Bab 12
"Kenapa kamu menanyakan hal ini?" Steve bertanya dengan suara rendah.
"Kakakku ...." Scarlet menundukkan kepalanya, "Semalam setelah kamu dan Kak Howard keluar, aku melihat kakak terus melihat ke luar jendela untuk melihat Kak Howard. Aku juga mendengar kakak bilang dia merasa Kak Howard sangat luar biasa. Dia adalah seorang mahasiswa yang tampan dan ibunya adalah penanggung jawab SMA."
"Entah apakah dia mendengar Kak Howard juga tinggal di wilayah militer dan keluar pagi-pagi sekali ...."
Mobil melaju dengan mulus, tetapi Steve tiba-tiba menginjak rem. Alisnya yang tegas berkerut dan sepasang mata gelapnya terlihat dingin serta mengintimidasi.
Dia sudah menduga Viona tidak akan tetap diam, ternyata dia langsung menyukai Howard begitu tiba di Keluarga Hanio.
Kalau belum tiba di rumah sakit militer, dia pasti akan kembali mencarinya.
"Steve, kakakku tahu kalian nggak akan setuju, jadi aku nggak diperbolehkan menceritakan masalah ini. Kalau Kak Howard sudah punya pacar, aku akan membujuknya," ujar Scarlet dengan tampang patuh.
Selama Viona dikirim kembali ke kampung halamannya, tidak ada yang akan membandingkannya dengan Viona dan tidak akan selalu diakui sebagai teman kencan buta Steve.
Apa lagi yang dimiliki Viona selain wajah cantiknya itu? Jelas-jelas dia adalah anak bungsu di keluarganya, nilainya bagus, penurut dan dialah yang melakukan semua pekerjaan di rumah.
Mengapa sejak kecil semua orang memuji Viona, memanjakannya dan mengalah padanya?
Selama bersamanya, perhatian semua orang akan tertuju padanya dan Scarlet selalu diabaikan.
Scarlet bertekad untuk membuat Viona jatuh dan berada di bawah bayangannya selamanya.
Steve tidak berkata apa-apa, hanya memegang kemudi erat-erat dan terus melaju ke depan. Sepasang mata gelapnya sangat dingin dan kelam.
Setibanya di rumah sakit militer bagian ortopedi, dokter memeriksa kaki kanan Scarlet dan menemukan kaki itu sudah hampir pulih, hanya saja masih ada bekas luka. Cukup dioleskan salep saja.
Saat itu sudah pukul sepuluh saat kembali ke rumah Keluarga Hanio. Bi Winda sedang memilih piring di dapur, tetapi Viona masih belum terlihat.
Steve pun pergi ke rumah Keluarga Mardin dan hanya ada Hailey sang bibi yang ada di sana. Dia tahu Howard telah membuat janji dengan teman-teman SMA untuk pergi memancing di pinggiran kota pagi-pagi sekali.
Steve mengerutkan kening dengan dingin dan mengangkat tangannya untuk melihat arloji. Dia hanya memiliki waktu tiga jam untuk keluar.
Semoga Howard mendengarkan peringatannya dan tidak bersama Viona.
Saat mobil hendak menuju ke unit militer, dia melihat Viona dengan dua kepang panjang dan kemeja bersulam hijau muda berjalan sendirian di Jalan Bintara di bawah terik matahari.
Sepertinya dia sudah berjalan sangat lama. Wajahnya yang cantik dan lembut memerah karena sinar matahari, lehernya dipenuhi keringat dan beberapa helai poni di kening basah oleh keringat. Sesekali dia akan mengeluarkan sapu tangan untuk menyeka keringat yang menetes.
Di bawah naungan pohon, ada seorang wanita yang mendorong kotak dengan tulisan "es loli" di atasnya. Viona berhenti dan melihatnya untuk waktu yang lama.
Tangan mungilnya menggenggam saku dan terus menelan air liur. Sepertinya dia sangat ingin makan es loli, tetapi pada akhirnya dia enggan membelinya dan terus melangkah maju.
Steve memperlambat mobilnya dan melaju perlahan, melihat semuanya dengan jelas.
Sepertinya Viona tidak bisa menemukan Howard dan hanya bisa berkeliaran di jalan tanpa tujuan.
Dia menatap lurus ke depan dengan tatapan dingin, tidak berniat memedulikannya agar gadis itu akan mengingatnya untuk waktu yang lama.
Sebenarnya Viona agak sulit mengingat jalan. Jadi setelah mengikuti Bi Wati ke rumah tempat dia bekerja, Viona tidak lagi ingat jalan pulangnya.
