Bab 10
Dokter yang merawat Ibuku kini telah digantikan oleh Dokter Charles. Setelah mendengar penjelasan beliau mengenai kondisi Ibu, aku keluar dari ruangan dengan perasaan campur aduk.
Di satu sisi, aku merasa lega. Namun, di sisi lain, aku juga merasa gelisah.
Dokter Charles menyarankan pengobatan tradisional dan berjanji akan berusaha sekuat tenaga untuk meredakan rasa sakit Ibuku. Beliau juga menekankan pentingnya menjaga suasana hati Ibu agar proses akhir hayatnya lebih tenang.
Namun, Dokter Charles juga memberikan instruksi khusus agar Ibu mendapat istirahat yang cukup dan tidak terbebani dengan masalah apa pun ...
Jadi ...
Jika ada perubahan dalam rencana pernikahanku, dia pasti tidak akan bisa menerimanya.
Dengan perasaan yang rumit, aku pun berjalan menuju kamar rawat Ibu. Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri, lalu tersenyum sambil membuka pintu.
"Bu, Ethan sengaja membeli buah arbei kesukaan Ibu. Tadi aku sudah coba satu dan rasanya manis sekali."
Saat aku berbicara, aku menyuapi Ibu buah arbei yang sudah dicuci.
Ibu tersenyum dan memakannya, tetapi pandangannya tertuju pada pintu. "Ethan mana?"
"Ada urusan mendadak di perusahaannya, jadi dia harus segera pergi," jawabku.
Seketika itu juga, raut wajah Ibu tampak sedih, tetapi dia segera menyembunyikannya dengan senyuman. Lalu, Ibu mengambil buah arbei dan menyuapiku. "Apa kamu sudah memberi tahu Ethan tentang kehamilanmu? Apa dia senang mendengarnya?"
Aku berpura-pura misterius, lalu berkata, "Bu, aku nggak bisa sembarangan memberitahu kabar baik ini begitu saja. Aku ingin memberinya kejutan besar."
"Ibu dan Kakak juga harus ikut merahasiakannya. Jangan sampai keceplosan di depan Ethan!" pesanku dengan nada bercanda.
"Oke, Ibu paham," jawab Ibu sambil tersenyum lembut. "Kamu sudah mau jadi ibu, tapi masih saja suka bercanda."
"Meskipun sudah jadi ibu, aku tetap anak Ibu," kataku manja.
"Dasar anak manja!" jawab Ibu sambil menggelengkan kepala gemas.
Aku tinggal di rumah sakit dan mengobrol dengan ibuku cukup lama sampai aku melihat sedikit rasa kantuk di wajahnya. Setelah ibuku tidur, aku pun memutuskan untuk pulang.
Selama perjalanan menuju kediaman keluarga Matthew, aku tertidur pulas di dalam mobil. Mungkin karena kondisi kehamilanku, belakangan ini aku sering merasa sangat lelah, seolah-olah tidak pernah tidur dengan cukup.
Entah berapa lama kemudian, pintu mobil terbuka dan embusan angin segar menyadarkanku dari tidur.
"Oh, Emily, sudah bangun?" Ibu mertuaku tersenyum lembut dan mengulurkan tangan untuk memegang pergelangan tanganku. "Ibu sudah menunggumu sejak tadi. Gaun pengantin yang kamu pesan sudah datang. Ayo, dicoba dulu! Kalau ada yang nggak pas, langsung telepon desainernya saja biar segera diperbaiki. Jangan menunda-nunda karena pernikahan sudah makin dekat."
Gaun pengantin itu sudah aku pesan sebulan yang lalu dan ukuran tubuhku pun sudah diukur.
Namun, saat mengenakan gaun pengantin tersebut, aku merasakan sesak di bagian perut.
Desainer yang ada di situ pun menyadari masalah ini dan langsung tertawa. "Sepertinya Bu Emily merawat diri dengan baik akhir-akhir ini sampai tambah gemuk ... "
Aku hanya bisa tersenyum canggung. Sebelum aku sempat menjawab, desainer itu menambahkan dengan nada penuh harap, "Apa mungkin ada kabar bahagia lainnya?"
Begitu kata-kata itu terucap, mata ibu mertuaku langsung berbinar-binar dan tatapan penuh harap tertuju padaku.
Jantungku pun berdebar kencang hingga tak sadar kukuku menancap ke telapak tangan.
Dihadapkan dengan tatapan penuh harap itu, hatiku tidak tega untuk berbohong padanya. Bagaimanapun, beliau adalah salah satu dari sedikit orang di keluarga Matthew yang benar-benar baik padaku.
Namun, saat ini pernikahanku dengan Ethan bagaikan perahu kertas di tengah badai, rapuh dan tak menentu. Jadi, dengan berat hati, aku pun terpaksa berbohong padanya.
"Mungkin karena terlalu sering makan, perutku jadi buncit." Aku sengaja menundukkan kepala dan berusaha memperlihatkan daguku yang berlemak. "Sepertinya aku memang agak gemukan."
Ibu mertuaku tertawa kaku, lalu berkata, "Gemuk apanya? Kamu tetap harus makan banyak supaya nggak kurus kayak dulu."
