Bab 11
Hendry menangkap tubuh itu.
Dia melihat dengan mata yang tampan dan berkata dengan tidak senang, "Windy, kenapa kamu pulang?"
Windy juga tidak menyangka dia akan pulang. Hari ini Hendry mengenakan setelan jas hitam yang pas dan baru pulang dari luar. Kain mahal yang berkualitas itu dipenuhi dengan udara dingin dari luar.
Tubuh Windy sangat panas. Tanpa sadar dia terus memeluk Hendry, berharap bisa memadamkan api hasrat di tubuhnya dengan aroma dingin yang ada pada dirinya.
"Hendry ... " ujar Windy sambil menatapnya dengan mata berbinar.
Belum sempat berbicara, Hendry sudah mendorongnya. Hendry menatapnya dengan dingin dan berkata, "Ada apa denganmu?"
Windy yang didorong tiba-tiba tertegun sejenak. Dia bahkan berpikir untuk meminta bantuan dari Hendry.
Bagaimana mungkin Hendry mau membantunya?
"Aku diberi obat oleh seseorang," ujar Windy.
Diberi obat?
Hendry mengerutkan keningnya. Wanita yang selalu membuatnya marah ini benar-benar suka menimbulkan masalah!
"Tunggu sebentar," ujar Hendry.
Hendry berjalan ke tepi jendela dan mengeluarkan ponsel dari saku celananya, lalu menelepon seseorang.
Suara dering ponsel berbunyi, Hendry satu tangan memegang ponsel dan tangan lainnya menarik dasi di lehernya. Dasi itu tergantung longgar di lehernya, memberikan kesan liar yang jarang ada pada sosok pemuda kaya yang angkuh.
Windy tidak berani melihatnya lagi.
Telepon terhubung dan itu suara Jevin. "Halo, Kak Hendry."
"Apa yang harus dilakukan kalau seorang wanita diberi obat?" tanya Hendry.
Jevin tersenyum senang seolah mendengar gosip. "Wah, Kak Hendry, apa kakak ipar Debby yang diberi obat? Kalau begitu, kamu harus turun tangan langsung untuk membantunya."
Hendry memegang ponsel dan berkata, "Bicaralah dengan jelas."
"Bukan kakak ipar Debby, ya? Kalau begitu, rendamkan dia ke dalam air dingin. Tapi proses ini sangat menyiksa, dia akan baik-baik saja jika bisa bertahan, kalau nggak bisa tahan, bisa menyebabkan pembuluh darahnya pecah dan mati."
Hendry menutup telepon. Dia menoleh ke Windy dan berkata, "Apa kamu bisa mandi air dingin sendiri?"
"Bisa," jawab Windy sambil mengangguk.
Dia berjalan dengan cepat ke kamar mandi.
Hendry melepaskan jas hitamnya. Saat ini, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari kamar mandi, "Ahh!"
Hendry yang tampan menunjukkan ekspresi tidak sabar. Apa yang dilakukan wanita ini?
Hendry melangkah masuk dan bertanya, "Ada apa?"
Windy berdiri di bawah pancuran air. Pakaian luarnya sudah dilepas dan hanya tersisa pakaian dalam.
Tali halus menggantung di bahunya. Bahunya sangat ramping dan mulus.
Kran pancuran air belum dibuka. Windy mengelus kepalanya yang kesakitan dan berkata, "Kepalaku terbentur."
Penampilannya sekarang langsung menarik perhatian Hendry.
Hendry tertegun. Melepaskan tangannya dan dahinya yang putih benar-benar memerah.
"Kenapa kamu begitu bodoh?" ujar Hendry.
"Aku nggak bodoh, aku pusing!" jawab Windy.
"Berdiri dengan baik," kata Hendry.
Apa?
Hendry langsung membuka kran air.
Air dingin tiba-tiba menyemprot keluar dan membasahi Windy hingga basah kuyup.
Tubuhnya panas dan airnya dingin. Perbedaan ekstrem antara panas dan dingin membuatnya langsung terjatuh ke dalam pelukan Hendry.
"Dingin sekali, aku nggak mau mandi air dingin," ujar Windy.
Hendry hanya bisa mundur dua langkah bersamanya dan kini mereka berdua berdiri di bawah air dingin.
Tangan kecil Windy mulai gelisah dan mulai menjelajahi pinggangnya.
Hendry adalah pria yang normal. Tubuhnya tiba-tiba tegak dan dengan suara dingin dia berkata, "Windy, apa yang kamu sentuh?"
Mata Windy mulai kabur dan memancarkan pesona lembut. "Aku merasakan enam otot perut," ujarnya.
Hendry terdiam.
Windy mengangkat kepala dan melihat wajahnya yang tampan sambil berkata, "Wajahmu juga sangat tampan."
Hendry segera mendorong Windy yang ada di pelukannya ke dinding yang dingin. Dia menelan ludah dan memperingatkannya dengan suara serak, "Jaga sikapmu!"
"Wah, kuat sekali, aku suka," ujar Windy.
Hendry mengambil pancuran air dan menyiram ke wajahnya yang memerah, ingin menyadarkannya.
Ah!
Windy merasa kesakitan dan segera mendorong tangannya. "Hendry, kalau Debby yang diberi obat, pasti kamu sudah membantunya, 'kan?" tanya Windy.
"Apa?" kata Hendry tertegun.
Bulu mata Windy yang panjang dan lembut penuh dengan air, bergetar dan tegar. "Karena aku, jadi kamu memaksaku mandi air dingin. Kalian semua nggak menyukaiku!" ujar Windy.
Hendry melihat matanya sangat merah, sepertinya dia menangis hari ini.
Saat ini Windy bergegas mendekat dan menggigit jakunnya.
Wanita sialan!
Hendry merangkul pinggangnya. Pinggangnya yang lembut seperti pohon willow yang tertiup angin, yang akan patah begitu saja.
Pinggangnya yang kecil itu bisa diukur dengan telapak tangannya.
Sangat lemah lembut.
Napasnya sedikit tidak stabil dan mencengkeram wajah kecilnya dan menjauhkannya.
Wajah kecilnya yang kemerahan dicengkeram oleh Hendry. "Apa kamu suka menggigit sesuatu?" ujar Hendry marah.
Windy tidak tersisa banyak akal sehat.
Dia melihat Hendry dan matanya yang merah mulai berair.
Sepertinya akan menangis.
Hendry terdiam sejenak dan segera menarik tangannya.
Windy justru memeluk lehernya dengan kedua tangannya. "Maaf, aku nggak sengaja menggigitmu. Sakitkah?" ujar Windy.
Tanpa menunggunya jawab, Hendry merasa lembut di tenggorokannya. Windy menciumnya.
Binatang kecil yang menggigit dengan taring tadi, kini menjadi seperti kucing kecil yang manis, berbaring di pelukannya dan terus menciumnya.
"Apa kamu sudah pernah melakukannya dengan Debby?" tanya Windy.
Tatapan Hendry menjadi gelap.
Windy berjinjit. Matanya yang basah menatap bibir Hendry dan berkata, "Hendry, aku telah diracuni, aku masih menjadi istrimu. Tolong bantu aku, ya?"
Saat ini, Windy perlahan-lahan mencium bibirnya.
Hendry tidak menghindar.
Kedua orang itu semakin dekat dan hampir berciuman.
Tepat pada saat itu, dering ponsel yang merdu berbunyi. Ada panggilan masuk.
Hendry mengeluarkan ponselnya dari saku celananya dan muncul nama Debby di layar ponselnya.
Debby meneleponnya.