Bab 4
Kilau cahaya menerangi wajah jernih nan indah milik Tristan.
Meski Yunara tak mengangkat kepala, dia bisa merasakan betapa tajamnya sorot mata pria itu saat ini.
Sejak awal, pernikahannya sudah gagal.
Kalau bukan karena dia bersikeras menikah dengan Yoel, Yunara tidak akan berakhir seperti ini.
Sebenarnya, tidak ada takdir di tengah Yunara dan Yoel. Semua hal bergantung pada kegigihannya.
Saat ini, pertanyaan Tristan sangat menggetarkan hatinya, bahkan langsung mengenai saraf terlemah di hatinya.
Mengganggu pikiran Yunara sekaligus membuatnya gelisah.
Yunara tidak tahu cara menjawab pertanyaan ini, sehingga dia hanya menghela napas, menundukkan kepala, lalu terdiam.
Pertanyaan yang diajukan Tristan adalah siksaan untuk jiwanya.
Awalnya, Yunara merasa, selama dia memperlakukan Yoel dengan baik, dia bisa membuatnya bersikap hangat sekalipun hati Yoel memang sekeras batu.
Sekarang, Yunara sadar bahwa Yoel bukanlah batu. Dia adalah es, benar-benar tak bisa dipanaskan dan hanya mampu membeku hingga melukai diri sendiri.
Kini, Yunara sudah dipenuhi banyak luka dan bekasnya.
Keheningan Yunara makin membuat Tristan prihatin. Menyaksikan dagu Yunara yang tampak begitu tirus, dia tidak bisa lagi menahan diri untuk membela Yunara.
"Yunara, kenapa kamu nggak bisa lihat, sih? Yoel sama sekali nggak mencintaimu!"
Selama lima tahun ini, Tristan belajar di luar negeri tanpa pernah menghubungi Yunara.
Namun, Tristan selalu peduli dengan kehidupannya hingga selalu menanyakan kabar Yunara melalui teman-temannya yang lain.
Tristan pun tahu sekilas soal kehidupan pernikahan Yunara.
"Yunara, apa yang kamu mau dari pernikahanmu dengan Yoel?"
"Demi dia yang nggak mencintaimu? Demi dia mengabaikanmu? Demi dia yang menyukai Sandra?"
Yunara makin tertegun, sampai-sampai menggigit bibir bawahnya dengan kuat. Wajahnya juga begitu pucat.
Panik dan mundur beberapa langkah, Yunara menghindari sorot mata Tristan yang tajam. Kepalanya menunduk dalam, bagai anak kecil yang tertangkap basah sudah bersalah.
"Aku ..."
"Hidupku bukan urusanmu! Nggak ada hubungannya denganmu! Ini bukanlah urusanmu!"
Seketika, kaki Yunara terasa nyeri, seolah-olah ada yang menusuk. Tekanan dan pilu yang telah ditahan sejak lama pun langsung meledak.
Luka-luka yang telah Yunara kubur di lubuk hati terdalamnya terus membusuk. Luka tersebut serasa tengah berkerak, timbul nanah, lalu membusuk lagi, membentuk kerak, hingga bernanah dan berulang layaknya siklus.
Daging busuk yang tersembunyi mendadak terungkap oleh Tristan. Semua daging yang membusuk langsung terbuka di bawah sinar matahari hingga rasa sakitnya sungguh tak tertahankan.
Namun, Yunara tetap tegar dan berdiri dengan tegak. Tak ada air mata yang dia biarkan untuk jatuh.
Melihat ekspresi tersembunyi di wajah Yunara membuat Tristan sakit hati.
Usai maju selangkah, Tristan memelankan bicaranya, "Yunara, kamu bukan orang yang rela menahan diri, lho. Penderitaan seberat ini dan kamu nggak pernah terpikir untuk cerai?"
"Yoel nggak bisa lihat kebaikanmu, nggak tahu cara menghargai kamu. Apa kamu juga nggak menghargai diri sendiri?"
Yunara terdiam usai dihadiahi pertanyaan menusuk jiwa ini.
Masih menggigit bibir bawah kuat-kuat, menahan air mata Yunara supaya tidak jatuh.
Yunara menahan air mata hingga matanya kemerahan. Bulu matanya ikut basah, dihiasi air mata hingga membentuk banyak gumpalan kecil dan bayangan di bawah mata. Makin menonjolkan kelemahannya.
Membuat orang merasa kasihan.
Melihat Yunara seperti ini, Tristan benar-benar merasa kasihan.
Sangat tidak nyaman layaknya tengah ditusuk jarum.
Tristan meregangkan kedua lengannya, ingin memeluk sekaligus memberi sedikit kenyamanan.
Namun, ...
Yunara menghindari Tristan. "Kak Tristan, kalau nggak ada urusan lain, aku akan bawa Samudra pulang lebih dulu."
Tristan melihat semua kelemahan dan kerapuhannya yang aslinya memang tidak ingin dia tunjukkan pada orang lain.
Reaksi pertama, lari!
