Bab 2
Windy juga menatapnya dan mengulang kembali perkataannya dengan tegas, "Kita bercerai saja, Hendry, apakah kamu menyukai hadiah ulang tahun ini?"
"Kamu ingin bercerai hanya karena aku tidak merayakan ulang tahun bersamamu?" tanya Hendry dengan ekspresi yang datar.
"Debby sudah kembali dari luar negeri, 'kan?" tanya Windy.
Ketika mendengar nama Debby, Hendry pun mendengus pelan.
Dia melangkah mendekati Windy sambil bertanya, "Kamu cemburu karena Debby?"
Sebagai dewa bisnis termuda di Kota Hilton, Hendry memiliki aura kuat yang dihasilkan dari kekuasaan, identitas, uang dan status yang saling tumpang tindih. Ketika dia mendekat, Windy otomatis mundur selangkah.
Windy pun bersadar di dinding dengan punggung yang terasa dingin.
Detik berikutnya, Hendry tiba-tiba menempelkan salah satu tangannya di dinding, lalu mengunci Windy di depan dadanya.
Hendry menatapnya sambil tersenyum sinis dan berkata, "Semua orang di Kota Hilton ini tahu kalau wanita yang ingin aku nikahi adalah Debby. Kamu kira orang-orang tidak tahu kalau kamu sudah mencoba berbagai cara agar bisa menikah denganku? Waktu itu, kamu juga tidak mempermasalahkan hal ini, kenapa kamu merasa keberatan sekarang?"
Wajah Windy menjadi pucat.
Benar, orang yang ingin dia nikahi adalah Debby.
Kalau Hendry tidak mengalami kecelakaan itu, mungkinkah Windy menikah dengannya?
Windy tidak akan pernah melupakan hari ketika Hendry terbangun. Ketika dia membuka kedua matanya dan melihat Windy, tatapannya penuh dengan rasa kecewa dan ketidakpedulian.
Setelah itu, Hendry selalu tidur terpisah dan tidak pernah menyentuh Windy.
Hendry mencintai Debby.
Windy juga mengetahui hal itu, tetapi ...
Setelah menatap Hendry selama beberapa saat, wajah tampannya mulai menyatu dengan wajah remaja yang ada di dalam ingatannya. Hendry, apakah kamu benar-benar tidak ingat padaku?
Ternyata, hanya Windy seorang yang masih tertinggal di ingatan tersebut.
Sudahlah.
Anggap saja tiga tahun ini sebagai ungkapan cinta Windy untuknya.
Windy menahan rasa sakit di dalam hatinya, lalu berkata, "Hendry, kita akhiri saja pernikahan tanpa nafsu ini."
Hendry tiba-tiba mengangkat alisnya, lalu bertanya dengan suara yang magnetis, "Tanpa nafsu?"
Dia kemudian mengangkat dagu kecil Windy dan mengusap bibirnya sambil berkata, "Ternyata, kamu ingin bercerai karena ini? Kenapa? Kamu menginginkannya?"
Wajah Windy seketika memerah, seperti buah beri yang sudah matang.
Windy tidak bermaksud seperti itu!
Saat ini, Hendry terus menekan dan mengusap bibirnya dengan penuh nafsu. Windy tidak menyangka pria tampan ini juga memiliki sisi yang sembrono seperti ini.
Dia bahkan memainkan bibir Windy dengan jarinya.
Ini adalah kali pertama Hendry menatap Windy dari jarak sedekat ini. Windy selalu berpenampilan seperti seorang wanita tua, dia hanya menggunakan gaun hitam putih dan juga kacamata yang besar.
Namun, ketika melihatnya dari jarak yang lebih dekat, Hendry menyadari kalau wajah Windy hanya sebesar telapak tangan. Di balik kacamata besar itu, juga tersembunyi wajah cantik yang anggun dan menawan.
Bibirnya sangat lembut.
Bagian bibir yang ditekan akan menjadi pucat sebentar, lalu kembali memerah dalam waktu sekejap.
Bibirnya yang lembut benar-benar membuat orang ingin merasakannya.
Hendry menatap dengan tatapan yang dalam sambil berkata, "Tidak disangka, Bu Windy begitu menginginkan lelaki? Nafsu Bu Windy begitu kuat?"
Plak!
Windy langsung mengangkat tangan dan menamparnya.
Wajah tampan Hendry seketika memerah karena tamparan tersebut.
Jari-jari Windy juga bergetar karena marah, ternyata cinta yang tulus itu tidak ada harganya dan hati yang tulus hanya akan diinjak-injak. Hendry bahkan berani mempermalukan dirinya seperti ini.
Windy segera berkata dengan penuh amarah, "Aku tahu kamu tidak bisa melupakan Debby, jadi aku akan merestui kalian sekarang! Aku akan mengembalikan status istri ini pada Debby!"
