Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 14 Kecantikan yang Luar Biasa

"Berhenti jadi hantu yang menghabisi mereka!" Kemarahan Harlan memuncak karena dia tidak menyangka Hans akan melindungi Stella. Selain itu, dia juga tak menyangka Cadas, orang kepercayaannya telah terbunuh. Makanya, Harlan berniat membunuh pasangan yang hina ini. Hans seketika berdiri, lalu memejamkan mata. "Zing!" "Zing! Zing! Zing!" Pisau buah di lantai itu tiba-tiba melayang lagi ke udara dan mengambang di depan Hans. Mata pisaunya mengarah pada Harlan dan bawahannya. Semua orang yang melihat terngaga, tak terkecuali Stella. Hal macam ini hanya terjadi dalam film, bagaimana mungkin Hans mempraktikkannya di dunia nyata? Wajah Harlan seketika memucat dan dia mendesak kedua bawahan di depannya. "Maju, habisi dia! Aku nggak percaya dia bisa …" "Wus!" "Syut!" Sebelum Harlan sempat menyelesaikan kalimatnya, pisau buah itu berubah menjadi kilatan cahaya dan langsung menusuk ke dahi Harlan, menancap sepenuhnya! Harlan terdiam, matanya terbelalak, dan langsung pingsan. "Aah, jangan bunuh aku, jangan bunuh kami! Kami nggak terlibat …" Para preman suruhan Harlan hampir mengompol saking takutnya. Meskipun terbiasa menghadapi bahaya, ini pertama kalinya mereka mengalami kejadian aneh seperti ini. Konon, orang bijak tidak membicarakan hal-hal mistis atau supranatural. Bukan karena tidak logis, melainkan karena menghormati dan menghindarinya! Akan tetapi, kejadian di depan mereka benar-benar tak berbeda dengan kekuatan mistis! Ekspresi Hans terlihat sangat menyeramkan bagai malaikat pencabut nyawa. Mau satu orang atau banyak membunuh tetap saja membunuh. Andai Hans tidak bisa menerbangkan pisaunya, entah apa yang akan terjadi padanya dan Stella. Jadi, dengan kekejaman dalam hatinya, pisau buah itu berubah menjadi kilatan tajam yang menerjang ke arah kerumunan! "Dewa, tolong ampuni kami." "Nak, kamu …" "Syut! Syut! Syut!" Pisau buah itu begitu ringan, lincah, dan yang paling penting, bergerak sesuai kehendak Hans! Beberapa detik kemudian, tempat itu telah menjadi sungai darah! Selain Stella, semua orang di Paviliun Merak telah mati. Bulu kuduk Stella merinding! Harlan mati! Hans telah membunuhnya! Keluarga Sendika punya dua putra. Putra sulungnya Helmi adalah mantan suami Stella. Putra bungsunya Harlan adalah adik ipar Stella. Karena kedua putra keluarga Sendika sekarang sudah mati, keluarga Sendika sudah tidak punya penerus lagi. Lutut Stella menjadi lemas saat memikirkannya. Dia tidak bisa membayangkan betapa mengerikannya balas dendam dari keluarga Sendika nanti. "Kak Stella kenapa?" Hans langsung memegangi Stella. Sebenarnya, Hans juga takut. Dia tahu perbuatannya hari ini pasti akan mengantarnya lebih dekat ke alam baka. Namun, dia tidak menyesal, jauh di lubuk hatinya Hans merasa lega. Benar, dia seperti orang gila. Setelah merasa mual saat pertama kali membunuh, sekarang dia malah kegirangan melihat para mayat yang bergelimpangan. Stella menarik napas dalam-dalam dan berkata, "Hans, bantu aku berdiri." Dia sudah tidak punya tenaga lagi. Hans dengan sigap membantu Stella berdiri. Saat dia membantu Stella, tangan kanannya tak sengaja melewati ketiak Stella dan menyentuh bagian yang seharusnya tidak disentuh. Wajah Stella langsung merah padam, terutama sewaktu merasakan telapak tangan Hans yang besar dan kasar menggesek kulitnya. Sekujur tubuhnya seketika memanas! Pada