Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 4

Dia mengedipkan bulu matanya yang hitam dan lentik beberapa kali, lalu memejamkan matanya dengan lembut dan menutupi wajahnya dengan saputangan untuk menghalangi sinar matahari di luar jendela, hanya menyisakan bibir mungil yang merah dan segar. Dengan begitu, dia bersandar di kursi dan tertidur dengan tenang. Scarlet yang baru pertama kali mengendarai mobil terlihat lebih kaku. Dia duduk dengan kedua kaki rapat dan sangat penasaran dengan segala sesuatu di dalam mobil, tetapi dia menahan kegembiraan serta rasa pengetahuannya sambil duduk di kursi belakang dan menundukkan kepala dengan patuh. Dari waktu ke waktu, dia melirik ke arah Steve yang mengemudi di depannya dan jantungnya berdebar-debar. Sudut bibirnya terangkat saat memikirkan Steve si pria luar biasa, bertubuh tinggi dan tampan dengan kaki jenjang ini ditolak oleh kakaknya dan menjadi teman kencan butanya. Selama hal ini masih ada, sebaiknya kakak jangan berpikir untuk merebutnya. Mobil melaju dengan mulus di jalan tanah. Setelah sampai di toko kelontong di kota, Steve menghentikan mobil dan masuk. Saat keluar, dia membawa sebuah kue mangkuk di dalam kotak plastik merah. "Ini kue mangkuk yang kusebutkan di surat. Makanlah." Steve menyerahkan kue itu kepada Scarlet di kursi belakang. "Terima kasih, Steve." Scarlet sangat bersemangat. Lalu dia melirik Viona di sampingnya yang sepertinya sudah tertidur. Benar-benar pemalas, hanya bisa tidur sepanjang hari. "Lalu kakak ...." "Aku membelikannya untukmu." Steve menyalakan kembali mobil dengan wajah datar dan melaju menuju stasiun kereta. Scarlet merasa senang dan menatap Viona lagi dengan tatapan angkuh. Awalnya dia ingin menunggu sampai Viona bangun sebelum makan, tetapi dia tidak tahan lagi setelah menahannya beberapa saat. Dia membuka penutup plastik transparan di atasnya dengan hati-hati, menggunakan sendok plastik kecil untuk mengambil sepotong kue di tepinya sebelum memasukkannya ke dalam mulutnya dan kue itu langsung meleleh. Dia belum pernah makan sesuatu yang begitu lezat. "Terima kasih, Steve, kuenya enak sekali." Steve hanya diam saja. Melalui kaca spion di dalam mobil, dia melihat Scarlet sedang makan seolah telah menemukan harta karun. Di sebelahnya, wajah Viona masih ditutupi dengan sapu tangan dan kedua bibir merahnya yang indah dan lembap terlihat mengerucut. Kedua tangannya selalu melindungi tas biru berisi telur di pelukannya seolah takut telur di dalamnya akan diambil oleh Scarlet. Dia mengalihkan pandangan dengan acuh tak acuh. Saat melewati jalan tanah yang bergelombang, saputangan yang menutupi wajah Viona terjatuh dan dia tidak bisa duduk dengan tenang. Dia membuka matanya dan hendak membungkuk untuk mengambil saputangan di bawah. Scarlet segera menyerahkan kue yang belum habis dengan takut-takut, kemudian menundukkan kepalanya seolah takut dipukuli, "Kak, ini untukmu, jangan marah." Steve mengangkat matanya dan melihat ke kaca spion mobil dengan dingin. Seketika suasana di dalam mobil menjadi sangat sunyi dan mencekam. Kalau Viona tidak mengetahui hal ini, dia akan mengira Scarlet adalah gadis menyedihkan yang membuat orang merasa kasihan. Faktanya, dia hanyalah wanita licik yang sangat jahat. Selalu suka bertingkah menyedihkan dan berpura-pura menyedihkan. Jelas pemilik tubuh sebelumnya tidak berniat bersaing dengannya, tetapi Scarlet selalu bertindak seolah-olah dia diintimidasi dan ditakuti di depan orang lain, membuat orang salah paham terhadap pemilik tubuh sebelumnya dan mendapatkan simpati serta belas kasihan semua orang. Pemilik tubuh sebelumnya adalah orang yang pemarah. Kalau tidak bisa menjelaskannya dengan baik, dia hanya bisa menekan Scarlet dengan paksa dan mencoba membuatnya berhenti. Seiring berjalannya waktu, citra pemilik tubuh sebelumnya sebagai orang yang egois, sombong dan suka menindas adik perempuannya pun terbentuk. "Scarlet, Steve adalah teman kencan