Bab 5 Masih Belum Puas?
Ariana terpaku di tempat dan keringat dingin mulai membasahi punggungnya.
Ternyata Danzel ingat padanya!
Sopir sudah membukakan pintu. Tanpa melirik Ariana lagi, Danzel langsung masuk, tetapi pintu mobil dibiarkan tetap terbuka.
Ini adalah cara halus untuk memaksa Ariana masuk.
Dengan perasaan gugup dan takut orang lain menyadari keanehan sikapnya, Ariana akhirnya memaksakan diri untuk naik.
"Nona Ariana mau ke mana?" tanya sopir.
"Tolong antar saya ke Grup Sinclair."
Setelah Ariana selesai menjawab, tak ada suara lagi di dalam mobil, hanya keheningan yang mencekam.
Ariana duduk tegak, menempel di pintu mobil. Terlihat jelas dia berusaha menjaga jarak dengan Danzel.
Suasana menjadi sangat canggung. Ariana meremas-remas tangannya dengan gelisah sebelum berkata, "Terima kasih tadi sudah menolongku, Kak Danzel."
Danzel yang duduk dengan kaki bersilang dan setengah bersandar ke kursi sedang memeriksa sketsa di tablet.
Pakaian kasual berwarna gelap yang dikenakannya tidak mengurangi wibawa dingin dan anggun yang dimilikinya.
Setelah beberapa saat, dia tetap tak menjawab.
Malam itu memang begitu memalukan. Ariana merasa dia harus menjelaskannya.
Dia mengumpulkan keberanian, lalu berdeham. "Malam itu aku minum terlalu banyak, jadi ... "
"Aku minta maaf."
Ariana memiringkan tubuhnya, menatap Danzel dengan gugup. Telapak tangannya sudah mulai berkeringat. "Apa Kakak bisa menganggap kalau semua itu ... "
"Sudah minum obat?"
Tanpa menoleh, Danzel memotong pembicaraan. Tiga kata "nggak pernah terjadi" yang ingin Ariana keluarkan pun batal terucap.
"Apa?" tanya Ariana kebingungan.
Danzel akhirnya mengalihkan tatapan dari layar tablet. Mata di balik kacamata peraknya itu tertuju pada Ariana.
Dari jarak sedekat ini dan dengan cahaya yang terang, Ariana baru menyadari betapa indahnya mata Danzel. Bola matanya yang hitam dan dipayungi oleh bulu mata yang tebal tampak sangat memikat.
Tatapan Ariana beralih ke leher Danzel yang tidak tertutup kerah, bahunya yang kokoh, serta dadanya yang bidang dan terbalut jaket.
Seketika, kenangan akan malam itu membanjiri otaknya. Pinggang yang ramping, otot perut yang terukir jelas ...
"Masih belum puas?"
Suara Danzel membuyarkan lamunan Ariana. Sorot mata misterius yang menyembunyikan niat pemiliknya dan senyum tipis Danzel membuat wajah Ariana sontak memerah. Dia pun buru-buru melihat ke luar jendela.
Mobil berhenti di pinggir jalan. Sopir Danzel keluar dan membeli sesuatu di apotek.
Tak lama kemudian, sopir kembali ke mobil dan menyerahkan kantong plastik kecil kepada Danzel.
Penasaran, Ariana ingin melihat isinya. Namun, tiba-tiba saja kantong plastik itu diletakkan di pangkuannya.
"Ini buat kamu. Jangan lupa, nanti diminum."
"Ini untukku?" Dengan ragu, Ariana mengambil obat dari kantong plastik itu. Begitu membaca tulisan pada kemasannya, dia langsung menggigit bibir dan terdiam.
Itu pil kontrasepsi!
Malam itu, Danzel memang tidak pakai pengaman.
Rasa malu sekali lagi membanjiri. Ariana seperti ayam yang mengerami telur. Pantatnya terus bergerak-gerak dengan gelisah.
"Ya. Terima kasih, Kak."
Teringat bahwa Danzel tadi belum menjawab pertanyaannya, Ariana buru-buru mengulangi, "Apa Kakak bisa menganggap kalau semua itu nggak pernah terjadi?"
Namun, ponsel Danzel tiba-tiba berdering.
Ariana terpaksa menunggu dengan sabar sampai Danzel selesai menelepon.
Satu menit kemudian, pria itu menutup telepon. Tanpa menjawab pertanyaan tadi, dia menatap Ariana.
"Kita nggak searah. Turun."
Barusan pria itu mengatakan ingin mengantarnya, mengapa sekarang tiba-tiba bilang tidak searah?
Ariana diturunkan di tengah jalan, menatap mobil Danzel yang perlahan menjauh.
Danzel benar-benar sulit ditebak. Apa tadi Ariana sudah salah bicara dan membuat pria itu kesal?
Namun, melihat sikapnya, Danzel mungkin juga tidak ingin kejadian malam itu diketahui orang lain.
Kalau benar seperti itu, Ariana tidak perlu khawatir lagi, bukan?
Sampai sore, Leonard tidak datang ke kantor.
Dia hanya menelepon sekali, bertanya mengapa Ariana tidak menunggunya.
"Tadi aku nggak tahu kamu hilang ke mana," jawab Ariana dingin.
"Ya sudah, nggak apa-apa. Aku tenang kalau kamu di kantor. Omong-omong, ada tas model baru dari merek terkenal. Aku sudah pesan dan mengirimkannya ke vila. Nanti dilihat, mungkin kamu suka."
