Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 11 Harlan Sendika

Hans akhirnya selesai bekerja pukul empat pagi, lalu menumpang mobil kecil milik Javier. Javier juga pendatang yang lama merantau di Jemara. Namun, dia sudah memiliki rumah dan mobil sendiri. Mobilnya memang bukan mobil mewah. Hanya mobil SUV seharga dua ratus juta. Javier mengajak Hans restoran malam. Meskipun sudah mendekati pukul empat dini hari, tempat itu masih ramai pengunjung yang makan. Mereka menyediakan berbagai macam makanan seperti kwetiau, mi, dan sate. "Kamu nggak tanya alasanku memintamu hindari wanita itu?" Javier dan Hans sudah lama kenal, jadi mereka selalu bicara apa adanya. "Kamu nggak berniat mencelakaiku, jadi kalau kamu memintaku menghindarinya, berarti dia bisa mencelakaiku, 'kan? Aku paham, kok." Javier tertawa. "Kamu nggak mau tahu gimana cara dia mencelakaimu?" Javier bicara sambil menikmati makanannya. "Gimana cara dia menyakitiku?" Hans bertanya. Javier tersenyum. "Tahu perbedaan antara Pak Irawan bos bar TOP sama orang lain?" "Ya, pasti beda dong." "Dia kaya, punya mobil mewah, dikelilingi wanita cantik, dan setiap hari makan makanan mahal. Makanya, dia beda sama orang lain." "Bukan itu maksudku." "Coba pikir lagi. Selain itu, apa lagi yang membedakannya dari kalian?" "Bedanya, ya?" Hans berpikir keras sejenak, lalu matanya mendadak berbinar. "Dia punya mata panda, setiap hari minum minuman keras, mukanya pucat, dan sering tidur sama wanita. Sepertinya ginjalnya sudah rusak." "Haha." "Ya, ginjalnya sudah lama rusak, tapi yang mau kutekankan adalah energinya sudah habis diisap." "Diisap? Apa maksudmu?" Hans tidak mengerti apa isap yang dimaksud. Javier berpikir sejenak lalu menjelaskan. "Dia merekrut wanita yang kakinya terkilir, kemudian wanita itu mengisap energinya." "Gimana wanita itu mengisap energinya? Maksudmu apa, sih?" Hans terdiam. Dia sama sekali tidak mengerti maksud Javier. Javier berpikir sebentar. "Kamu pernah dengar konsep mencuri energi orang lain untuk memperkuat diri, 'kan? Nah, wanita itu sudah mengisap energi Pak Irawan." "Nggak mungkin, 'kan? Kak Javier, kamu serius?" Hans terkejut sampai tidak bisa berkata-kata. Javier melambaikan tangan. "Kamu nggak perlu paham ceritanya. Pokoknya, yang penting jauhi wanita itu." "Kalau tebakan aku benar, sekarang kamu sudah menjadi incarannya." Javier menduga. "Dia nggak mau dibantu orang lain dan cuma mau kamu yang membantunya waktu itu. Pasti dia sudah mengincarmu." "Jadi, kalau ketemu dia lagi, sebisa mungkin hindari. Kalau dia tetap ngototo, langsung panggil aku." Javier memperingatkan. "Aku mengerti." Hans masih agak bingung. Entah perkataan Javier benar atau salah. Rasanya seperti membaca karya fiksi. Namun, Javier tampaknya tidak mau menjelaskan lebih lanjut, jadi Hans tidak menanyakan. Setelah makan dengan Javier, pagi telah menyingsing. Javier ingin mengantar Hans pulang, tetapi Hans beralasan ingin berjalan-jalan sehingga dia menolak tumpangan dari Javier. Setelah Javier pergi dengan mobilnya, dia langsung memanggil taksi. Hans sangat ingin ke resor air panas untuk menjenguk Stella. Setelah semalam berlalu, dia penasaran apa Stella masih berada dalam bahaya. Oleh karena itu, Hans ingin memastikan keadaannya. … Namun, Hans tidak tahu bahwa Resor Air Panas Jiwanta yang belum dibuka sudah diambil alih oleh sekelompok orang. Stella yang punggungnya penuh dengan tato digantung dalam Paviliun Merak dalam keadaan kedua tangan terikat. Di bawah kakinya dua pelayan terbaring berlumuran darah. Entah masih hidup atau mati. Seorang pemuda berambut panjang duduk sambil minum anggur merah dan mendengarkan musik, mengamati tubuh Stella yang aduhai! Stella sudah mengganti pakaian renangnya. Dia mengenakan celana kulit, tetapi bagian atasnya hanya memakai bra hitam tanpa baju. Tangannya diikat dan tubuhnya tergantung di udara. "Kakakku yang malang!" Pemuda itu menghela napas. "Sayangnya, nggak bisa menikmati tubuh wanita