu bukan kejam, tapi masih terlalu muda." Yang akan kalah adalah mereka yang tidak bisa menahan emosi. Setelah itu, Heru menarik kepala Kamila dan membenturkannya ke tembok. Duak! Kepala Kamila langsung memar, dia bahkan nyaris tidak bisa bicara. "Hentikan!" pekik Adelia dengan mata yang berkaca-kaca, hatinya terasa seperti terkoyak. "Serahkan suratnya dan akan kulepaskan dia. Nggak usah sok pintar, aku ini bukan orang yang mudah ditipu karena sudah bertahun-tahun berkecimpung di dunia bisnis," jawab Heru. Pokoknya, dia bertekad akan menikahkan Sarah dengan Revan. Dan inilah saatnya. Tiba-tiba, seorang satpam bergegas masuk dari halaman rumah. "Pak Heru, Den Justin dari keluarga Vijendra datang!" Justin ke sini? Heru langsung melepaskan Kamila, lalu merapikan pakaiannya dengan angkuh dan berkata, "Dia datang sekalipun nggak akan mengubah apa-apa." Justin tidak akan mungkin menjadi sosok yang berpengaruh, dia adalah pria cacat yang akan segera dicampakkan oleh keluarganya sendiri. "Dia membawa sekitar seratus orang ke sini!" lapor si satpam dengan panik. "Semuanya terlihat garang dan kuat!" Tepat setelah si satpam melaporkan. Segerombolan pria berotot yang mengenakan jas dan kacamata hitam pun bergegas masuk, mereka menyerbu ruang tamu dengan kesan mengerikan. Justin duduk di atas kursi rodanya dan berada tepat di tengah mereka. Ekspresinya terlihat begitu dingin menusuk, agak angkuh dan sombong seolah-olah dia memang terlahir seperti itu. Di dunia ini, ada saja orang yang tetap berdiri di puncak kekuasaan dan tidak bisa digapai sembarang orang sekalipun mereka lumpuh. Hati Sarah pun tergerak. Pria ini harusnya menjadi miliknya. "Apa-apaan ini, Pak Justin! Aku bisa melaporkan tindakanmu yang membawa orang-orang masuk mengeroyokku di rumah begini kepada polisi!" ancam Heru dengan panik saat melihat ada begitu banyak orang yang datang. Justin menatap sekeliling ruangan dengan pandangan bosan, lalu akhirnya menatap Adelia yang terlihat sangat kasihan. Ke mana sifat tegas Adelia saat melepas celananya? "Aku ke sini karena ingin menjemput istriku pulang. Kenapa? Masalah?" tanya Justin dengan nada datar. Para pengawal yang bertubuh tangguh itu pun mendorong Sarah dan Dona menjauh, lalu mengawal Adelia dan Kamila mendekat ke arah Justin. Begitu melihat Justin, Adelia tidak kuasa menahan air matanya. "Mereka memukul Nenek, jadi kita harus ke rumah sakit," kata Adelia. Tadi dia sudah meraba denyut nadi Kamila. Luka neneknya itu tidak parah. Hanya penyakit lama yang sulit sembuh. "Ayo." Justin menjawab dengan tenang. Adelia pun memapah neneknya masuk ke dalam mobil, kursi roda Justin mengikutinya dari belakang dengan didorong oleh sopir. Justin menoleh menatap keluarga Andoko sambil berujar dengan nada memperingatkan, "Keluarga Vijendra belum membuangku, jadi kalian nggak berhak bertindak seenaknya." Heru marah sekali, tubuhnya sampai gemetar. Dia ingin lihat bagaimana keluarga putra kedua dari keluarga Vijendra bisa tetap berkuasa ke depannya! Mereka pun meninggalkan rumah keluarga Andoko. Para pengawal mengantri naik bus di pintu masuk rumah. Adelia mengawasi semua ini dengan penasaran. Ternyata keluarga putra kedua Vijendra mampu mempekerjakan pengawal sebanyak ini, mereka juga sangat disiplin dan terorganisir. Bahkan ada bus yang mengantar-jemput mereka. Inikah kartu truf di balik kesombongan Justin? Adelia akhirnya bertanya dengan ragu, "Mereka itu ... " Justin yang memesona itu menoleh sedikit, lalu menjawab dengan acuh tak acuh, "Aktor yang kusewa dari Kota Nodana."

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.