Sekarang sudah tengah hari dan terik matahari seolah membakar tanah di bawahnya. Viona merasa tubuhnya seolah berada di dalam oven dan keringat membasahi pakaiannya.
Viona kepanasan dan haus, tenggorokannya terasa seperti terbakar. Akan tetapi, dia tidak membawa uang saat keluar, jadi dia terpaksa menahan rasa hausnya sepanjang perjalanan kembali ke rumah Keluarga Hanio.
Setibanya di rumah, Viona minum dua gelas besar air sebelum merasa seolah hidup kembali.
Bi Winda mengambil handuk yang dibasahi air dingin dan menyeka wajah Viona sambil bertanya dengan khawatir, "Bagaimana? Beres?"
"Beres, Bibi." Viona tersenyum dengan mata berbinar dan mengangguk pelan.
Dia tidak menyangka semuanya akan berjalan lancar.
Majikan dan istrinya adalah orang-orang berpendidikan, kelihatannya cukup ramah dan mudah bergaul.
Awalnya mereka merasa Viona masih terlalu muda dan tidak ingin menerimanya. Akan tetapi setelah melihat surat pengantarnya berasal dari militer, juga mendengar dia masih duduk di bangku SMA dan memanfaatkan liburan musim panas untuk mendapatkan uang sekolah, mereka pun setuju untuk menerimanya.
Besok pagi Viona bisa mengemasi tasnya dan pergi ke sana. Akhirnya dia akan punya kamar terpisah.
Setelah semua orang selesai makan malam, Nyonya Besar Hannah dan Scarlet kembali ke kamar mereka.
Viona pergi ke ruang kerja dan memberi tahu Jesper kalau besok dia akan menjadi pelayan.
Jesper terkejut dan semakin yakin penilaiannya tidak akan salah.
Kalau Viona benar-benar malas dan egois, mana mungkin dia bisa berpikir untuk mencari pekerjaan dan mendapatkan uang sekolah begitu datang ke Kota Barus?
"Viona, kamu nggak perlu khawatir tentang biaya sekolah. Nggak masalah kalau kamu ingin memanfaatkan liburan musim panas untuk bekerja, tapi jangan lupa untuk belajar." Jesper memperingatkan dengan serius, "Setelah lulus SMA, mencari pekerjaan di Kota Barus bukanlah hal yang sulit."
"Paman Jesper, tenang saja. Aku akan belajar dengan giat dan meninjau PR-ku." Viona tahu dengan prestasi akademiknya, tidak ada yang akan percaya kalau dia bilang akan bekerja keras untuk mengikuti ujian masuk universitas.
Setelah keluar dari ruang kerja, Viona pergi mandi.
Dia adalah orang terakhir yang mandi. Setelah mandi, dia mengumpulkan pakaian kotor yang telah dipakai semua orang dan merendamnya di baskom kayu, lalu menuangkan bubuk deterjen.
Dia mematikan lampu dan mulai mencuci pakaian di bawah sinar bulan yang masuk melalui jendela.
Pada tahun 1980-an, masih ada kekurangan listrik dan tagihan listrik pada malam hari juga sangat mahal.
Di beberapa daerah khususnya di daerah pedesaan, sering terjadi pemadaman listrik di malam hari dan tidak bisa menonton acara malam, sehingga terpaksa menonton tayangan ulang keesokan harinya.
Sangat boros baginya untuk mencuci pakaian dengan lampu menyala.
Viona juga ingin berterima kasih kepada Bi Winda karena telah mengenalkannya pada pekerjaan ini. Di era di mana pekerjaan bergantung pada kenalan, Bi Winda sangat membantunya.
Saat mencuci pakaian, pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka dan Viona terkejut dan menoleh ke belakang. Dia samar-samar melihat sosok tinggi serta tegap berdiri di depan pintu melalui sinar bulan.
Postur tubuh yang tegak terlihat seolah baru keluar dari militer.
"Paman Jesper, mau pakai kamar mandi? Tolong tunggu." Viona tentu saja mengira itu adalah Jesper, mengibaskan busa deterjen di tangannya dan memindahkan baskom kayu ke sudut.
Sinar bulan yang cerah menyinari tubuhnya melalui jendela dan rambut berkilau yang baru dicuci tergerai di bahunya.
Sosoknya terlihat lembut dan menawan.
Dengan rompi katun dan celana pendek, kulitnya putih, lembut dan kenyal.
Kakinya lurus dan jenjang bak pilar yang diukir dengan indah, pinggangnya juga ramping.
Orang yang berdiri di ambang pintu membeku, kemudian bergegas mundur selangkah dan berbalik menuju ruang kerja.