saat yang bersamaan, Hans juga sadar tngannya menyentuh bagian yang salah. Alih-alih menarik tangannya, dia justru menariknya ke atas sehingga Stella bisa berdiri. Barulah kemudian dia melepaskan tangannya dan memegang bahu Stella. Stella yang masih linglung merasa makin lemas setelah menghirup wangi tubuh Hans. Dia hanya ingin bersandar dalam pelukan Hans dan tidak bergerak. "Aku nggak bisa jalan lagi. Gendong aku ke lantai dua." Tenaganya habis. Setelah digantung begitu lama, kedua lengannya bahkan mati rasa. Apa lagi, trauma yang tersisa membuat sangat lemas. Tanpa pikir panjang, Hans langsung menggendong Stella. "Uh." Stella bisa merasakan betapa bidangnya dada pria ini. Dia merasakan keamanan yang belum pernah dialami. Namun, karena Hans bergerak terlalu cepat, baju yang menutupi tubuh Stella jadi melorot ke bawah. Hans menundu, lalu tersipu. Dia buru-buru mengalihkan pandangannya! Kedua tangan Stella terlalu lemas untuk bisa menahan bajunya yang melorot. Namun, jantungnya berdebar saat melihat Hans tersipu karena malu. Stella secara refleks memeluk Hans. "Bagus, ya?" tanyanya pelan. Hans sedang berjalan merasa jantungnya nyaris copot mendengar kata-kata Stella. Tenggorokannya juga terasa kering seketika. "Hehehe. Malu, ya …" Stella terkekeh. Hans memang pemuda yang naif dan polos. Tak lama kemudian, mereka sampai di lantai dua. Sesuai arahan dari Stella, mereka memasuki kantor. Stella menyimpan pakaiannya di tempat ini. Stella tidak merasa perlu menyembunyikan diri dari Hans. Dia mulai memakai pakaiannya di depan Hans sambil berkata, "Nanti malam aku bakal berterima kasih dengan sepantasnya." Setelah berkata demikian, wajahnya merah padam dan dia menghindari tatapan Hans. Adapun Hans, dia merasa tidak mampu berkata apa-apa. Dia tahu maksud perkataan Stella, tetapi dia tidak menolak! Jujur saja, Stella adalah wanita yang sangat cantik. Bohong kalau dia tidak tertarik pada tubuh Stella. Setelah berpakaian, Stella segera meraih telepon rumah dan menghubungi seseorang. "Kamu di mana?" "Cepat datang ke Resor Air Panas." Setelah menutup telepon, dia mengeluarkan sebatang rokok dari laci dan melemparnya pada Hans. Hans memang sesekali merokok. Dia menghabiskan sebungkus rokok selama beberapa hari, jadi tidak kecanduan. Sebaliknya, rokok yang diisap oleh Stella sangat ramping dan baunya tidak begitu menyengat. Setelah merokok, Stella tidak banyak bicara. Hans hanya berdiri di dekat jendela sambil memandang keluar. Resor Air Panas belum beroperasi sehingga tidak ada orang lain selain mereka berdua. Setelah menunggu hampir satu jam, sebuah mobil Land Rover putih berhenti di tempat parkir Resor Air Panas. Seorang pria pendek turun dari mobil tersebut. Pria pendek itu bermata sipit, punya bekas luka di sudut alisnya, dan jalannya pincang. "Kak Stella, ada laki-laki pincang yang datang." Hans memberi tahu Stella. "Ya." Stella menjawab tanpa menoleh. Tak lama kemudian, Catur masuk ke kantor Stella. Setelah menatap dingin pada Hans, dia langsung menatap Stella. "Tolong urus mayat-mayat di Paviliun Merak," pinta Stella dengan tenang. Catur sejenak memicingkan mata, tetapi dia segera mengangguk. "Baik." Setelah itu, dia langsung pergi tanpa memandang Hans lagi. Setelah pria itu pergi, Stella berkata, "Hans, kamu pulanglah dulu. Nanti malam kutelepon." Hans terkejut. Stella memintanya pulang?

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.