Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 1

Kota Jiwangga. Tepatnya, di Rumah Sakit Pratama. Kegelapan menyelimuti sekitar kala senja tiba. Di ruangan yang dipenuhi bau disinfektan, tampak infus di tangan Samudra serta sorot matanya yang lemah. "Mami, aku mau Papa," mohonnya pada Yunara dengan suara lirih. Wajahnya tampak merona akibat demam. Bibirnya pucat pasi. Beberapa titik di kulitnya pun terkelupas. Wanita tersebut langsung tersenyum lembut, lalu mengusap dahi sang anak penuh kasih. "Samudra sayang, Papa lagi sibuk kerja dan nggak punya waktu, tapi Mami yang akan temani. Bagaimana?" Mencelupkan kapas ke air hangat, lalu kapas basah itu dioleskan Yunara pada bibir sang anak yang mengelupas penuh hati-hati. Samudra sontak menggelengkan kepala. "Nggak! Aku mau Papa, aku ingin Papa di sini," rengeknya. "Mami, tolong telepon dan minta Papa buat datang, ya?" Pupil cokelat milik sang anak tampak muram bagai dibalut kabut, bahkan penuh permohonan yang tersirat di sana. Makin lama mengulur waktu guna menolak, Yunara meyakini air matanya akan terjatuh. Perutnya seketika terasa nyeri. Sudah lima tahun menikah, lima tahun pula Yoel membencinya. Kebenciannya pada Yunara membuat Yoel tak menyukai Samudra. Meskipun Yunara menelepon, dia tak akan datang. Namun, hanya makin mengecewakan anak-anak. Akan tetapi ... Dihadapkan dengan pancaran keinginan dan permohonan di mata sang anak, Yunara tak kuasa untuk menolak. Menelan paksa pil pahit di hati, Yunara mengangguk kecil seraya bicara, "Mami coba, ya?" Walaupun sudah tahu bahwa Yoel mustahil menjawab telepon dari dirinya, Yunara masih mengambil opsi untuk mencobanya. Yunara tak bisa berhadapan dengan tatapan memelas milik sang anak. Meskipun berakhir dengan hinaan, Yunara hanya ingin memenuhi keinginan kecil milik sang anak. Ada cahaya di mata sang anak. Matanya tampak menatap penuh semangat dan penuh harap. Tenggorokan Yunara serasa gatal, tetapi dia mencoba untuk tetap tenang. Sambil menggertakkan gigi, Yunara menekan tombol panggilan ke nomor yang sudah dia hafal betul dengan keberanian penuh. Tut ... Panggilan terhubung, tetapi tidak ada yang menjawab. Ketika Yunara mengira sang lawan bicara tidak akan mengangkat panggilan ini, justru panggilannya langsung tersambung. "Halo?" Entah mengapa, Yunara mendengar suara wanita yang tidak asing dari seberang telepon. "Nggak tahu kalau Yoel sedang denganku? Kenapa malah telepon sekarang, sih?" "Yoel, jangan bergerak. Biarkan aku menciummu!" Yunara sontak pucat pasi. Tubuhnya serasa tengah diguyur air es dari kepala hingga kaki. Yunara mengenali pemilik suara ini, yakni pacar masa kecil Yoel, Sandra. Lima tahun lalu, Yunara berterima kasih pada keluarga Henderson. Namun, Kakek Jordan justru mengarahkan Yunara untuk menikah dengan Yoel sebagai tanda terima kasih. Hanya saja ... Selama bertahun-tahun, Yoel tidak pernah mencintai dirinya. Meskipun sedang di atas ranjang, sewaktu memperdalam cumbu, Yoel menyerukan nama Sandra. Ujung jari Yunara langsung terasa dingin. Yunara tidak punya keberanian untuk mendengar Sandra berbicara lagi. Layaknya anak yang tertangkap basah usai berbuat salah, dia lekas menutup telepon. Setelah berbalik, Yunara mendapati wajah penuh harap milik sang anak. "Papa bilang apa?" Yunara sungguh sakit hati, sampai-sampai tak kuasa menjawab. Sungguh tidak tahu caranya membuka mulut. Apakah perlu buka mulut untuk memberi tahu sang anak bahwa penerima panggilan adalah pacar masa kecil ayahnya? Usai beberapa saat, tidak ada alasan tepat yang Yunara dapatkan guna menipu anak-anak. Bersama gigi yang terkatup rapat, Yunara tidak berani menatap mata sang anak. Saat ini, Samudra masih demam dan tampak lesu. Melihat sang ibu tidak menjawab, keningnya mengernyit sebelum bertanya, "Mami, nggak berhasil hubungi Papa, ya?" Seorang anak yang tengah sakit benar-benar membutuhkan sosok ayah, sangat ingin papanya untuk menemani. Bibir bawah Yunara sudah tergigit sampai berdarah dan mulutnya dipenuhi rasa darah, tetapi dia tetap tidak tahu bagaimana caranya menjawab pertanyaan anak itu. "Sayang, Papa sedang sibuk. Mungkin nggak dengar suara ponsel." Benar-benar alasan buruk, bahkan tidak bisa menipu anak-anak sekalipun. Si Kecil tampak bersusah payah untuk bangkit, lalu mengangkat tangan untuk melepas plester penurun panas di dahinya. "Mami, aku kangen Papa. Kalau dia nggak bisa datang menemaniku, biar kudengar suaranya