Selama Kau Bersamaku
Liora menatap lekat telepon yang berada di atas meja kerja Christopher. Ia lalu melirik dengan takut ruangan, membelakangi rak buku Christopher. Di sana ada kamar sekaligus kamar mandi di mana pria itu membawanya untuk bercinta. Liora tidak berusaha menepis atau memberontak. Ia memang membutuhkan waktu dan mengambil kesempatan dengan lebih baik.
Pria itu baru saja masuk untuk membersihkan diri, meninggalkan Liora yang mematung di sisi meja kerja Christopher dalam balutan gaunnya dengan tatanan rambut yang sedikit tidak rapi.
Napasnya terembus berat. “Semoga saja dia lama berada di kamar mandi,” cetusnya segera beralih mendekat ke meja kerja, tepat di hadapan telepon yang biasa diterima Christopher oleh sekretarisnya.
“Aku masih sangat bersyukur mengingat nomor orangtuaku dan nomor telepon rumah.”
Ia menyeringai kecil, membawa dengan cepat jemari tangannya menekan nomor yang sangat dihafalnya.
Perasaan Liora sangat bahagia saat sambungan itu terhubung cepat. Kedua tangannya tanpa sadar mengenggam erat telepon, berharap cemas mengenai respons di seberang sana. Ia menghubungi telepon rumah dan tidak mendapati ada pelayan yang mengangkat panggilan darinya.
“Ayolah, cepat. Tolong siapa pun angkat teleponku,” lirihnya, nyaris putus asa dengan detak jantung yang berdetak tidak keruan.
Ia terlalu takut saat Christopher bisa saja keluar lebih cepat dari waktunya membersihkan tubuh. Liora ingin pulang dan tidak memedulikan jika sebagian hatinya cukup kecewa dengan pria itu. Liora sudah dicampakan dan sekarang ia hanya menjadi pemuas napsunya saja? Itu semakin membawanya pada penderitaan yang panjang.
“Sial!”
“Kenapa tidak ada yang mengangkatnya,” sambungnya menggeram tertahan dan dengan cepat langsung menekan nomor telepon yang lain sampai sebuah suara menyahut, menghadirkan kebahagiaan dan senyum semringah Liora.
Itu suara Ivander!
Ya. Liora tanpa sadar menghubungi tunangannya lebih dulu.
Liora membulat sempurna, memberontak saat mulutnya sudah dibekap dan tubuhnya ditarik merapat. Ia melihat tangan itu segera mematikan telepon dan detik selanjutnya, Liora memekik—terhempas—di atas kursi kerja Christopher.
Pria itu menyorotnya tajam, tidak memedulikan rasa gugup dan keringat dingin Liora sudah bercucuran di keningnya. Napas dan dadanya naik turun, ia kaget mendapati Christopher sudah berada di belakangnya.
“Apa yang kau lakukan?!”
Ia memekik, berusaha keluar saat kedua tangan Christopher menjadikan dirinya terkungkung, mendapati pria itu menunduk untuk tidak memberikan akses keluar baginya.
“LEPAS!”
Liora memekik.
Rahangnya dicengkeram kuat pria dalam balutan kemeja lengan putih, membuka satu kancing teratasnya dan melipat lengan panjang itu sebatas sakunya. Pria itu menulikan pendengarannya mendengarkan rintihan Liora, tetap menunduk dan tidak memperbolehkan Liora bangkit dari duduknya.
“Aku sudah menduga kemungkinan ini, setelah percintaan yang kau lakukan dengan senang hati satu jam yang lalu, Sayang,” desisnya mendapatkan tatapan tajam dari Liora.
“Hentikan semua sikapmu ini, Chris! Biarkan aku kembali bersama Ivan—“
“—SUDAH KUKATAKAN UNTUK TIDAK KEMBALI PADA PRIA BODOH ITU!”
Tubuh Liora bergetar. Ia terdiam, menatap takut Christopher yang kini membentaknya, merasakan napas pria itu naik turun dan sorot tajamnya menghadirkan gemuruh dalam dadanya. Liora menelan saliva susah payah ketika tatapan tajam itu menghunusnya.
Christopher sedikit membungkuk lagi dan mendongakkan wajah Liora, menyuruh perempuan itu supaya mendongak kembali menatapnya. “Aku tidak akan pernah main-main dengan ucapanku ini,” desisnya membuat Liora merasa takut.
