Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 3

Sepertinya ekspresi penolakan di mataku terlihat nyata, bukan akting. Sejenak, Susan tampak terkejut. Namun, ekspresi itu segera digantikan oleh ekspresi tidak sabar. "Kevin, jangan ngambek lagi." Aku tidak suka dia selalu berbicara padaku dengan nada seperti ini. Bahkan wajah yang pernah aku puja di masa muda pun mulai kehilangan pesonanya. "Aku ini suamimu, 'kan? Aku mencoba bunuh diri dan dirawat di rumah sakit, kamu pulang tanpa sedikit pun perhatian. Sekarang malah terus menyalahkan aku. Susan, kenapa kamu perlakukan aku seperti ini?" Amarahku tampaknya memicu kemarahannya juga. Dia mencengkeram pergelangan tanganku dengan keras, suaranya dingin saat dia berkata, "Karena semua ini salahmu sendiri." Tenaganya tidak terlalu kuat, tetapi cukup untuk menyentuh luka di pergelangan tanganku akibat percobaan bunuh diri. Rasanya sakit, tetapi aku menahannya tanpa mengeluh. Susan tiba-tiba melepaskan tangannya, seperti kehilangan minat. Dia berbaring menyamping, membelakangiku, dan suaranya terdengar dingin. "Kali ini aku biarkan. Tapi, lain kali jangan berpura-pura bunuh diri untuk mengancamku lagi." Aku berbaring di sebelahnya dengan perasaan campur aduk. Keesokan harinya, saat aku bangun, Susan sudah tidak ada di sebelahku. Aku asal mengambil pakaian dan turun ke bawah, lalu melihat wanita itu sedang sarapan di meja makan. Pelayan di dekatnya menyapaku, "Selamat pagi, Tuan Kevin." Aku berdiri tanpa bergerak. Susan bahkan tidak menoleh. "Turun dan makan sarapanmu." Meski hanya sarapan, kemewahannya membuatku melongo. Aku tidak bisa menahan diri untuk berpikir, benar-benar gaya hidup orang kaya. Sarapan saja serba mewah. Aku duduk di seberangnya dan melihat pelayan menyajikan semangkuk sagu mangga untukku. Aku terdiam sejenak. Mana ada pria yang makan sagu pagi-pagi? Mencium aroma mangga, aku mengernyit. "Kenapa ada mangga?" Pelayan menjawab, "Ini kiriman Pak Stefan. Dia sangat menyukai mangga ini, bahkan diimpor langsung dari Eropa..." Aku langsung kehilangan selera makan. "Aku nggak mau makan." Suara dentingan pisau perak dan piring keramik terdengar nyaring. Susan menatapku dengan dingin. "Kevin, jangan bertingkah." Aku mendongkol. "Nggak makan mangga pun jadi masalah buatmu?" "Kamu nggak makan karena ini kiriman Stefan, 'kan?" Wajah Susan tampak dingin. "Kevin, kapan kamu bisa berhenti cemburu pada Stefan?" Aku? Aku cemburu pada Stefan? Aku tidak tahu seperti apa Kevin yang berusia 27 tahun di mata mereka. Mungkin rendah diri dan kecil hati karena terlalu mencintai Susan. Namun, bagaimanapun, aku ini suaminya. Apa dia tidak tahu aku alergi mangga? Saat aku hendak bicara, pelayan tiba-tiba berkata, "Bu, Pak Stefan sudah datang!" Suara lembut terdengar, "Susan, apa aku mengganggu kalian?" Dari pintu, seorang pria bertubuh tinggi berjalan masuk. Baik kepala pelayan maupun pelayan di rumah ini terlihat akrab dengannya, menunjukkan bahwa dia sering berkunjung. Dengan sekali pandang, aku tahu pria ini adalah Stefan. Aku memperhatikan bagaimana pelayan memanggil kami. Aku adalah suami Susan dan aku dipanggil Tuan Kevin. Sementara, dia dipanggil Pak Stefan. Dari situ saja terlihat jelas siapa yang lebih dekat dengan mereka. Pantas saja jika aku yang berusia 27 tahun begitu memusuhi Stefan. Aku ini suami yang sah, tetapi tetap saja tidak bisa menyaingi cinta Susan yang terang-terangan terhadap pria lain, sambil berlindung di balik dalih "teman masa kecil". Siapa pun pasti akan merasa terguncang. Stefan menatapku dengan prihatin. "Tuan Kevin, aku dengar kamu mencoba bunuh diri...Bagaimana kondisimu sekarang?" Aku hanya mendengus, tidak peduli padanya. Aku tidak tahu seperti apa Kevin berusia 27 tahun di depan mereka. Mungkin sangat lemah dan tak berdaya, atau terlalu mencintai Susan hingga membiarkan mereka memperlakukannya semena-mena... Namun, aku ini Kevin yang berusia 18 tahun. Aku sama sekali tidak mencintai Susan. Jadi, aku tidak perlu bersabar atau mengalah padanya. Stefan terlihat serbasalah, lalu berkata pada Susan, "Susan, maaf, sepertinya Tuan Kevin tidak senang melihatku. Mungkin aku nggak seharusnya datang..." "Kalau tahu, kenapa datang?" Aku memotong langsung. "Mau lihat aku jadi bahan tertawaan, ya?" Wajah Stefan seketika merah padam. Susan menegurku dengan dingin, "Kevin, jangan bersikap nggak sopan." Dia membela Stefan, membuatku kesal dan makin kehilangan rasa hormat padanya. Awalnya, begitu sadar dan tahu aku menikah dengan pujaan hatiku semasa remaja membuatku agak bersemangat dan merasa beruntung... Namun, sekarang Susan ternyata tidak sehebat itu. Secantik dan sekaya apa pun dia, lantas kenapa? Memperlakukan suami sendiri seperti barang tak berguna, apa itu membuatnya merasa hebat? Kalau memang hebat, kenapa dulu mau menikah denganku? Aku kesal sendiri, sementara Stefan tetap tampak sopan dan tenang. "Susan, kali ini aku datang khusus untuk mengundangmu ke pesta perayaan keberhasilanku..." Setelah berbicara, dia tampaknya baru menyadari bahwa aku, sebagai suami, ada di tempat itu. Tidak mengundangku juga tidak pantas, jadi dia berkata padaku, "Tuan Kevin juga ikut, ya?" Awalnya, aku tidak berniat pergi. Namun, melihat tatapan Stefan yang diam-diam tampak meremehkan dan menantang, aku tiba-tiba tersenyum dan menjawab, "Baiklah. Lagi pula aku ini suami Susan. Tentu aku harus menemaninya."

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.