Bab 8
Di masa lalu, meskipun Haris menyakiti hatiku, aku masih bersedia menunggunya kembali.
Hal ini membuat Haris terbiasa.
Orang-orang dekatnya mengatakan bahwa aku tidak akan rela meninggalkannya selamanya.
Haris juga berpendapat yang sama.
Aku menyeret koper dan bersiap untuk pergi.
Terdengar suara lembut Elsa.
"Kak Haris, kamu sudah datang."
Elsa bergegas menghampiri dan memeluk lengan Haris dengan erat. Hampir seluruh tubuh Elsa menempel ke tubuhnya.
"Bagaimana kondisimu?"
Haris menyibak rambut yang terurai di dahi Elsa dan memeriksa kondisinya dengan teliti.
"Jauh lebih baik." Elsa mengangkat kepala, kemudian berkata lagi dengan tersenyum, "Kak Haris, jangan marahi Kak Chelsea."
Elsa membujuk sambil merangkul lengan Haris dan menggoyangkannya.
"Ini salahku. Andai tubuhku nggak selemah ini, Ayah juga nggak akan menyuruh aku tukar kamar dengan Kak Chelsea."
"Kak Chelsea juga nggak akan marah padaku ... "
"Bukan salahmu. Dia sendiri yang egois."
Haris melirikku sekilas, dia sengaja memeluk Elsa di depanku.
"Ayo masuk. Wajahmu baru sembuh dari alergi, jangan kena angin dulu."
"Ya."
Aku melihat mereka pergi sambil berpelukan bagai sepasang bayi kembar yang tidak bisa terpisahkan.
Namun, aku masih bisa bersikap tenang, tidak emosi seperti dulu.
Setelah hari peringatan ibuku, ayahku tidak datang menjemputku pulang.
Tidak terasa, ulang tahun Haris pun tiba.
Pada tahun-tahun sebelumnya, aku pasti sudah menyiapkan hadiah ulang tahun dari jauh-jauh hari.
Lalu, aku akan memesan hotel dan mendekorasi tempat perjamuan ulang tahun untuknya.
Namun, kali ini aku tidak menyiapkan hadiah ulang tahun.
Aku juga tidak akan merayakan ulang tahunnya lagi.
Pukul lima sore, aku sedang dalam perjalanan menuju ke bandara.
Banyak pesan baru yang masuk ke ponselku.
Ayah juga menanyakan keberadaanku. [Kenapa kamu belum datang? Ayah, Bibi dan Elsa sudah sampai.]
[Chelsea, kamu harus berlapang dada. Kelak, Haris akan menjadi bagian dari keluarga kita.]
[Kalau kamu nggak datang, apa kata orang nanti? Mereka akan mengira kalian berdua berselisih.]
Lucu sekali. Akhirnya, aku memutuskan tidak membalas pesan dan memblokir nomornya.
Saat akan naik pesawat, tiba-tiba aku menerima pesan melalui WhatsApp.
Itu adalah pesan dari Haris.
[Kenapa kamu belum datang? Semuanya sudah menunggumu.]
Aku tertawa dan tidak membalas pesan darinya, lalu memblokir semua kontaknya.
Lalu, aku berjalan masuk ke pesawat tanpa keraguan sedikit pun.