Bab 3
Suara air di kamar mandi terdengar samar-samar. Aku segera ganti baju.
Untuk menghindari hal-hal yang tidak pantas dilihat, aku memilih pakaian olahraga yang paling tertutup.
Begitu Albert keluar dari kamar mandi, wajahku langsung menjadi merah kembali.
Dia hanya mengenakan handuk mandi putih yang longgar di tubuhnya.
Rambutnya basah. Tetesan air mengalir di sepanjang pipinya dengan kontur wajah yang tegas, sementara tetesan air di dadanya juga bergerak mengikuti lekukan tubuhnya.
Aku terpesona sampai Albert tertawa sinis melihatku.
Aku langsung berpaling dan merasa malu.
Aku merasakan hawa panas yang mendekat di belakangku. Dia berbisik di telingaku, "Jangan bikin masalah lagi setelah pulang, jadilah istri yang penurut."
Nada suaranya seperti menenangkan seorang anak kecil.
Hatiku terasa seperti ditusuk, tetapi tubuhku bereaksi dengan jujur dan menunjukkan apa itu jatuh cinta.
Aku menghindari napasnya dan berusaha membuat suaraku terdengar dingin. "Albert, aku hilang ingatan ... "
"Heh." Tangan Albert melingkari pinggangku dan meraba pelan lekuk pinggangku yang ramping.
Suaranya terdengar malas dan jenuh. "Vanesa, apa kamu nggak bosan? Aku sudah bilang jangan bikin masalah lagi."
Amarah yang tak tertahankan menyembur keluar dari dadaku. Entah dari mana aku mendapatkan kekuatan untuk mendorongnya.
"Aku bikin masalah? Aku jatuh dari lantai dua dan terbaring di rumah sakit selama tiga hari, tapi kamu nggak pernah datang menjengukku!"
Albert menatapku dengan mata hitamnya yang tenang. "Hmm, terus kenapa?"
Aku marah sampai ingin tertawa.
Meski dulu aku ini sangat menjengkelkan, setidaknya aku telah menyelamatkan perusahaan Albert.
Hanya dengan itu saja, seharusnya Albert datang ke rumah sakit untuk memastikan apa aku masih hidup atau mati.
Namun, dia tetap tenang seolah aku hanyalah orang gila yang mengalami krisis emosional.
Saat melihat wajah tampan yang berlebihan ini di depanku, untuk pertama kalinya aku merasa mual.
Aku mengibaskan tanganku. "Nggak ada kenapa. Albert, ayo kita bercerai."
Albert malah tertawa. "Vanesa, kamu masih nggak menyerah. Aku sudah bilang ke kamu dari dulu. Kita nggak akan bercerai dan kamu juga nggak perlu cemburu sama Celine. Dia itu gadis idola semua pria yang nggak akan pernah bisa kamu tandingi seumur hidupmu."
Aku ingin muntah.
Aku mengerutkan keningku dengan kesal. "Albert, telingamu tuli, ya? Aku bilang aku hilang ingatan. Aku nggak mencintaimu lagi, jadi aku ingin bercerai denganmu."
Aku menambahkan satu kalimat lagi. "Selain itu, aku nggak kenal Celine, jadi kita bercerai bukan karena dia."
Wajah Albert menjadi pucat dan dingin.
Dia meraih pergelangan tanganku dan menekanku ke dinding.
Aku merasa kesakitan dan mataku menjadi merah lagi.
Albert mendekat dan napas panasnya menyentuh wajahku sehingga membuat wajahku menjadi merah kembali.
Dadanya menekan ke dadaku, sementara tubuhnya yang tinggi dan kuat menekanku dengan erat.
Aku mencium aroma cemara yang ringan di rambutnya dan juga aroma segar pria yang harum di napasnya.
Tubuhku sekali lagi mengkhianatiku, mulai gemetar perlahan, dan kakiku juga menjadi lemas.
Di benakku, sejenak aku bahkan berpikir untuk mencium bibir Albert yang indah.
Albert tertawa lagi. Kali ini dia menggigit telingaku dengan lembut sehingga membuat seluruh tubuhku gemetar seperti terkena listrik.
"Vanesa, jangan pikir aku bakal marah kalau kamu bilang gini. Kamu nggak ingat Celine? Selama dua tahun ini, kamu selalu menghinanya di depanku setiap hari. Bukannya itu menunjukkan kalau kamu sangat peduli padanya?"
Aku menggertakkan gigiku. "Albert, lepaskan aku! Kamu nggak tahu malu!"
Albert menghukumku dengan menggigit lembut telingaku.
"Kenapa kamu pakai baju yang kuno gini? Mana baju yang kamu simpan? Seingatku dulu kamu suka pakai baju baru yang belum pernah aku lihat setiap kali aku selesai mandi ... terus meniru adegan-adegan di televisi untuk menggodaku."
Napasnya menjadi makin berat. "Ini sudah tiga hari, Vanesa ... "
Kepalaku terasa mati rasa dan mulutku kering.
Meski tubuh ini berusia 26 tahun, pikiranku masih berusia 18.
Aku sama sekali tidak tahu kalau hubungan "aku" dengan Albert sudah seburuk ini, tetapi di sisi lain kami masih sangat terbuka.
