Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 3

Di sudut tangga. Adelia menatap nama si penelepon yang muncul di layar ponselnya, lalu mengangkat telepon itu dengan sebal. "Halo." "Adel," sapa Dona dengan lembut dari ujung telepon sana. "Katanya Justin sudah sadar, ya? Apa kakinya benar-benar lumpuh?" Padahal si dokter baru saja menyampaikan diagnosisnya, tetapi keluarga Andoko sudah tahu. Dona benar-benar tidak peduli bagaimana keluarga Vijendra memperlakukan anaknya, dia juga tidak bertanya bagaimana Adelia menghabiskan kemarin malam. Yang dia pedulikan justru memata-matai keluarga Vijendra. Adelia merasa makin sakit hati. "Sudah, ya, aku tutup dulu," kata Adelia dengan nada datar. "Eh, tunggu dulu!" Dona memekik dengan panik, lalu berkata, "Tolong bantu kakakmu! Justin punya proyek besar yang merupakan kerja sama antara Grup Viel dan Grup Vijendra. Tolong bujuk dia untuk menandatangani surat pemindahan proyek, supaya kakakmu bisa menikahi Den Revan dan kalian bisa menjadi ipar-iparan." Adelia sontak tertawa dengan sinis. "Kok kamu bisa-bisanya berpikir aku bisa membantumu soal ini? Aku ini pengantin baru, aku nggak punya posisi apa-apa." Dona pun membujuknya dengan sabar. "Justin 'kan sadar setelah menikah denganmu, itu berarti keluarga putra kedua mengandalkanmu sekarang. Dia 'kan sudah cacat, apa gunanya juga dia masih mengurusi proyek itu? Lebih baik dikasih saja ke Revan dan kakakmu." Binar keserakahan tampak jelas di pandangan Dona. Setelah proyek ini rampung, keuntungan senilai triliunan bisa didapatkan. Justru proyek inilah yang berhasil mengokohkan posisi Justin di Grup Vijendra. "Aku nggak bisa membantumu." Adelia pun hendak menutup telepon. Namun, Dona balas membentak dengan tajam, "Nenekmu dari desa itu ada di rumah keluarga Andoko sekarang! Kalau kamu menolak, jangan harap bisa bertemu dengannya lagi!" "Kamu ini manusia atau bukan sih!" teriak Adelia dengan marah. "Dia bukan hanya nenekku, tapi juga ibu mertuamu!" Adelia pasti sudah mati jika bukan karena neneknya yang merawatnya! Neneknya hidup melarat, bahkan sebisa mungkin menghemat uang supaya Adelia bisa sekolah. Itu sebabnya kondisi fisik neneknya menurun drastis. Adelia berjuang mati-matian mempelajari ilmu pengobatan dari Kakek Roman yang merupakan tetangganya, tetapi tetap tidak bisa mengobati fisik renta neneknya. Di sisi lain, Dona malah tega membuat neneknya menempuh perjalanan sejauh itu! Entah seberapa menderitanya neneknya itu sepanjang perjalanan. "Ayahmu 'kan sudah mati, aku sendiri nggak punya hubungan darah sama nenek tua itu," jawab Dona dengan dingin. Adelia mencengkeram ponselnya dengan begitu erat, buku-buku jarinya sampai memutih dan jemarinya gemetar. Dia menggigit bibirnya untuk meredam rasa pedih dalam hatinya, lalu bertanya dengan mata berkaca-kaca, "Kamu masih menganggapku putri kandungmu nggak sih?" Dona terdiam sesaat, lalu menjawab dengan dingin dan tanpa belas kasihan, "Sarah adalah putriku, dia pintar dan berasal dari keluarga yang baik. Kalau kamu saja bisa menikahi putra kedua keluarga Vijendra, tentu saja dia harus menikahi orang yang lebih baik lagi. Terserah kamu mau mencuri atau merampok, pokoknya kamu harus berhasil." "Kutunggu kabar baik darimu besok. Kalau nggak ... entah apa yang akan dialami oleh nenek tua itu." Setelah itu, Dona langsung memutuskan sambungan telepon. Sekujur tubuh Adelia sontak terasa dingin. Udara yang dia hirup terasa begitu dingin dan menghujam saluran pernapasannya. Tidak lama kemudian, terdengar suara dari arah tangga. "Loh, Bu Adelia? Kok malah sembunyi di sini?" Setelah akhirnya berhasil menemukan Adelia, Bibi Eni pun menariknya ke kamar utama. "Den Justin ingin bertemu dengan Bu Adelia begitu sadar." Adelia memendam kembali semua kegelisahannya, lalu berjalan mengikuti Bibi Eni masuk ke dalam kamar. Begitu melihatnya, Bu Jihan langsung menarik Adelia ke pinggir kasur dengan hangat. Dia pun berujar kepada putranya yang berada di atas tempat tidur dengan ekspresi dingin itu. "Ini Adelia, istrimu. Kalian menikah waktu kamu masih koma." Tatapan Justin yang sedingin es itu sontak membuat Adelia menundukkan kepalanya dengan kikuk. Justin pasti sudah mencap Adelia sebagai seorang wanita yang berani dan tidak tahu malu. Sorot tatapan pria itu benar-benar dingin dan tajam menusuk. Rasanya sekujur tubuh Adelia bergidik ketakutan. "Cerai." Justin berkata dengan nada memerintah. Adelia sontak menatapnya dengan kaget. "Nggak boleh!" pekik Jihan melarang. "Adelia itu nyawamu! Gimana kalau kamu malah mati karena bercerai darinya? Jangan