saja," pintanya. Yunara sibuk menahan tangan mungil milik sang anak yang terus bergerak-gerak. Hatinya seketika dijalari perasaan nyeri. Kalau tahu akan berakhir seperti ini, seberapa pun besarnya bakti keluarga Sabian pada keluarga Henderson, Yunara tidak akan menikahi Yoel. Sayangnya ... Tidak ada obat penyembuh rasa sesal di dunia ini. Samudra mengamati sang ibu yang menghentikan gerakan, sementara plester panas di dahinya tidak lanjut ditanggalkan. Tak bilang apa-apa, justru hanya mengamatinya penuh harap. Sadarnya sang anak pada sekeliling sungguh membuat Yunara iba. Sambil menahan air mata dengan gigi belakang, Yunara kembali menelepon nomor tersebut. Pengeras suara teleponnya pun dihidupkan. Lalu, dalam hati pun sibuk berdoa, 'Tolong jangan ada yang jawab telepon!' Selama telepon tak diangkat, sang anak jelas akan menyerah dan tidak akan meminta kehadiran ayahnya kembali. Tak disangka-sangka. Hanya dua kali berdering, telepon di seberang sudah terhubung. "Halo." Terdengar suara Yoel bernada dingin dari seberang panggilan yang terkesan tenang sekaligus berjarak. "Ada urusan apa?" Pria itu tampaknya tidak mendengar suara Yunara. Nada bicaranya pun dipenuhi ketidaksabaran. "Bicaralah!" Yunara menangkap rasa muak di balik nada bicara pria itu hingga dia benar-benar tak tahu harus berkata apa. Yunara ingin menutup panggilan, tetapi takut sang anak kecewa. Ketika merasa ragu, Samudra langsung buka suara, "Papa, ini aku." "Aku sedang sakit. Papa bisa jenguk aku di rumah sakit, nggak?" "Aku ada di Rumah Sakit Pratama. Lantai 16, Kamar 30." Anak itu tak sadar dengan nada buru-buru di balik ucapan pria itu karena hanya merasa begitu senang mendengar suara papanya. Bibir mungil milik sang anak kembali banyak berbicara, "Papa, aku benar-benar kangen." "Kalau Papa sibuk sekali, kita lakukan panggilan video saja. Bisa nggak?" "Samudra kangen banget sama ayahnya. Tiap hari, teman-teman Samudra selalu dijemput ayah mereka dan cuma dia yang nggak dijemput begitu." Mendengar keluhan sang anak, Yoel terhenyak di ujung telepon. Sayangnya ... Diam tersebut hanya berlangsung selama beberapa detik. "Papa sedang sibuk," tegas Yoel. Sang anak mendengar pernyataan sibuk, membuat wajah mungil miliknya diwarnai kekecewaan. Namun, dia tetap memahami situasinya seraya mengibaskan tangan ke arah ponsel Yunara. "Kalau begitu, Papa pasti sedang sibuk. Sampai jumpa," pamit Samudra. "Papa harus jaga kesehatan, ya. Jangan sampai sakit." Panggilan langsung terputus. Yunara ikut merasakan pilu sembari memeluk tubuh kecil anaknya. Karena Yoel tidak menyukai Yunara, sosoknya turut tak menyukai Samudra. Kalau tidak, sudah seharusnya seorang anak yang begitu pintar dan patuh sepertinya akan menjadi permata di hati keluarga. Akibat efek samping obat, Samudra lekas tertidur di pangkuan Yunara. Yunara tampak berhati-hati membaringkan sang anak, lalu membalut tubuh anak itu dengan selimut miliknya. Sambil menopang dagu, Yunara mengamati wajah mungil yang tengah terbaring di ranjang rumah sakit, tampak begitu mirip dengan Yoel. 'Anakku, kalau Mami bercerai dengan Yoel dan merestui hubungan dia dengan Sandra, apakah keluarga Henderson akan bersikap lebih baik pada kita?' Ketika cairan botol infus sudah habis, Yunara pun memanggilkan perawat untuk mencabut jarum. Usai cabut jarum, Yunara bergegas ke lorong guna mengecek biaya berobat sang anak. Belum sampai di depan mesin pencarian, Yunara mendapati sosok Yoel yang tinggi nan tegap tengah berjalan ke arahnya. Pria itu berjalan di depan, diekori pengawal keluarga Henderson. Jas hitam yang dikenakannya sungguh menampilkan postur tubuh yang sempurna. Benar-benar proporsi emas yang sebanding dengan postur tubuh seorang model pria. Apalagi, kaki jenjangnya. Mulai dari bawah leher hingga dada ikut terbelah, seakan-akan menyajikan seluruh tubuh Yoel berupa kaki. Fitur wajah milik pria tampan itu tampak menarik. Bola matanya berwarna hitam, bagai permata hitam penuh kilau. Sorot matanya terlihat angkuh nan dingin, bahkan sungguh dalam dan tak mudah terbaca. Kehadirannya didampingi seorang wanita berpakaian putih. Wanita itu sangat kurus, seolah-olah tulang di balik kulit putihnya nyaris tembus pandang. Wajah mungil seukuran telapak tangan itu melekat di lengan Yoel, dibarengi keningnya yang berkerut. Itu adalah Sandra!
Bab Sebelumnya
1/100Bab selanjutnya

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.