Teman Kencan?
Sesampainya di rumah Valerie, Ken langsung di sambut oleh Andika yang sudah menunggu di ruang tamu. Lelaki paruh baya itu duduk di sofa besar yang melingkar hampir memenuhi sebagian ruang tamu.
Tatapannya tajam, membuat Ken sedikit waspada.
Jujur saja, Ken takut kalau keinginan Andika untuk memukulinya kemarin belum terpuaskan. Mungkin saja ia masih ingin mengulanginya lagi, kan?
Andika masih mengawasi Ken yang duduk tegang di hadapannya. Lelaki di hadapannya itu seperti siap menerima hukuman apapun yang akan di berikan oleh Andika.
“Saya sudah menyelidiki latar belakang kamu,” ucapnya tanpa mengalihkan tatapan dari Ken.
Sedangkan Ken hanya bisa mengangguk samar. Tak heran kalau Papa Val menyelidiki latar belakangnya, mereka pasti penasaran, pada siapa anak perempuan tunggalnya itu menyerahkan keperawanannya.
“Semua yang kamu ucapkan kemarin ternyata benar, bahwa kedua orang tuamu sudah meninggal dan kamu hanya tinggal berdua dengan adikmu, teman sekolahnya Val, kan?” sambung Andika.
Lagi-lagi Ken hanya mengangguk.
“Lalu apa rencana kamu selanjutnya?” tanya Andika.
“Seperti yang sudah saya katakan tempo hari, bahwa saya akan bertanggung jawab sepenuhnya atas kesalahan yang saya lakukan pada Valerie.”
“Bertanggung jawab seperti apa?” tanya Andika lagi.
“Saya bersedia menikahinya, dan merawatnya dengan baik.”
Seketika Andika berdecih. “Kamu mau menikahi Val dan merawatnya dengan baik? Kamu pikir menikah dan merawat Val itu gampang?”
Kening Ken mengerut samar, tak paham dengan ucapan Andika.
“Tentu kamu sudah mengenal Val dengan baik, dan tau bagaimana sifat Val selama ini, kan?”
Kerutan di kening Ken berubah dalam. Bagaiamana Ken bisa tau tentang sifat Val? Kenal saja tidak!
“Apa kamu yakin bisa menghadapinya?”
Tanpa sadar Ken menggigit bibirnya, mulai merasa senewen. Dia tau, bahwa tidak mudah mengurus seorang remaja yang sedang mencari jati dirinya, apalagi mengurus seseorang yang tidak dia kenal sama sekali.
Ken jadi ingat bagaimana pertemuan pertamanya dengan Val di sekolah waktu itu. Gadis bar-bar itu bahkan bicara sangat tidak sopan padanya.
Tapi seharusnya itu tidak menjadi masalah, bukan? Toh pernikahan mereka nanti tidak akan bertahan lama. Ken hanya harus bertahan sebentar saja, setelah Val melahirkan, dia bisa melepaskan gadis itu dan menjalani kehidupannya lagi dengan normal.
“Kalau kamu benar ingin menikahinya, lakukanlah secara diam-diam. Jangan sampai ada orang lain tau, dan setelah kalian menikah, bawalah Val tinggal bersamamu.”
Seketika Ken membelalak kaget, dia pikir Andika tidak akan mengijinkan Val meninggalkan rumahnya setelah insiden ini. Kenapa justru Andika menyuruh Ken membawa Val tinggal di rumah Ken?
“Aku tidak mau ada tetangga atau keluarga yang tau tentang kondisi Val saat ini.”
“Maksud Pak Andika?”
“Mereka akan mengira Val pergi ke luar negeri untuk melanjutkan sekolah.”
Ooh … jadi itu alasannya?
Mereka tega menyingkirkan Val hanya demi nama baik, agar nama keluarga mereka yang terhormat tidak tercemar akibat ulah anaknya sendiri.
“Baik, Pak. Saya setuju. Saya akan membawa Val pulang ke rumah kalau kita sudah resmi menikah,” ucap Ken mantap, tak ada keraguan sama sekali.
Justru sekarang, Ken semakin merasa iba dengan Val. Gadis itu pasti merasa sangat menderita dan kesakitan karna harus menanggung semua ini sendirian.
“Maaf, Pak. Apakah saya bisa bertemu dengan Val? Sebentar saja,” mohon Ken. Lelaki itu hanya ingin memastikan bahwa keadaan Val baik-baik saja.
**
“You okay?” tanya Ken saat bertemu dengan Val di balkon atas, tepat di depan kamar Val.
“Gimana keadaan Kevin? Apa dia baik-baik aja?” bukannya menjawab pertanyaan Ken, gadis itu justru bertanya balik.
“Kenapa kamu menghawatirkan orang lain. Lihatlah sendiri kondisimu,” sahut Ken sedikit jengkel.
“Kevin bukan orang lain, dia ayah dari anak yang sedang aku kandung,” protes Val tak mau kalah.
“Sstt! Jangan kenceng-kenceng. Siapa tau Papamu yang seram itu menyadap obrolan kita.”
“Mana ada?!”
“Siapa tau?”
Val hanya mencebik kemudian memalingkan wajahnya ke depan. Kedua matanya masih terasa panas karna dua hari ini terus-terusan menangis.
“Kamu di pukul lagi?” tanya Ken, tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya.
Val menggeleng pelan. Orang tuanya memang tidak lagi memukulnya, namun justru itu yang membuat Val semakin terluka.
Lebih baik dia di hukum atau di pukul sampai babak belur dari pada harus didiamkan seperti sekarang. Karna sejak kejadian itu, Papa Val sama sekali belum mengajaknya bicara.
“Dalam waktu dekat kita akan menikah.”
“Menikah?” belalak Val. “Trus sekolahku gimana?”
“Tinggal nunggu pengumuman lulus, kan? Kamu juga nggak perlu datang ke sekolah. Papamu bilang, semuanya sudah di urus. Jadi kamu nggak perlu khawatir,” kata Ken, membuat Val tertunduk lemas.
Lalu bagaimana dengan teman-temannya? Dua hari ini ponselnya penuh dengan pesan singkat dan missed call dari Nadin. Sahabatnya itu pasti khawatir karna Val tiba-tiba menghilang tanpa kabar. Sampai sekarang Val belum membalas pesan atau menelpon balik ke nomer Nadin.
“Setelah menikah, aku akan membawamu tinggal bersamaku.”
“Ha?!” pekiknya lagi. “Tinggal bersama?”
Kedua mata Ken memicing, “Jangan ngulang-ulang ucapanku terus.”
“Sorry, maksudku, kita tinggal di satu rumah yang sama?”
Ken mengangguk.
“Papa nggak mungkin kasih ijin aku tinggal sama cowok,” ujarnya.
“Justru Papa kamu yang suruh aku buat bawa kamu pergi dari sini.”
“Serius?” Val menggeser duduknya, menatap lekat pada Ken yang tak sengaja juga menatapnya.
Entah mengapa, ada yang aneh di dalam hati Ken saat tatapannya bertemu dengan kedua mata indah milik Val.
Jatungnya berdegup lebih kencang dari biasanya, dan entah sudah berapa lama kedua matanya tidak berkedip, merasa terpesona dengan kecantikan Val saat dilihat dari jarak sedekat ini.
“Ehem!” Ken berdehem seraya memalingkan wajahnya, susah payah ia menelan salivanya, berusaha menetralkan perasaannya sendiri. “Aku harus pulang sekarang, ada janji sama teman.”
“Teman kencan?”
Seketika Ken menoleh lagi, menatap Val. “Bukan urusan kamu,” sahutnya, membuat Val mencebik kesal.
**