Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 14

Bibir Jayden terkatup rapat dan matanya menatapku dengan dalam. Namun, sebelum dia sempat menjawab, Charlotte yang berada di belakangku tiba-tiba menarik lenganku, menyodorkan ponselnya, dan berkata dengan geram, "Emily, rumor tentang Avery dan Ethan sedang menjadi topik hangat di internet!" Aku pun menerima ponsel itu dan terkejut saat melihat tiga topik tentang Avery menduduki peringkat teratas pencarian! #RumorPacarAvery #Viral #AverydanEthan #Viral #EthanKaburdanMembatalkanPernikahannyademiAvery! #Viral Rasanya dunia seketika menjadi gelap. Aku tidak menyangka bahwa masalah ini akan viral lebih dulu melalui media sosial! Namun, saat itu aku hanya memikirkan satu hal. Aku pun segera mengangkat gaun pengantinku dan berlari ke arah ibuku yang ada di bawah panggung. "Emily, ada apa? Apa yang terjadi?" tanya ibuku dengan raut wajah penuh dengan kegelisahan. Karena duduk di antara para tamu, beliau pasti juga mendengar desas-desus yang beredar. "Aku ... aku dengar Ethan kabur dari pernikahan ini. Apa ada kesalahpahaman? Mana Ethan?" Jantungku berdebar sangat kencang. Aku tidak menyangka akhirnya ibuku juga akan tahu tentang masalah ini. "Nggak, Bu. Jangan dengarkan mereka. Ethan pergi menjemput seseorang dan dia akan segera kembali." Ibuku menggelengkan kepalanya, lalu berkata, "Ibu nggak percaya omongan mereka. Tapi, cepat telepon Ethan sekarang juga. Ibu mau dengar langsung dari dia ... " "Bu ... " "Kalau kamu nggak mau, Ibu yang akan meneleponnya." Ibuku langsung mengeluarkan ponselnya dan bersiap untuk menghubungi Ethan. Saat melihat tindakannya, aku pun buru-buru menahan tangannya seraya berkata, "Oke, oke, aku yang akan meneleponnya." Aku tahu aku tidak bisa menolaknya, jadi aku harus memberanikan diri untuk menghubungi Ethan. Namun, setelah telepon berdering cukup lama, tidak ada jawaban dari Ethan. Di bawah tatapan ibuku yang penuh kecemasan dan harapan, aku juga merasa sangat khawatir. 'Ethan, tolong angkat teleponnya!’ Seolah mendengar doaku, Ethan akhirnya mengangkat telepon tersebut. Namun, suara yang terdengar di seberang sana bukanlah suara Ethan. "Aduh, Ethan, bangun! Kamu menindih rambutku." Suara merengek Avery terdengar jelas dari telepon. Ibuku benar-benar terpaku di tempat, seakan tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Wajahnya yang pucat pasi makin diperparah oleh pembuluh darah merah yang menonjol. Kemudian, suara gesekan pakaian terdengar di seberang sana. Mataku membelalak tak percaya. Suara-suara yang kudengar bagaikan belati tajam yang terus menusuk-nusuk hatiku. "Diamlah!" Segera setelah itu, suara tegas Ethan terdengar. Lalu, dia berkata dengan nada berbeda, "Jangan mendesakku terus menerus. Aku sudah mau selesai." "Ethan, aku nggak bisa meraih bagian belakang bajuku. Bantu aku menutup ritsletingnya ... " Ibuku terlihat ingin berkata sesuatu, tetapi napasnya terengah-engah dan jari-jarinya gemetar. "Bu ... " Aku segera mengakhiri panggilan tersebut dan menopang tubuh ibuku. "Ini semua cuma salah paham ... " Namun, sebelum kalimatku selesai, ibuku sudah lebih dulu jatuh pingsan. Dunia seketika menjadi gelap, bagaikan diselimuti kabut darah. "Tante!" Aku mendengar seruan Charlotte, tetapi pikiranku terasa kosong dan berdengung. Pandangan di depan mataku pun seperti terhenti, bagai bingkai foto yang diam. "Bu!" Saat aku tersadar, aku segera memeluk ibuku. Namun, wajahnya terlihat pucat pasi dan darah terus mengalir keluar dari sudut mulutnya. Saat itu, air mata menggenang di mataku dan ujung jariku tidak bisa berhenti gemetar. "Cepat bawa ke rumah sakit!" Seketika itu juga, Jayden langsung membungkuk, mengangkat tubuh Ibuku, dan berlari keluar. Aku berusaha untuk mengejar, tetapi kakiku