butamu, bukankah sudah seharusnya dia membelikannya untukmu? Kenapa aku harus marah?" Viona mengedipkan matanya yang jernih dan bertanya dengan bingung. Kelopak mata Scarlet bergerak dan dia tidak menyangka Viona akan bersikap setenang itu. Hanya dalam beberapa kata, dia membalikkan niatnya untuk membuat Steve salah paham kalau dia ingin mencoba merampas kuenya. "A ... aku nggak bermaksud begitu. Aku cuma makan setengah dari kue ini. Makanlah setengahnya lagi." Scarlet menyerahkan kue itu lagi dengan sikap baik dan pengertian. Pantas saja Scarlet menjadi pemenang akhir, dia memang pandai berpura-pura. "Steve sendiri mengambil jalan memutar ke toko kelontong kota untuk membelikan ini untukmu. Bisa-bisanya kamu mengecewakan Steve? Aku juga nggak suka, kamu makanlah." Viona tersenyum, memperlihatkan lesung pipinya yang jelas di kedua pipi dan suaranya lembut tanpa ada tanda-tanda permusuhan terdengar. Dia membungkuk untuk mengambil saputangan di bawah dan saat menutupi wajahnya lagi, dia melihat Steve menatapnya dengan tajam melalui kaca spion mobil. Mengingat kelak tidak akan pernah berhubungan lagi dengannya dan tidak akan pernah melihatnya lagi setelah tiba di Kota Barus. Dia berpura-pura tidak melihatnya dan menutupi saputangan untuk menghalangi terik matahari yang masuk melalui jendela mobil. Ucapan Viona jelas berarti dia belum tertidur dan masih terjaga sepanjang waktu. Dia juga mendengar semua yang Steve katakan kepadanya. Hal ini membuat Scarlet tidak bisa berkata-kata dan menarik kembali tangan yang memegang kue dengan wajah memerah. Diam-diam menggertakkan gigi, mengapa Viona menjadi berbeda dari sebelumnya setelah melompat ke sungai? Tidak lama kemudian, mobil sampai di stasiun kereta. Sudah ada dua prajurit yang menunggu di sana. Salah satunya adalah Xeno, seorang prajurit lokal yang datang untuk mengemudikan kendaraan pasukan kembali ke pangkalan militer dan yang lainnya adalah Herbert, orang yang mengikuti Steve dalam misinya. Setelah melihat Viona keluar dari mobil, mata kedua tentara itu berbinar. Astaga, pantas saja Komandan Steve datang jauh-jauh dari Kota Barus ke daerah kecil ini untuk menjalankan misi ini hanya untuk kencan buta. Dengar-dengar kemarin pagi setelah Komandan Steve menyelesaikan misinya, sore harinya dia pergi kencan buta dan tidak kembali sampai malam hari. Setelah selesai kencan buta dan kembali ke pangkalan militer, dia berbicara dengan keluarganya melalui telepon selama 15 menit tanpa henti. Seharusnya dia kembali ke Kota Barus untuk melaporkan pernikahannya. Tidak, seharusnya dia menyiapkan perjamuan dan masuk ke kamar pengantin setelah turun dari kereta. Kakak iparnya berambut hitam, bibir merah, pipi mulus dan kulit seputih salju, serta tubuh langsing. Kecantikan dan pesonanya murni, lebih cantik dari aktris di poster gambar. Kedua prajurit itu melangkah maju dan memberi hormat kepada Steve, lalu mereka berdua berlari ke bagasi mobil untuk mengambil barang bawaan kakak iparnya. "Halo kawan, apa kamu tahu toiletnya ada di mana?" Viona berdiri di depan mobil dan melihat sekeliling, tetapi tidak menemukan tanda toilet. Suaranya begitu lembut sehingga Herbert yang menemaninya merasa seolah mendengar suara yang sangat merdu. Kelak dengan adanya kakak ipar ini, seharusnya Komandan Steve tidak terlalu galak saat melatih mereka. Berpikir Komandan Steve dan kakak iparnya baru saja bertemu tadi malam, ini adalah kesempatan yang bagus untuk bersama dan tentu saja komandan harus menemaninya. Jadi Herbert meminta Viona untuk menunggu sebentar, lalu segera berlari ke balik pintu mobil dan berkata sambil tersenyum, "Komandan Steve, kakak ipar bilang dia perlu ke kamar mandi. Bisah kamu pergi bersamanya?" Alis Steve yang tinggi dan tajam langsung berkerut dengan penuh kebencian serta intimidasi saat menegur dengan serius, "Kakak ipar siapa? Wanita mana yang menyuruhmu memanggilnya seperti itu?"

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.