Bab 2 Pulang ke Rumah atau Bercerai
Merasa suasana menjadi tidak enak, Kalia pun buru-buru menjelaskan, "Renata, aku dan Calvin adalah sahabat baik, sepertinya kamu salah paham."
Sahabat baik?
Salah paham?
Kalau Kalia dibuang ke sungai sebesar Bengawan Solo dan Kapuas, seluruh rakyat pasti bisa menikmati teh melati berharga mahal karena dampaknya sangat besar.
Renata tertawa dan berkata, "Benarkah? Lalu, kenapa kamu nggak memeluk Hilman saja?"
"Nah." Renata mengarahkan tangannya ke arah sekelompok pria di sekitar sana dan berkata, "Mereka semua sahabatmu, coba peluk satu per satu dan tunjukkan padaku."
Kalia terdiam. Senyumnya mulai pudar dan wajahnya tampak canggung.
Renata menatap Yoseph yang menyaksikan kejadian itu dari samping. Lalu, dia tersenyum hangat dan berkata, "Yoseph, kamu dan Calvin juga sahabat baik, coba kalian berpelukan dan tunjukkan padaku."
Yoseph merinding dan segera menolak, "Kak Renata, jangan begitu, deh."
Beberapa orang yang tidak paham situasi ini mulai tergelak keras. Calvin mematikan rokok di tangannya dengan kasar sebelum mengambil bola biliar dan dilempar ke sembarang arah. Tatapannya begitu tajam.
"Sialan, memangnya ini lucu?"
Semua orang yang hadir mengetahui sifat buruk Calvin. Usai mendengar ucapan Calvin, mereka tidak berani bersuara lagi.
Renata mengangkat tangan dan melihat ke arah jam tangan miliknya. Dia tidak memperhatikan kemarahan Calvin sama sekali. Sambil tersenyum tipis, Renata berkata, "Sudah jam satu."
Lantas, dia mengambil stik biliar dari tangan Calvin. Renata berbalik dan membungkuk di depan meja biliar. Posenya yang tampak profesional itu makin menonjolkan tubuh rampingnya.
Pada pukulan pertama, lima bola berhasil masuk ke lubang.
Pada pukulan kedua, meja biliar itu pun bersih.
Gerakannya cepat dan tangkas.
Renata berdiri tegak, lalu melempar stik biliar itu ke tanah, tepat di depan kaki Kalia. Lalu, dia menatap mata Calvin lekat-lekat sambil berkata, "Permainan sudah selesai. Aku beri sepuluh menit, ditunggu di bawah."
Calvin mencibir, "Kenapa? Kamu nggak bisa tidur tanpaku?"
"Tentu saja nggak bisa tidur." Renata berkata lagi sembari tersenyum. "Kamu suamiku. Kalau nggak ada kamu, apa bedanya dengan menjanda?" tanyanya.
Renata bersikap seolah-olah sedang mengutuki Calvin.
Calvin marah hingga wajahnya terlihat kebiruan. Yoseph dan yang lainnya pun tidak bisa menahan senyuman mereka saat mendengar kata-kata itu.
Mereka pernah melihat orang yang bicara kasar, tetapi belum pernah melihat yang sekejam ini.
Calvin mengangkat tangan. Jari-jarinya yang panjang segera mencengkeram dagu Renata dengan kuat. Dia menatap bibir Renata yang merah merona, lalu berkata, "Renata, apakah mulutmu terkena racun berbahaya?"
Dengan wajah polos, Renata mengedipkan matanya sebelum berkata, "Kemarin kamu baru saja menciumku, kenapa kamu belum mati?"
Calvin memicingkan matanya yang kecil dan berbisik, "Belum sempat aku mati karena racun, kucium kamu sampai mati!"
Saat mengucapkan kata-kata ini, ekspresi Calvin terlihat bak sudah siap menelan Renata hidup-hidup.
Renata mengangkat dagunya dan tersenyum sambil menatap mata Calvin. Meski Calvin mengucapkan kata-kata ambigu, tidak ada sedikit pun kehangatan di matanya.
"Renata, kamu betulan salah paham soal aku dan Calvin."
Suara Kalia memecahkan suasana canggung dan asing di tengah keduanya. "Kamu juga tahu, sikapku selalu santai. Aku dekat dengan Calvin, Yoseph, dan yang lainnya sebagai teman dekat. Kami hanya keluar untuk balapan motor, jangan berpikir terlalu jauh."
"Lagi pula, kalau kami benar-benar punya niatan seperti itu, kami sudah bersama sejak lama." Setelah dia selesai bicara, sorot matanya beralih ke Calvin sambil memastikan dengan bertanya, "Benar, Calvin?"
Calvin melepas tangannya dari dagu Renata. Dia melirik Kalia dengan tidak sabar. "Kenapa kamu banyak omong sekali?"
Kalia tidak menyangka jika perkataan Calvin padanya sangat tajam. Awalnya, dia ingin berkata sesuatu lagi, tetapi hanya berakhir dengan menutup mulut ketika wajah Calvin mulai terlihat tidak senang.
Renata hanya tertawa. "Kalia, aku sudah sering menghadapi berbagai macam situasi. Kalau kamu memang menaruh rasa terhadap Calvin, lebih baik kamu minta dia untuk menikahimu dan terang-terangan menunjukkan kasih sayang. Kalau nggak, ada baiknya kamu diam saja!"
Dia sungguh tidak ingin repot-repot meminta bantuan humas di kantornya setiap dua hari sekali untuk mengurus berbagai gosip tentang Calvin, demi menjaga citra perusahaan.
