Bab 7 Menunggunya Sepulang Kerja
Yvonne sengaja menghabiskan sore harinya di kantor. Ketika semua pekerjaannya sudah selesai, jam baru menunjukkan angka tiga sore. Masih banyak waktu yang tersisa sebelum jam pulang kerja.
Begitu Yvonne menyadari tidak ada lagi yang membuatnya harus tinggal di kantor, ia mengumpulkan keberaniannya dan mengangkat gagang telepon untuk menghubungi kantor CEO.
Setelah dipromosikan ke posisi sekretaris pribadi, Yvonne mendapatkan kantor pribadi di sebelah kantor CEO. Seluruh ruangan ini menjadi kantornya.
Panggilan Yvonne langsung diangkat. Badannya seketika menegang.
"P-Pak Lancaster? Ini aku .…"
“Siapkan semua laporan dari semua proyek yang telah diterima perusahaan tahun lalu dan antar ke kantor saya sebelum petang." Suara dingin pria itu keluar dari gagang telepon. Ia mengabaikan Yvonne.
"Semua proyek?"
Mata Yvonne membelalak.
Apa tugas itu bisa dilakukan oleh satu orang?!
“Apa kau punya pertanyaan lain?" tanya Henry dingin.
"T-Tidak." Yvonne meremas gagang telepon di tangannya.
Apa dia berani mengatakan hal lain?
Ia yang kali pertama menyinggung Henry jadi, ia tidak bisa menyalahkan siapa pun.
Setelah menutup telepon, Yvonne kecewa.
Semua proyek ...
Sepertinya ia tak akan pulang kerja tepat waktu hari ini.
....
Yvonne terus bekerja sampai malam tanpa istirahat. Ia akhirnya menyelesaikan laporannya pada pukul sembilan. Ia meregangkan punggungnya, lalu dengan cepat mengumpulkan dokumen-dokumen itu kemudian mengirimkannya ke kantor CEO. Semua orang sudah lama pulang.
"Tuh kan. Aku satu-satunya yang bekerja lembur. Huh!"
Dia bergumam pelan dan meninggalkan dokumen di atas meja sebelum kembali ke kantornya untuk mematikan komputer. Ia mengambil tas tangannya, lalu menyeret kakinya keluar dari tempat kerja saking lelahnya.
Jalanan cukup kosong di malam hari. Yvonne mengusap pinggangnya yang sakit sambil mengeluarkan ponselnya untuk memesan taksi.
Setelah menunggu hampir dua puluh menit, tidak ada satu taksi pun menerima pesanannya.
"Sial!"
Yvonne marah, tapi dia tidak punya pilihan selain menunggu di halte bus terdekat.
Baru dua langkah dia berjalan ketika matanya silau oleh sebuah lampu kendaraan. Ia menoleh, dan melihat sebuah mobil hitam.
Mobil berhenti di sampingnya dan pengemudinya menurunkan kaca jendela. Henry mengerutkan kening ketika melihat ke arah wanita itu. Ia tidak habis pikir kalau Yvonne telah bekerja lembur sampai sekarang.
Ia sendiri yang memberinya tugas.
Yvonne bahkan lebih terkejut mendapati Henry ternyata telah menunggunya sampai sekarang ....
"Masuk."
Henry tidak ingin membicarakan hal ini lagi.
“K-Kenapa kau masih ada di sini?”
Mata Yvonne membelalak melihatnya.
Bukankah pria ini sudah sedari tadi pulang kerja? Kenapa dia masih di sini? Apa mungkin dia menunggunya selama ini?
“Jangan membuatku mengulang kalimat. Masuk."
Diketuk-ketuknya setir dengan tak sabar. Henry tidak berencana membuang-buang waktu dengannya.
"B-Baiklah."
Nada memerintah Henry membuat Yvonne diam. Ia buru-buru masuk dari pintu penumpang.
“Maaf merepotkan. Aku bisa kok menunggu bus."
Henry mengabaikan kata-katanya. "Pakai sabuk pengamanmu."
"Baik." Yvonne mengangguk dengan cepat.
Pria idamannya tidak hanya menjadi suaminya, tapi ia juga rela menunggunya pulang kerja dan membawanya pulang. Hal yang bahkan tak pernah berani ia impikan di masa lalu, telah terjadi.
Apakah ini sebuah mimpi yang jadi nyata?
Yvonne mengepalkan tangannya. Ia tak berani menarik napas dalam-dalam karena takut akan bangun dari mimpi indah ini.
Mobil melaju dengan kecepatan stabil. Pemanasnya dinyalakan.
Tiba-tiba, Yvonne sontak merasa tak nyaman. Wajahnya yang kemerahannya dengan cepat berubah menjadi pucat saat keringat dingin mengucur di dahinya yang halus.
Henry, yang duduk di sebelahnya, segera menyadari ada yang tidak beres. Ia menepikan mobilnya.
"Ada apa?"
"Tidak apa-apa. Mungkin hanya masalah lambung."
Yvonne menekan perutnya pelan.
"Nanti juga baikan setelah makan dan minum obat."
Masalah lambung bukan hal baru bagi Yvonne. Gangguang ini kadang datang. Ia telah terbiasa.
Saat berkata-kata, rasa sakit bertambah. Yvonne tanpa sadar membungkuk sedikit untuk mengurangi rasa sakit.
“Ayo kita periksakan di rumah sakit,” Henry mengerutkan kening padanya.
Dengan cepat, mobil itu berbalik. Yvonne hanya bisa meringkuk di jok mobil karena kesakitan. Melihat ekspresi prihatin di wajah pria tampan itu, hatinya merasakan keindahan.
Dengan pria seperti ini di sisinya, apa yang harus ia takutkan?