Tristan melihatnya bagai kelinci kecil yang ketakutan, bahkan bibir Yunara hingga berwarna putih. Dia tidak tega untuk memaksa dia lagi.
Menghela napas seraya mundur selangkah, Tristan berkata penuh kelembutan, "Yunara dengarkan aku. Tinggalkan pria itu, cerai dengannya! Di dunia ini banyak pria baik, kamu nggak perlu terjebak dalam kehidupan Yoel ini."
"Dia sama sekali nggak pantas buatmu!" teriak Tristan.
Yunara terpaku di tempat.
Bibir merahnya terbuka membentuk huruf "O". Dia melihat Tristan dengan perasaan terkejut. Hati yang sudah penuh luka seketika berdegap tak terkendali.
'Cerai?'
'Bolehkah?'
Kata-kata Tristan bagai sambaran petir atas pasrahnya Yunara.
Seolah-olah mercusuar yang menerangi mata tengah memberinya petunjuk arah.
Kini, matanya berbinar-binar, bahkan berkilau bagai bintang.
Selama ini, Yunara selalu berpikir bisa menghangatkan Yoel si batu dengan memberi perasaan yang tulus.
Sekarang, Yunara tahu kalau hati Yoel tidak ada di sini. Tak peduli seberapa banyak dia berusaha, semuanya sia-sia.
Lebih dari lima tahun, lebih dari 1.800 hari dan malam, tidak ada yang tahu bagaimana waktu menjalari kulitnya.
Hanya Yunara yang tahu, malam yang makin gelap membuat hati terasa makin dingin.
Samudra yang sempat terlihat riang telah kembali meredup. Tubuhnya lelah. Lalu, dia berjalan mendekati Yunara yang bersandar pada alat kebugaran dan mengulurkan tangan kepadanya. "Mami, aku lelah," keluhnya.
Yunara segera mengangkat anak itu, lalu meraba dahinya.
Usai memastikan suhu tubuhnya sudah tidak terlalu panas, Yunara mengecup wajah sang putra dan membalas, "Baiklah, sekarang kita pulang dan tidur."
Tristan melihat Yunara membungkuk dalam-dalam ketika memeluk anaknya, lalu mengulurkan tangan untuk Samudra. "Mami sangat kelelahan, biar Paman yang gendong. Bagaimana?"
Pria itu tersenyum lembut, bagai sepoi-sepoi angin musim bunga.
Yunara segera menggelengkan kepala. "Nggak lelah, sama sekali nggak lelah!"
Senyuman Tristan menarik Samudra dalam tawarannya, kemudian si Kecil mengangguk seraya naik dari bahu Yunara ke tubuh Tristan.
Tristan memeluk si Kecil erat-erat dan memuji, "Samudra memang pintar, seorang anak yang peduli dengan ibunya."
Anak kecil itu agak malu ketika dipuji, tetapi dia masih merangkak ke pangkuan Tristan.
Tiga orang tersebut naik lift ke lantai 16.
Saat pintu lift terbuka, seorang perawat baru mengamati mereka dengan senyum begitu mesra, lalu berkata pada Tristan dengan nada ambigu, "Dokter Tristan, ini istri dan anak Anda, 'kan?"
"Istrimu sangat cantik, anakmu sangat lucu!"
Yunara baru saja ingin membantah, tetapi Tristan jauh lebih dulu bicara, "Ya. Cantik, 'kan? Lucu juga, nggak?"
"Semoga kamu segera bertemu pangeran impianmu, tapi jangan lupa untuk buka mata dengan baik, ya."
Wajah perawat itu langsung merona merah. "Oh, ya. Dokter Tristan, anak di Kamar 30 ini disuntik obat penurun demam di bawah kulit, tapi biaya belum dibayar. Ini tagihan pembayarannya, tolong bawakan buat mereka saat Anda pergi nanti dan minta keluarga membayar."
Kamar 30 adalah nomor ruang perawatan Samudra. Ketika Yunara mendengar ini, dia menjadi begitu sensitif dan segera mengambil lembaran pembayaran.
"Baik, aku akan segera membayarnya."
Yunara berlari ke mesin pembayaran mandiri, lalu memasukkan kartunya seorang diri.
Namun, ...
Informasi yang tampil di layar tertulis "Saldo tidak mencukupi".
Yunara memegang lembaran tagihan itu. Bibirnya terkatup rapat, sangat malu.
Lebih dari lima tahun menikah, dia tidak pernah menggunakan uang Yoel sedikit pun, sampai-sampai tak ada uang untuk membayar biaya pengobatan Samudra sekarang.
Pada saat yang sulit bagi Yunara, Tristan mengeluarkan sebuah kartu bank dan memasukkannya ke mesin.
Selama periode ini, mereka berdiri sangat dekat, bahu ke bahu.
Bahkan, terlihat layaknya pasangan muda.
Yunara selalu merasa ada yang mencurigakan, seakan-akan tengah ada seseorang yang mengawasinya.
Kalau menaikkan sorot matanya sekali, Yunara serasa bisa melihat Yoel dengan tatapan tajamnya, tengah berdiri dengan ekspresi dingin di sana.