Wajah Hendry tiba-tiba terlihat sangat dingin. Dia sangat dihormati sejak kecil dan sama sekali tidak pernah ditampar seperti ini!
Hendry menatapnya dengan dingin sambil berkata, "Windy, kamu kira kamu bisa menikah dan bercerai sesukamu? Kamu kira aku apa?"
"Mainan," jawab Windy sambil tertawa.
Apa?
Mendengar ini, Hendry benar-benar marah.
Windy menahan rasa sakit di hatinya sambil berkata, "Kamu adalah mainan yang aku ambil dari tangan Debby. Aku sudah bosan sekarang, ingin aku buang."
Hendry hanya bisa berkata dengan nada yang suram, "Baiklah, Windy, kamu benar-benar hebat. Ayo bercerai, tapi jangan pernah mencariku untuk rujuk kembali!"
Hendry bergegas naik ke lantai atas, lalu membanting pintu dengan keras sebelum masuk ke ruang kerjanya.
Windy seolah-olah kehilangan semua tenaga di dalam tubuhnya, tubuhnya kemudian meluncur turun mengikuti dinding.
Dia berjongkok di atas karpet sambil memeluk dirinya sendiri dan berkata, "Hendry, aku tidak akan mencintaimu lagi."
Keesokan paginya.
Bibi Wanda membuka pintu ruang kerja dan masuk ke dalam.
Saat ini, Hendry sedang duduk di kursi sambil memeriksa dokumen. Dia terkenal sebagai seorang pekerja keras.
"Pak Hendry," sapa Bibi Wanda.
Hendry tidak menatapnya dan suasana di dalam ruangan itu terasa sangat dingin. Terlihat jelas kalau suasana hati Hendry sedang tidak baik-baik saja.
Bibi Wanda dengan hati-hati meletakkan kopi di samping tangannya, lalu berkata, "Pak, ini kopi buatan Bu Windy."
Tangan Hendry yang sedang memegang pulpen tiba-tiba berhenti dan ekspresinya yang dingin akhirnya mulai melunak.
Apakah Windy ingin berdamai?
Sebenarnya, Windy adalah seorang istri yang baik. Dia selalu memasak makanan kesukaannya dan mencuci pakaiannya dengan tangan. Windy bisa memenuhi segala kebutuhan rumah tangganya.
Hendry mengambil kopi tersebut dan meminumnya.
Ini adalah kopi buatan Windy dan merupakan rasa kesukaannya.
Namun, Hendry masih marah.
Windy menamparnya tadi malam dan Hendry akan marah untuk waktu yang lama.
Dia tidak mungkin melupakan kejadian itu hanya dengan satu gelas kopi.
Hendry bertanya, "Apakah Bu Windy sudah menyadari kesalahannya?"
Mendengar ini, Bibi Wanda menatap Hendry dengan tatapan yang aneh sambil berkata, "Pak ... Bu Windy sudah pergi."
Hendry tertegun sejenak, lalu menatap Bibi Wanda.
Bibi Wanda mengeluarkan sesuatu sambil berkata, "Pak, Bu Windy pergi membawa koper. Ini adalah titipannya sebelum dia pergi."
Hendry mengambil kertas itu, lalu membukanya. Di saat yang bersamaan, dia melihat tiga kata yang tertulis besar: "Surat Perjanjian Perceraian."
Hendry tidak tahu harus berkata apa. Awalnya, dia mengira kalau Windy ingin berdamai dengannya.
Bibi Wanda kembali berkata, "Pak, Bu Windy memintamu menandatangani surat perceraian ini setelah meminum kopi buatannya."
Hendry melirik kopi itu dengan tatapan yang dingin sambil berkata, "Buang! Buang kopi ini!"
"Pak Hendry, bukankah tadinya kamu sangat menyukai kopi ini? Kenapa tiba-tiba membenci kopi ini?" tanya Bibi Wanda.
Namun, Bibi Wanda juga tidak berani berbicara banyak, dia segera pergi dengan membawa kopi tersebut.
Hendry segera membaca surat perceraian itu dengan ekspresinya yang muram. Windy tidak akan meminta satu sen pun darinya setelah bercerai.
Melihat keberanian Windy, Hendry pun tersenyum dingin. Apakah gadis desa seperti dia bisa hidup tanpa uang?
Bukankah Windy menikah dengannya tiga tahun yang lalu hanya karena uang?
Hendry kemudian menyipitkan matanya karena dia melihat alasan perceraian.
Alasan perceraian yang ditulis tangan oleh Windy adalah pihak laki-laki tidak sehat dan tidak bisa menjalankan kewajiban suami istri.
Hendry terdiam sejenak.
Wajah tampannya seketika menjadi muram.
Wanita sialan!
Hendry mengeluarkan ponselnya dan langsung menelepon Windy.
Ketika panggilan terhubung, Windy pun berkata dengan suara yang dingin, "Halo?"