Apa mungkin aku yang selalu memulai itu semua?
Aku hampir gila!
Aku mendorong Albert dengan keras.
Albert yang tidak siap hampir terjatuh karena doronganku.
Matanya tiba-tiba menjadi gelap. "Vanesa, kamu mendorongku? Apa yang salah denganmu?"
Aku tidak ingin berbicara dengan orang ini lagi.
Aku membuka pintu dengan tergesa-gesa. "Aku mau turun makan. Lakukan sesukamu."
Setelah turun ke bawah, aku melihat meja makan yang penuh dengan hidangan lezat di ruang makan, tetapi porsi Albert tetap dibuatkan meski dia pulang terlambat.
Aku melirik sekilas dan semuanya bukan makanan yang aku sukai.
Setelah berpikir sejenak, ini pasti makanan favorit Albert.
Heh, benar-benar ... sudah cukup.
Aku duduk dan mulai makan. Setelah bepergian sepanjang hari, aku juga merasa lapar.
Aku makan dengan tenang, sementara Albert baru turun setelah beberapa saat.
Setelah kejadian tadi, dia jelas marah.
Albert duduk jauh dariku, mengambil nasi dan sup tanpa melirikku sedikit pun.
Tentu saja aku juga tidak ingin melihatnya.
Keduanya makan dalam diam sehingga suasana di atas meja makan sangat hening dan canggung.
Tiba-tiba, Albert bertanya, "Bi Susi, kenapa hari ini nggak ada sup usus?"
Bi Susi adalah pembantu paruh baya tadi.
Dia menatapku sekilas, lalu berkata dengan nada yang menyalahkan. "Nona Vanesa nggak membuatnya hari ini, jadi nggak ada. Ini bukan salah saya, Pak Albert."
Aku mengerutkan keningku, menatap pembantu yang bernama Bi Susi itu, dan bertanya balik, "Bi Susi, apa maksudmu? Apa membuat sup itu tugasku? Jadi ini salahku?"
Albert menaruh sumpit di atas meja dengan keras, lalu berkata dengan wajah dingin, "Bukannya biasanya kamu yang membuatnya? Bi Susi juga nggak bisa membuatnya."
Aku tertawa marah.
Aku meletakkan mangkuk dengan anggun dan mengelap mulutku. "Pak Albert, perhatikan dengan benar. Aku ini cuma istrimu, bukan pembantumu. Satu meja ini penuh sama makanan favoritmu, apa itu belum cukup? Tapi kamu masih mau aku masakin sup untukmu?
Kenapa?
Apa aku berutang sesuatu padamu?"
Mungkin Albert tidak mengira kalau aku akan tiba-tiba berbicara sebanyak ini.
Matanya tampak terkejut dan juga terlihat jengkel. "Vanesa, jangan pikir kamu bisa membuatku muak dengan sup usus yang aku sukai. Dulu kamu yang memaksa belajar dari koki dan membuatkannya untukku, tapi sekarang nggak mau lagi. Apa maksudmu?"
"Kalau kamu masih marah, hilangkan amarahmu sendiri. Jangan mengacau di meja makan."
Aku tersenyum sinis. "Kamu masih belum mengerti maksudku? Albert, aku nggak akan melayanimu lagi!"
Aku melemparkan serbet dan berbalik untuk naik ke atas.
Aku benar-benar muak dengan pria yang sombong dan egois ini.
Entah sebuta apa aku waktu itu sampai bisa jatuh cinta sama pria b*jingan seperti ini.
Mungkin Albert tidak menyangka kalau aku bisa melempar mangkuk dan pergi.
Dia tertegun di sebelah meja makan.
Sementara itu, Bi Susi terus mengomel, "Dulu, Nona Vanesa selalu masakin makanan favorit Anda satu meja penuh, termasuk sup usus yang dia buat sendiri. Sekarang dia bilang berhenti langsung berhenti. Benar-benar ... "
Aku menahan amarahku.
Pada saat itu, bel pintu berbunyi.
Aku melihatnya secara refleks.
Sementara Bi Susi sudah pergi membuka pintu.
Seorang wanita cantik masuk dengan anggun.
Wanita itu sangat cantik dengan fitur wajah yang halus dan anggun. Dia mengenakan gaun panjang biru muda yang pas di tubuhnya dengan kalung mutiara di lehernya yang putih.
Dia memancarkan aura yang sangat baik dan berjalan dengan tenang seperti lukisan cat air yang bergerak.
Aku harus mengakui, meski aku seorang wanita, aku merasa iri melihatnya.
Dia berjalan mendekati Albert dan berkata dengan suara lembut, "Albert, aku nggak mengganggu, 'kan?"
Wajah Albert yang tadi pucat seketika menjadi lembut.
Dia mengambil barang dari tangan wanita itu dengan alami dan mencari sepasang sandal bersih untuknya dengan penuh perhatian.
Aku melihat semuanya dengan dingin dan merasa ini sangat ironis.
Suamiku marah besar karena aku tidak membuat sup usus kesukaannya, tetapi sekarang dia bisa membungkuk untuk membantu wanita cantik di luar rumah memakai sandal.