Tangannya gemetar hanya untuk melepaskan cengkeramannya. “Kau menyiksaku, Chris,” lirihnya dan merasakan kabut air mata itu sudah membumbung tinggi dari manik hijau Liora.
Ia tersenyum pedih, merasakan jika pria itu sudah semakin jauh. Liora tidak bisa mengenali sosok yang ada di hadapannya. “Tidak ada bedanya saat kau membawaku ke mari dan menyadari jika aku tampak masih menyimpan perasaan untukmu.”
“Kau berusaha mengurungku dan memberikan segalanya. Tapi kau tidak bisa memberikanku kenyamanan seperti dulu.”
Ucapan itu tampak membuat Christopher semakin lurus menatapnya. Ia memberikan pandangan tajam sebelum akhirnya ganti menangkup sisi wajah Liora. Perempuan itu ingin menepisnya kasar, tapi tidak mampu dilakukannya selain memejamkan matanya sejenak.
Ia ingin menguatkan hatinya saat Christopher sudah membuatnya tidak bisa memercayai pria itu lagi. Sama seperti dulu.
“Aku tidak peduli dengan perasaanmu. Aku hanya tau, jika kau telah menjadi milikku selamanya. Kau bahkan tidak bisa berpaling ke lain hati di saat telah memiliki seorang suami.”
“Kau telah menjadi istriku secara sah, Liora Felice Harcourt.”
Ia merasakan sesak dalam dadanya, membuka kelopak mata dan memberikan tatapan pedih pada Christopher. “Apa jika aku memustuskan untuk mati, kau akan menggagalkannya juga?” tantang Liora, merasa jika keputusan akhir dari setiap usahanya jika gagal ... Ia bisa mencoba cara terakhir yang tidak akan mungkin digagalkan Christopher.
Pria itu sangat suka menyiksanya. Maka, Liora akan dengan senang hati menyiksa dirinya sendiri.
Christopher menatapnya dingin, mengusap sisi wajah Liora dengan begitu lembut. Tanpa sadar Liora kembali merasakan desiran itu menghangatkan tubuhnya. Ia ingin memaki dirinya sendiri di saat seperti ini dan ketika Christopher telah berubah, respons tubuhnya masih saja selalu sama. Liora tidak mengerti dengan perasaannya sendiri.
“Sekalipun kau berniat melakukannya, aku akan berusaha menggagalkannya, Liora,” bisiknya membuat tubuh Liora bergetar.
Ia menatap pria itu yang memberikan sorot tajamnya. “Kau akan tetap hidup bersamaku hingga kita menua bersama.”
Senyum miring itu diperlihatkan Liora. Ia sangat sedih dengan kehidupannya sendiri. “Hingga menua? Lantas, kenapa aku harus bertahan mulai detik ini? Aku lebih baik mengakhiri diri di bandingkan seperti ini. Hidupku bisa menderita secara perlahan, di bandingkan aku masih memiliki satu pilihan tepat untuk mengakhiri semuanya dalam satu waktu.”
“Aku tidak pernah ingin melukaimu, Sayang,” balasnya menyeringai seperti iblis, membuat rahang Liora mengetat dan ia pun akhirnya berani menepis tangan itu dari sisi wajahnya.
“Aku sulit memahami pemikiranmu,” sahutnya putus asa.
Christopher memberikan tatapan sorot penuh arti sebelum akhirnya menegakkan tubuh. Liora masih nyaman membuang pandangan tanpa menatapnya dan Christopher tidak mempermasalahkan hal itu.
“Di dalam hidupku hingga detik ini. Tidak ada perempuan yang bisa memahamiku selain dirimu, Liora.”
Tubuh Liora membeku dan ia segera mendongak, mengalihkan pandangan pada Christopher yang berdiri menjulang di hadapannya, melemparkan tatapan datarnya yang begitu dingin.
“Ingat satu hal jika aku akan membahagiakanmu selama kau bersamaku.”
Ucapan itu mengakhiri interaksi di antara mereka saat Christopher memutuskan untuk keluar ruangan dengan penampilannya yang terlihat sedikit berantakan, tapi justru menghadirkan kesan seksi dan panasnya.
Liora menumpukan kedua siku di atas meja dan mencengkeram rambutnya dengan kedua tangan; menangkupnya dengan begitu frustrasi.
“Apa yang harus aku lakukan?” lirihnya dalam gumaman yang tidak akan terdengar oleh siapa pun.
**