Bab 3
Mendengar pertanyaan Sean, aku tertegun sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Nggak usah, cukup atasannya saja."
Sean melirikku sekilas, lalu melepas kaus lorengnya dan meletakkannya di samping.
Aku memakai sarung tangan medis dan memeriksa luka Sean.
Lukanya tidak dalam, tetapi memanjang. Setelah membersihkan luka itu dengan antiseptik, aku mulai menjahitnya.
Usai menjahit luka Sean, tanpa sadar aku memperhatikan tubuhnya yang tegap dan berotot.
Tidak salah lagi, inilah tubuh seorang tentara. Otot-ototnya tampak sangat keras hingga membuatku ingin menyentuhnya.
Tak kuasa menahan diri, ujung jariku tanpa sadar mendarat di otot perut Sean.
"Otot perutmu bagus," ujarku sambil tersenyum memuji Sean.
Aku kira dia akan malu atau marah karena ulahku.
Namun, ekspresi Sean tetap datar..
"Terima kasih."
Dia menjawab dengan tenang layaknya seorang tentara yang selalu serius dan disiplin.
Usai berbicara, Sean meraih kaos lorengnya dan langsung mengenakannya.
Aku kembali ke mejaku dan menulis resep untuk Sean.
Setelahnya, dia pun pergi dengan tentara muda tadi.
Jadwal jagaku tinggal beberapa menit lagi, jadi aku segera bersiap untuk pulang.
Setelah melepas jas dokterku, aku melihat ada pesan masuk dari Oliver.
"Kalau kamu mau minta maaf ke aku sama Selena, sekalian bawakan kami sarapan. Nanti aku maafkan."
"Vica, ini kesempatan terakhirmu. Kalau kamu nggak minta maaf sekarang, jangan harap aku bakal memaafkanmu."
Menyebalkan sekali. Memangnya Oliver pikir dirinya siapa?
Tanpa pikir panjang, aku menghapus pesan Oliver dan memblokir nomornya.
Kelihatannya Oliver benar-benar berpikir kalau aku tidak bisa hidup tanpanya.
Setelah keluar dari rumah sakit, aku berjalan ke tempat parkir.
Sebuah mobil jip militer berwarna hijau membunyikan klakson ke arah aku.
Aku menoleh dan melihat Sean di dalam.
"Ayo, naik."
Sean berbicara sambil menunjuk ke arah pintu dengan dagunya.
Aku ragu sejenak, tetapi kemudian langsung masuk tanpa banyak pertimbangan.
Dengan sebatang rokok terselip di bibirnya, Sean bertanya, "Ke rumahmu atau ke rumahku?"
"Om Sean, apa maksudnya? Aku nggak paham."
Aku menatap Sean dengan polos, pura-pura tidak mengerti.
Sambil memegang kemudi, Sean memiringkan tubuhnya untuk menatapku.
"Tadi di rumah sakit, kamu menyentuh perutku dan sekarang kamu bilang kamu nggak paham?" ujarnya sambil mendekatkan wajah dan meniupkan asap rokoknya ke telingaku.
Aku tersenyum dan mengaitkan lenganku ke leher Sean. Tiba-tiba saja, aku ingin menggoda sang Kapten Sean ini.
"Tapi, Om pamannya Oliver dan aku tunangannya."
Memang, aku sudah membatalkan pertunanganku dengan Oliver.
Namun, Sean belum tahu itu.
Sean tiba-tiba meraih pinggangku dengan tangannya yang kekar dan menarikku mendekat.
"Kamu sudah tahu kalau aku paman Oliver, tapi masih menggodaku. Vica, ternyata kamu berani juga, ya."
Sean menunduk dan menggigit lembut cuping telingaku.
"Sudah dua jam aku menunggu. Jadi, putuskan sekarang, ke rumahmu atau rumahku?"
Sean tampak sangat terburu-buru. Tangannya bahkan mulai meremas pinggangku.
Mungkin karena di markas jarang melihat perempuan, Sean terlihat sangat gelisah dan tidak bisa bersabar lagi.
"Bagaimana kalau ke rumah keluarga Ford saja? Berani nggak, Om?" tanyaku dengan senyum menantang ke arah Sean.