bilang kamu masih suka dengan perempuan jalang itu!" "Ibu." Setelah sadar, suara Justin terdengar pelan, serak dan agak putus asa. "Aku juga cuma bisa jadi beban setelah sadar. Aku sudah kehilangan hak warisku. Aku nggak perlu menyeret orang lain ke dalam masalah." Bu Jihan pun menangis tersedu-sedu hingga menutup mulutnya. "Nggak, semuanya akan baik-baik saja asalkan kita bisa menemukan dokter itu! Kamu masih punya cara untuk bangkit! Semuanya akan baik-baik saja!" "Ibu sudah tanya belum ke gadis ini apa dia rela cuma menyandang status istri atau nggak?" Justin bertanya sambil menatap Adelia, sorot tatapannya menyembunyikan maksud tertentu. Bu Jihan sontak merasa sedikit bersalah, dia menatap Adelia dengan perasaan berkecamuk. "Adelia, kamu mau 'kan hidup bersama Justin? Walaupun kedudukan kami sebagai keluarga putra kedua sudah bukan apa-apa lagi, tapi aku masih punya mahar yang cukup untuk membiayai hidup kalian," pinta Bu Jihan kepada Adelia. Adelia mengatupkan bibirnya rapat-rapat, tangannya terkepal dengan erat. Dona menggunakan neneknya sebagai ancaman supaya bisa mendapatkan proyek besar dari Justin, tetapi proyek itu sepertinya adalah satu-satunya harapan bagi keluarga putra kedua ini untuk membalikkan situasi. Masa iya dia harus merenggut satu-satunya harapan keluarga putra kedua Vijendra? Namun, bagaimana dengan neneknya? Bu Jihan dan Justin mengira Adelia diam saja karena tidak setuju. Ekspresi Justin pun terkesan menjadi jauh, tampak elegan dan angkuh. Dia akhirnya memutuskan, "Besok kita urus surat cerainya." Adelia sontak tersadar dari lamunannya dan refleks menyahut. "Aku nggak mau cerai!" Walaupun Justin menatapnya dengan tajam, Adelia tetap mengumpulkan segenap keberaniannya untuk berkata, "Aku 'kan sudah menikah denganmu, aku nggak keberatan sekalipun itu cuma status!" Bu Jihan langsung menghela napas dengan lega, lalu berkata sambil tersenyum, "Anak baik, sudah Ibu duga kamu beda dari wanita lain di luar sana. Ayo, Bibi Eni, kita pergi. Jangan sampai kita mengusik momen berduaan pasangan baru ini." "Baik." Bibi Eni mengangguk, lalu menatap Adelia dengan kesan menyemangati. Setelah mereka pergi, pintu pun langsung dikunci. Adelia berdiri di ujung kasur sambil menundukkan kepala dan memainkan jemarinya. Dia menjilat bibirnya yang terasa kering. Sementara itu, Justin tetap menatapnya dengan tajam. Beberapa saat kemudian. Justin akhirnya berujar dengan suara pelan, "Nona Adelia, kalau kamu butuh uang, aku bisa memberikannya buatmu. Ibuku itu berbohong, maharnya belum bisa dikeluarkan dari pasar saham." "Aku nggak butuh uang," jawab Adelia sambil menggigit bagian dalam pipinya. Justin sontak teringat kejadian kemarin malam. Dia menghela napas pelan dan berujar dengan dada yang perlahan bergerak naik turun. "Aku sudah sadar, jadi nggak akan kubiarkan kamu mengulangi tindakanmu semalam. Kalau kamu bersedia cuma menyandang status sebagai istri, itu berarti kamu sama sekali nggak boleh menyentuhku. Lalu ... " "Kamu nggak boleh meluapkan hawa nafsumu," sambung Justin dengan ekspresi dingin. Wajah Adelia menjadi merah padam. Ya ampun, ciuman dan pelukan itu disebut sebagai pelampiasan hawa nafsu? "Nggak, kok," bantah Adelia dengan suara pelan. "Lagian, kamu juga nggak bisa." "Apa kamu bilang?" tanya Justin. Adelia langsung menggelengkan kepalanya, lalu melepaskan tangannya yang saling menggenggam karena sudah membulatkan tekad. Dia menatap Justin dengan matanya yang berwarna coklat terang dan berujar dengan tegas, "Pak Justin, aku yakin bisa mengobati kakimu." "Heh." Justin sontak mencibir dengan sinis. Wajar saja dia merasa pesimis dan tidak yakin. Bagaimanapun juga, dulu dia adalah anak orang kaya yang dibanggakan. Sekarang, dia menjadi orang cacat. Justin menganggap Adelia terus mengolok-olok dan menghinanya. Walaupun Justin adalah tipe pria yang berkelakukan baik, tetap saja dia akhirnya kehilangan kesabarannya. "Keluar kamu." "Aku nggak bohong," sahut Adelia dengan ekspresi yakin. "Memangnya kamu punya sertifikasi dokter? Kamu pernah nyembuhin siapa saja? Ada buktinya?" Adelia menggeleng. "Nggak punya, tapi aku sudah mengobati banyak orang waktu di desa. Waktu menyentuhmu, aku bisa merasakan nadimu ... " "Keluar!" Adelia mengernyit menatap Justin yang keras kepala, dia lama-lama mulai merasa kesal. Dia langsung berjalan mendekati tempat tidur dan menyibakkan selimut Justin, lalu melepas celana tidurnya! Kaki Justin yang berotot pun terlihat dengan jelas. Amarah Justin benar-benar tersulut. "Adelia!"

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.