Tanpa memberi penjelasan mengapa dia tadi menghilang, Leonard langsung mengalihkan topik dan mencoba merayu dengan hadiah.
Rasanya seolah-olah peristiwa di kolam renang hari ini tidak pernah terjadi.
Ariana tersenyum kecut. Sikap Leonard menguatkan dugaannya bahwa dirinya tidak penting lagi bagi pria itu.
Setelah jam kerja, Ariana enggan pulang ke vila.
Setengah tahun lalu, Ariana pindah ke vila Leonard setelah resmi bertunangan.
Mereka tinggal di bawah atap yang sama, tetapi di kamar yang berbeda. Leonard selalu menjaga sikap dan mengatakan bahwa dia tidak ingin menyentuh Ariana sebelum menikah.
Sekarang Ariana tahu alasan sebenarnya.
Tinggal serumah dengan Leonard kini terasa berat.
Ariana harus pindah.
Saat pulang ke vila, Ariana langsung mendengar suara tawa perempuan saat membuka pintu.
"Aku nggak bisa mengikat dasi. Harap maklum, Om Leonard."
Di ruang tamu, Mia berdiri di depan Leonard, memasangkan dasi sambil tersenyum manis.
Menyadari ada orang yang datang, keduanya langsung menoleh bersamaan.
Mia tersenyum ramah kepada Ariana dan buru-buru mendekat, lalu menariknya.
"Kak Ariana, lihat, dasi ini lebih cocok buat Om Leonard, 'kan?"
Ekspresi Mia sekarang berbanding terbalik dengan sikap angkuhnya saat di kolam renang tadi.
Saat ini, Leonard mengenakan jas abu-abu dengan rompi dan kemeja putih serta dasi merah tua yang terpasang miring.
Dasi biru gelap dengan motif kotak-kotak yang Ariana pilihkan kini tergeletak di lantai dekat meja.
Ariana masih ingat ketika dia memasangkan dasi itu untuk Leonard, pria itu terus mengenakan dasi itu selama beberapa hari.
Menyadari tatapan Ariana yang tertuju ke dasi lama Leonard, Mia buru-buru bicara.
"Maaf, Kak Ariana. Aku nggak tahu kalau dasi ini hadiahmu untuk Om Leonard. Jangan marah, ya."
Meskipun mulutnya berbicara seperti, sama sekali tidak ada tanda penyesalan di mata Mia.
"Itu cuma dasi," ujar Ariana sambil tersenyum. "Kalian lanjutkan saja."
Usai berbicara, dia pun berbalik.
"Ariana, ini cuma salah paham. Jangan diambil hati," ujar Leonard, buru-buru mengadangnya. "Mia memberiku hadiah dasi untuk berterima kasih karena aku sudah menolongnya."
Jadi, ini adalah hadiah karena dia sudah mengabaikan tunangannya demi menolong perempuan lain?
Ariana tersenyum sinis dan tidak mengatakan apa-apa.
"Maaf, aku sudah membuat Kak Ariana marah, ya? Kalau begitu, aku pergi dulu."
Dengan ekspresi menyesal, Mia berpamitan, lalu pergi.
Leonard meminta sopir untuk mengantar Mia ke rumah keluarga Sinclair sebelum menatap Ariana dengan ekspresi serius.
"Apa kamu mau terus-terusan begini?"
"Biarpun marah, kamu nggak seharusnya membuat keributan di rumah Kakek dan langsung pergi begitu saja. Bagaimana kalau Kakek curiga?"
Jadi, pria ini sudah menganggapnya mendorong Mia ke kolam?
Emosi yang tertahan di hati Ariana pun meledak seketika.
"Memangnya kenapa kalau Kakek curiga? Batalkan saja pernikahan kita! Kita nggak perlu saling mengganggu lagi."
Leonard meraih pergelangan tangan Ariana. "Aku sudah bilang, Mia cuma keponakanku!"
"Keponakan yang memberikan dasi buat omnya?" ujar Ariana sambil menarik tangannya. "Apa kamu nggak tahu kalau cuma orang dekat saja yang memberikan dasi untuk hadiah?"
Leonard langsung terdiam.
Pria itu sudah tahu, tetapi tetap membela Mia.
Tidak diragukan lagi perempuan mana yang lebih penting baginya.
Melihat ini, hati Ariana terasa beku. Dia lalu melanjutkan, "Terserah kamu mau percaya atau nggak, aku nggak mendorong Mia. Kamu tahu, aku nggak bisa berenang, 'kan?"
Karena Ariana tidak bisa berenang, Leonard pernah melarangnya dekat dengan kolam.
Dia khawatir Ariana kenapa-kenapa saat dia tidak berada di dekat perempuan itu.
Namun, hari ini dia bahkan tidak menolong Ariana ...
"Aku mau pindah malam ini dan bilang sama Kakek kalau pernikahan kita batal," kata Ariana sambil menahan kecewa.
Dia ingin mengakhiri delapan tahun kebersamaan mereka hari ini juga.
Ketika melihat Ariana berjalan ke pintu, Leonard segera mengejarnya. "Pernikahan kita nggak boleh batal. Kalau kamu meragukanku, aku akan membuktikannya padamu!"
Tiba-tiba, Ariana merasa tubuhnya melayang. Leonard membopong Ariana kembali ke ruang tamu.