Shelvi, yang berdiri di belakang Renata, langsung menyela, "Betul. Pintu keluarga Lewis nggak mudah buat dimasuki. Posisi Nyonya Muda di keluarga Lewis juga bukan untuk sembarang orang!"
Shelvi mengatakannya dengan nada angkuh, bahkan sontak menyentil salah satu titik lemah Kalia. Mendengar hal itu, Kalia juga tidak mau kalah.
"Pintu keluarga Lewis tentu nggak mudah untuk dimasuki! Kalau bukan karena kecelakaan tiga tahun lalu, Renata seharusnya nggak akan …"
"Kalia, omong kosongmu nggak habis-habis, ya?"
Calvin menggeram pelan, lalu memotong ucapan Kalia yang belum selesai. Dia tiba-tiba mengangkat kaki dan menendang meja di sampingnya hingga terbalik. Botol dan gelas di atas meja itu langsung jatuh berantakan ke lantai hingga pecah berkeping-keping.
"Bisa diam nggak? Apa kamu nggak paham?"
Kalia sangat terkejut, wajahnya terlihat agak masam.
Ternyata, Calvin masih sangat tersinggung dengan kejadian tiga tahun lalu.
Kemarahan Calvin membuat semua orang langsung berdiri dan tidak berani mendekat ataupun berbicara. Suasana pun menjadi sangat tegang.
"Cukup, Kalia. Jangan sebut-sebut lagi hal yang sudah lalu." Yoseph mencoba meredakan suasana. "Calvin, Kalia cuma gegabah saat bicara. Kita semua adalah teman, nggak perlu marah besar seperti ini," tuturnya pada Calvin.
Renata melihat ke arah Calvin yang terlihat begitu arogan. Saat ini, Calvin tampak bagai singa yang sedang marah.
Renata tahu apa yang membuat Calvin marah.
Saat kecelakaan mobil itu terjadi tiga tahun lalu, gadis yang dicintainya waktu itu masih terbaring koma di rumah sakit sampai sekarang.
Cahaya dalam hidupnya terbaring tidak sadarkan diri. Calvin pun terpaksa menikahi wanita yang tidak dia cintai. Peristiwa itu bagai duri dalam daging.
Namun, tiga tahun yang lalu ... bukankah Renata sebenarnya enggan juga untuk menikah?
Pertunangan yang disepakati kedua keluarga itu merupakan amanat terakhir dari Ayah Calvin. Renata harus memenuhi perjanjian pernikahan itu.
Andai tidak demikian, mengapa putri dari Grup Castillo yang terhormat ini harus menikah dengan Calvin melalui cara yang begitu sederhana, bahkan tanpa upacara pernikahan?
Setelah menikah, tiga tahun dilewati Renata yang berusaha sebaik mungkin untuk menjadi istri Calvin sekaligus Nyonya Muda dari keluarga Lewis.
Renata tidak lagi menampilkan senyuman yang selalu dia pertahankan sejak masuk ke ruangan ini. Dia menatap Kalia dan suara datarnya terdengar berkata, "Lalu, bagaimana? Kalau begitu, kamu suruh Calvin cerai saja."
Begitu Renata mengucapkan hal ini, semua orang yang hadir langsung terkejut.
Suasana menjadi sangat sunyi, bahkan suara jarum terjatuh di lantai pun pasti bisa terdengar jelas.
Shelvi menatap Renata tidak percaya. Dia mengira Renata mengucapkannya karena marah. Dengan mata melotot, dia meraih lengan Renata dan berkata, "Renata …"
Calvin pun menatap tajam ke arah Renata, kemudian menarik pergelangan tangan kecil milik Renata. "Renata, coba bilang hal itu sekali lagi!" ujar Calvin.
Renata tidak merasa takut sama sekali. Dia melepas tangan kuat-kuat, lalu berkata, "Calvin, aku ulangi sekali lagi! Pulang ke rumah atau kita cerai, pilih sendiri."
…
Saat keluar restoran, Renata menghela napas dalam-dalam.
Kalimat yang dia ucapkan barusan bukan sebuah ancaman, bukan pula kata-kata penuh emosi.
Dia tahu dengan jelas, posisinya di hati Calvin belum cukup untuk mengancamnya dengan hal-hal seperti perceraian.
Renata benar-benar berpikir seperti itu.
Tiga tahun berlalu, satu dari dua janji yang dia buat kepada Pak Wisnu sudah dipenuhi.
Tentang janji kedua … andai kecelakaan tersebut tidak terjadi, mungkin dirinya sudah menggenapi janjinya.
Jika Calvin ingin membatalkan pertunangan dan menikahi gadis yang telah menemaninya beberapa tahun ke belakang, Renata pun akan mundur untuk memberi kesempatan kepada gadis itu.
Lebih baik begitu ketimbang terperangkap dalam pernikahan yang saling menyiksa. Sekarang, dia hanya bisa melihat pria yang dia cintai dikelilingi wanita-wanita yang silih berganti.
Di belakangnya, suasana begitu sunyi, bahkan tidak ada suara langkah kaki.
Renata diam-diam mencemooh diri sendiri. Sebenarnya, apa yang dia harapkan tadi?
Sungguh lucu.
Dia berjalan menuju mobilnya dan membuka pintu mobil.
Saat itu, sebuah bayangan hitam turun dari lantai atas dengan terburu-buru.
Secara refleks, Renata melirik ke arah tersebut.
Orang itu adalah Calvin.