Bab 16
Jeremy selesai menonton videonya, dan sebuah ekspresi kosong terlihat di wajahnya. “Dari mana kau mendapatkan ini?” dia bertanya dengan suara dingin.
Madeline merasa kalau pertanyaan itu tidak masuk akal. “Pentingkah tahu dari mana aku mendapatkannya? Bukankah kebenaran yang baru saja kau lihat itu lebih penting?”
“Kebenaran?” Jeremy mengangkat kepalanya dan menghapus video itu dengan satu sapuan jarinya. Dia bahkan juga menghapus salinan cadangannya yang terletak di album ponsel.
Madeline luar biasa terkejut dengan tindakan Jeremy. Dengan histeris ia berlari untuk mengambil kembali ponselnya. Akan tetapi, sudah sangat terlambat. Jeremy telah mengosongkan folder album yang sudah dihapus.
“Kenapa, Jeremy? Kenapa kau melakukan itu? Apa kau tidak sadar betapa banyaknya orang yang mengkritik aku di media sosial sekarang? Itu adalah satu-satunya video yang bisa membuktikan aku tidak bersalah!”
Madeline hancur.
Namun, Jeremy malah mengejek dengan acuh tak acuh. “Apa hubungannya ketidakbersalahanmu itu denganku? Apa pun akan cukup asalkan Meredith bahagia.”
Pertanyaan Jeremy membuat Madeline kehabisan kata-kata.
Ketidakbersalahan dan hidupnya tidak ada hubungannya dengannya!
Dia hanya peduli dengan Meredith. Maka, meskipun gadis itu sudah melakukan sesuatu yang tak termaafkan, baginya, itu masih bisa ditolerir.
Itu semua karena Jeremy mencintainya. Dia dibutakan oleh cinta; dia sangat mencintai Meredith hingga dia tidak punya prinsip.
Tiba-tiba, Madeline menjadi tenang. Ia menatap pria di depannya, dan ia bisa merasakan air mata menyengat di kedua sudut matanya. “Jeremy, apakah tidak apa-apa bahkan jika suatu hari nanti aku mendapat cyberbullying dari netizen sampai aku mati?”
Jeremy tidak mengangkat kepalanya. “Akankah kau mati?”
Dia menjawab dengan dingin. Dingin bagaikan sebilah pisau tajam yang menusuk jantungnya. Inci demi inci, rasa sakit yang teramat sangat menyebar dari jantung ke seluruh tubuhnya.
Madeline mengepalkan kedua tangannya. Wajah tampan pria itu mengabur karena air matanya. “Jeremy, aku harap kau tidak setidak acuh seperti dirimu sekarang saat hari itu tiba.”
Selesai berkata demikian, Madeline pergi dan tidak berbalik. Air mata terlihat mengalir sepanjang pipinya tanpa terkendali.
Ia sebaiknya mulai melupakan pengabdian ngawur yang ia berikan pada pria itu selama dua belas tahun ini. Ia sulit mempercayai bahwa ia bisa jatuh cinta dengan pria seperti itu.
Madeline berlari meninggalkan gedung, dan hujan mulai turun. Ia dalam kebingungan dan tidak memperhatikan sebuah mobil yang berlari ke arahnya.
“Sreeett!”
Sebuah jeritan yang memekakkan telinga terdengar saat pedal rem diinjak, dan Madeline mengangkat kepalanya. Pandangannya mengabur karena hujan dan air mata. Maka dari itu, ia hanya bisa melihat samar-samar seorang pria keluar dari mobil itu sebelum berlari mendekatinya. Sebelum ia bisa melihat wajahnya, ia ambruk.
…
Saat Madeline terbangun, langit di luar gelap.
Ia melihat ke sekeliling dan menyadari kalau ia berada di sebuah apartemen yang indah. Namun, asing baginya.
Di saat ia berusaha duduk, seorang pria tampan dan tinggi berjalan melalui pintu.
Setelah menatap pria itu untuk beberapa detik, Madeline bertanya dalam ketidakpercayaan, “Dan?”
Daniel Graham tersenyum lembut. “Lama tak jumpa, Maddie.”
Memang benar sudah lama sekali. Sejak Daniel lulus dari SMA, Madeline tidak pernah melihatnya lagi.
“Aku baru saja meminta dokter pribadiku untuk memeriksamu. Dia bilang kau baik-baik saja,” Daniel memberikan segelas air hangat kepada Madeline saat ia berbicara.
Madeline tersenyum sungkan. “Maaf, Dan. Aku menyebabkan banyak masalah untukmu.”
“Tidak masalah sama sekali. Semuanya baik-baik saja asalkan kau juga oke.” Jawaban Dan menghangatkan hati.
Akan tetapi, saat ia mengingat kembali apa yang Jeremy ucapkan, ia merasakan hatinya patah sekali lagi.
Mungkin inilah konsekuensi dari cinta yang penuh khayalan dan satu arah.
Sudah larut malam, dan Madeline ingin pulang. Namun Daniel sudah memesan makanan dari hotel bintang lima. Seluruh permukaan meja penuh dengan makanan .
Madeline tidak ingin niat baik Daniel terbuang percuma, jadi ia tinggal dan makan malam bersamanya. Setelah makan malam, Daniel bersikeras mengantarkan Madeline pulang.
Ketika mobil mereka tiba di depan vila, tiba-tiba Dan berkata, “Dokter bilang padaku bahwa kau hamil. Apakah Jeremy tahu?”
Madeline terdiam di tempatnya. Ia menoleh kan kepalanya ke sekeliling dan melihat cahaya bulan menyinari wajah tampan Daniel. Matanya terlihat teduh .
“Tahu. Tentu saja, suamiku tahu kalau aku hamil..” Madeline memaksakan seulas senyum dan keluar dari mobil. “Terima kasih, Dan. Aku akan mentraktirmu makan malam lain kali.”
Daniel mengangguk dan tersenyum. “Aku akan menunggu panggilan teleponmu, Maddie.”
“Okay.” Madeline tersenyum dan melambai. Ia berbalik setelah melihat mobil Daniel pergi.
Tepat di saat ia memasuki rumah, sebuah tangan dingin dengan kasar mencengkeram dan menarik tangannya.
Madeline benar-benar tidak menyangka, dan hidungnya menabrak dada bidang pria itu. Detik itu juga, suara dingin Jeremy terdengar dari ujung kepalanya. “Madeline, kau bahkan lebih dari pelacur yang aku bayangkan.”