Setelah berkata demikian, ibu mertuaku memerintahkan sang desainer untuk memperbaiki ukuran gaun pengantinnya.
"Omong-omong, Ethan mana? Bukannya tadi kamu pergi ke rumah sakit bersamanya untuk menjenguk ibumu? Kenapa tadi kamu pulang sendirian?"
Aku menundukkan kepala dan berusaha menyembunyikan kesedihan di wajahku. "Mungkin ada urusan mendadak di perusahaan ... "
Ibu mertuaku jelas tidak percaya dan bertanya dengan nada curiga, "Apa Avery berulah lagi?"
Karena melihat ibu mertuaku langsung paham, aku pun memutuskan untuk menceritakan yang sebenarnya. "Ethan buru-buru pergi setelah mendapat telepon dari Avery."
Seketika itu juga, wajah ibu mertuaku memerah karena marah dan langsung berseru, "Dasa anak bodoh! Persis seperti ayahnya!"
Karena sudah membawa-bawa nama ayah mertuaku, aku pun memilih untuk diam.
Terlebih lagi, aku tidak tahu banyak tentang masalah ayah mertuaku dan ibunya Avery. Namun, yang pasti, ayah mertuaku selalu menganggap Avery sebagai menantunya.
Aku khawatir bahkan sampai sekarang pun beliau masih berharap Ethan bercerai denganku dan menikah dengan Avery ...
"Emily, jangan khawatir. Nanti aku akan marahi Ethan karena sudah membuatmu sedih," ujar ibu mertuaku, berusaha untuk menenangkanku.
Dulu, aku pasti senang mendengarnya, tapi sekarang ...
Meskipun aku bisa menahan Ethan di sisiku, apa untungnya bagiku?
Dari dulu, hatinya sudah tertambat ke orang lain.
Setelah mencoba gaun pengantin dan melengkapi penampilan dengan sepatu serta perhiasan, proses tersebut pun akhirnya selesai. Saat itu, Ethan juga baru saja pulang.
"Dasar anak nakal! Akhirnya kamu pulang juga!" omel ibu mertuaku tanpa henti. "Bisa-bisanya kamu meninggalkan Emily sendirian di rumah sakit! Kamu sudah sangat keterlaluan!"
"Cepat coba baju pengantinmu! Minggu depan kamu akan merayakan pernikahanmu, jangan bertingkah seperti anak kecil yang nggak bertanggung jawab!"
Ethan pun segera mengenakan setelan jasnya, tetapi pandangannya tak lepas dariku.
Aku merasa sangat lelah dan ingin segera beristirahat. Jadi, aku mencari alasan untuk naik ke atas.
Namun, ketika aku selesai mencuci muka dan hendak tidur untuk beristirahat sebentar, Ethan tiba-tiba masuk. Aku pun mengabaikannya dan berjalan menuju tempat tidur.
Ethan langsung memelukku dari belakang dengan dagunya terbenam di lekuk leherku. Dengan suara lirih yang bercampur dengan kelelahan, dia pun berkata, "Maaf, aku nggak bermaksud meninggalkanmu sendirian di rumah sakit. Aku janji nggak akan mengulanginya lagi ... "
Aku menarik lengan Ethan dan memutar tubuhnya menghadapku. "Ingat janjimu semalam? Baru sehari, tapi kamu sudah lupa semuanya."
"Bukan begitu. Depresi Avery kambuh, aku khawatir terjadi sesuatu pada ... "
Sebelum dia menyelesaikan ucapannya, aku langsung memotongnya dengan nada mencibir, "Lalu, apa yang buruk terjadi padanya?"
Ethan terdiam sesaat sebelum akhirnya menjawab dengan berat, "Nggak ada."
Aku ingin sekali menertawakan kebodohannya. 'Setiap kali ada masalah dengan Avery, akal sehatmu langsung hilang. Ethan, aku sudah bilang, kalau kamu masih punya perasaan padanya, kita ... "
Sebelum kata 'bercerai' terucap, Ethan buru-buru menyela, "Aku sudah nggak punya hubungan apa-apa lagi sama dia selain rasa hanya terima kasih karena sudah pernah menolongku!"
"Oh, ya?" ujarku sambil menatapnya dengan ragu.
"Kalau kamu mau balas budi, balas saja ke mantan suaminya. Tapi, sekarang mereka sudah cerai, jadi kamu mau balas budi apa ke Avery?"
Alis Ethan bertaut dan dia berkata dengan nada meyakinkan, "Aku janji nggak akan mengulanginya lagi."
"Aku capek."
"Emily ... "
"Aku mau tidur."
Saat melihatku memberinya isyarat untuk pergi, bibir tipis Ethan terkatup rapat dan dia terlihat kehilangan kesabaran. Setelah beberapa saat, dia menarik napas dalam-dalam, dan berkata, "Aku sudah mengakui kesalahanku, jangan memperpanjang masalah ini lagi, oke? Sudah kubilang, aku nggak akan pernah mengulanginya lagi ... "
"Kalau bukan untuk dirimu, pikirkan ibumu juga. Kesehatannya makin memburuk dan dia nggak boleh sampai tertekan ... "