tergelincir karena sepatu hak tinggi yang aku kenakan. Seketika itu juga, tubuhku pun terdorong ke depan. "Emily!" Charlotte berseru dengan keras dan segera menahan tubuhku dengan sigap. Dengan raut wajah penuh dengan rasa takut, dia pun berkata, "Kamu nggak apa-apa, 'kan?" Aku menggelengkan kepalaku meskipun pergelangan kakiku sebenarnya terasa sangat sakit. Namun, rasa sakit itu seakan tidak berarti apa-apa. Aku langsung melepas sepatuku dan berjalan tertatih-tatih mengejar Jayden. Sepanjang perjalanan, mobil Jayden melaju dengan kecepatan tinggi. Aku bahkan tidak tahu berapa banyak lampu merah yang dilanggarnya. Sesampainya di rumah sakit, dokter dan perawat yang telah siap langsung membawa Ibuku ke ruang gawat darurat. Ketika lampu ruang gawat darurat menyala terang, aku berdiri di ambang pintu dengan perasaan putus asa yang mendalam. Kelelahan yang begitu sangat terasa seakan meremukkan tubuhku dari dalam hingga ke luar, sehingga membuat napasku tersengal-sengal. "Kakimu kenapa?" Saat itu, Jayden mengerutkan keningnya dan menatap pergelangan kakiku yang sudah merah dan bengkak. "Sepatumu mana?" Namun, aku seperti tidak mendengar ucapannya. Pandanganku masih terpaku pada lampu ruangan, sementara hatiku penuh dengan kecemasan. Jayden terdiam sejenak, lalu dengan sigap membungkuk dan mengangkat tubuhku. Dengan langkah panjangnya, dia membawaku ke bangku yang ada sekitar. "Aku nggak apa-apa," kataku lirih. Ketika melihat Jayden melepas sepatu kulitnya dan berjongkok untuk memakaikannya padaku, aku langsung tersadar dan segera menarik kakiku. "Jangan bergerak," ucap Jayden lirih, tetapi dengan nada yang tegas. "Kakimu terkilir, jangan sampai kedinginan lagi." Sepatu kulit itu membawa kehangatan tubuh Jayden dan menghangatkan kakiku sedikit demi sedikit. Namun, bersamaan dengan rasa hangat itu, air mataku tumpah membanjiri pipiku. Aku berusaha menahannya, tetapi air mata itu terus mengalir deras, seperti bendungan yang jebol. Aku menutupi wajahku dengan kedua tangan dan tidak kuasa menahan air mata yang tumpah. Tangisan itu seakan melepaskan seluruh kesedihan, kecemasan, dan ketakutan yang menyelimutiku diriku. Aku tidak ingat berapa lama aku menangis. Yang kuingat, saat tangisanku mereda dan kesadaranku mulai kembali, kutemukan tangan hangat Jayden menopang kepalaku di dadanya. Dengan lembut, dia membelai rambutku dan memberikan ketenangan tanpa sepatah kata pun. "Maaf," ucapku lirih. Kemudian, aku pun segera melepaskan pelukan Jayden seraya berkata, "Terima kasih." Jayden menatapku dalam-dalam, lalu berkata, "Tenanglah. Charles ada di sini. Kemampuan medisnya sangat baik, jadi Ibumu pasti akan baik-baik saja." Air mataku sudah tidak mengalir lagi. Aku pun hanya mengangguk pelan dan mengulang kata-katanya seperti mantra "Benar, Ibuku pasti akan baik-baik saja." Jayden tidak mengatakan apa-apa lagi, tetapi terus menemaniku dalam keheningan. Koridor rumah sakit terasa sangat sunyi dan hanya ada langkah kaki perawat yang sesekali terdengar. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama karena ponselku tiba-tiba berdering. Panggilan tersebut berasal dari Ethan. Saat nama Ethan muncul di hadapanku, hatiku yang tadinya damai seketika terasa kacau. Aku tidak pernah membayangkan bahwa kasih sayangku pada Ethan akan berubah menjadi kebencian ... Ponselku masih terus bergetar. Aku pun menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya mengangkat panggilan tersebut. "Emily, kamu di mana? Semua orang sudah menunggumu! Apa kamu nggak mau melanjutkan pernikahan ini?" Suara Ethan penuh dengan tuduhan dan terdengar sangat menyakitkan, seperti pisau yang menusuk telingaku. "Ya," jawabku dengan tenang. "Aku mau membatalkannya."

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.