secantik ini. Dia pasti sengsara, bahkan setelah jadi hantu di alam baka." "Nenek bilang kamu pembawa sial. Katanya, siapa pun yang jadi suamimu bakal mati. Jadi, dia diam-diam memperingatkanku buat menjauhimu dan jujur aku agak takut." "Meski aku takut, teman-teman di sekitarku belum tentu takut, 'kan?" "Hmm, hmm, hmm?" Pemuda itu mengamati sekelilingnya. Mata keenam temannya yang berpakaian hitam penuh dengan gairah. Stella Lazuardi, wanita luar biasa yang sangat terkenal di Jemara. Konon, Stella adalah seorang macan putih, yaitu wanita paling sempurna di antara semua wanita. Tentu saja, "macan putih" juga akan membawa sial pada pasangannya! Lima tahun lalu, cucu tertua keluarga Sendika yang merupakan keluarga tersohor di Jemara menikah dengannya. Pernikahan mereka sangat meriah hingga menggemparkan seluruh penjuru negeri. Kemeriahan itu masih diingat oleh masyarakat Jemara hingga sekarang. Keluarga Sendika menggelar pesta besar-besaran, bahkan iring-iringan mobil pengantin begitu panjang hingga memenuhi jalan. Polisi lalu lintas pun kewalahan mengatur arus lalu lintas. Di balik kemeriahan itu, mempelai pria mati pada malam setelah pernikahan. Cucu tertua keluarga Sendika mati saat berada di ranjang bersama istrinya yang baru dinikahi. Katanya, cucu pertama keluarga Sendika mati akibat pendarahan otak. Ada juga yang bilang akibat kelelahan. Beberapa lagi mengatakan dia terlalu bersemangat. Namun, kebanyakan percaya bahwa kematiannya berhubungan dengan "macan putih". Macan putih adalah wanita kelas terunggul. Pria mana yang tidak tahu tentang "macan putih?" Bisa meniduri janda muda cantik sepertinya sekali saja, rasanya sepadan meski harus mati sekalipun. Saat pemuda itu mengajak temannya meniduri Stella, napas keenam orang berpakaian hitam seketika berubah berat. Putra kedua keluarga Sendika takut mati dan tertimpa sial, tetapi temannya tidak. Mereka adalah pembunuh bayaran yang sudah terbiasa dengan bahaya sehingga tidak takut mati. "Harlan. Nyalimu ciut, ya? Kalau berani hadapi aku." Meskipun Stella tergantung di udara, dia tidak menangis atau terlihat lemah layaknya orang yang tersiksa. Sebaliknya, dia malah agak menggoda dan sengaja menantang pemuda berambut panjang itu. "Kakakmu memang sial, dia malah mati di ranjang saat malam pertama menikah. Apa kamu percaya kalau aku masih perawan? Kalau berani, coba aja." Harlan tersenyum tipis. "Kamu sengaja memancingku, ya?" Stella mengejek. "Dasar pengecut." Harlan menggeleng. "Kakak Ipar, aku beri kesempatan. Selama kamu serahin dokumen itu dan kembalikan harta milik keluarga Sendika, aku janji kamu bisa pergi dari Jemara dengan selamat." "Harta keluarga Sendika?" Stella meludah. "Keluarga Sendika memang nggak tahu malu, ya?" "Semua harta itu adalah milikku, apa hubungannya sama keluarga kalian? Setelah kakakmu meninggal, pembagian hartanya sudah jelas. Kalian sudah ambil semua bagian kalian dan sisanya adalah hasil jerih payahku sendiri selama beberapa tahun." "Cih." Harlan mendengus dingin. "Kalau bukan karena harta peninggalan kakakku, mana mungkin kamu bisa untung besar? Jadi, semuanya adalah milik keluarga Sendika." Stella tertawa terbahak-bahak. "Keluarga Sendika memang nggak tahu malu, ya? Cuma bisa menindas seorang janda." "Baiklah, aku nggak mau berdebat lagi. Aku tanya terakhir kalinya, kamu berniat serahin atau nggak?" Wajah Harlan berubah kejam, kesabarannya makin menipis. "Kemari dan hadapi aku. Biar kuberi tahu letak dokumen itu. Kamu nggak mau main-main sama Kakak Iparmu? Hadapi aku kalau berani." "Cuih, dasar wanita murahan. Kamu pikir aku percaya omonganmu? Aku bisa gonta-ganti wanita setiap malam, buat apa berurusan sama wanita liar sepertimu?" "Cadas, dia milik kalian sekarang. Hmm, sini biar kupotret." Harlan mengeluarkan ponsel. "Kayaknya bakal seru. Jangan terlalu cepat menyerah, ya." "Tenang aja, Pak Harlan. Hahaha … " Keenam pria itu tertawa mesum.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.