Bab 1
"Sakit, Albert, lepaskan aku!"
"Apa kamu akan menyesal kalau aku mati?"
"Albert, jangan pergi sama Celine. Aku mencintaimu ... "
Aku terbangun tiba-tiba dan bernapas dengan cepat seperti ikan yang dilemparkan ke darat.
Napasku terasa sesak dan tenggorokanku juga terasa sakit seolah akan robek.
Aku berusaha membuka mata lalu melihat ada lampu putih yang menyilaukan di atas kepalaku dan alat-alat medis yang berbunyi di sampingku.
"Pak Albert, Nyonya Vanesa sudah bangun. Dokter bilang kepalanya terbentur dan pingsan karena terlalu terkejut. Nggak ada masalah lainnya."
Seseorang sedang menelepon dengan suara pelan di samping tempat tidur.
Akhirnya aku menyadari kalau ini adalah ruang perawatan, jadi aku ini lagi sakit?
Suara yang dingin dan jelas terdengar melalui telepon.
"Baguslah kalau nggak ada masalah. Aku masih harus mengadakan rapat video, jadi aku nggak bisa ke sana."
Orang yang menelepon menghela napas dan terkejut saat aku berbalik ke arahnya.
"Nyonya Vanesa, Anda sudah bangun?"
Saat aku membuka mulut dan hendak bertanya, wanita yang mengenakan pakaian kerja itu menjelaskan duluan, "Pak Albert ada rapat video hari ini, jadi sementara nggak bisa datang. Kalau Nyonya Vanesa perlu apa-apa, beri tahu aku saja."
Aku bingung. "Pak Albert itu siapa? Aku bukan Nyonya Vanesa, aku belum nikah."
Wanita berpakaian kerja itu terkejut, lalu tertawa dengan sinis. "Nyonya Vanesa, Pak Albert sibuk, saya juga sibuk dan nggak punya waktu untuk bermain denganmu. Kepalamu cuma terbentur, jadi nggak perlu pura-pura hilang ingatan."
Dia berkata sambil tersenyum, "Jangan terlalu banyak baca novel tentang CEO di internet. Cara itu nggak akan mempan buat Pak Albert."
Aku mengerutkan kening. "Aku nggak pernah baca novel tentang CEO dan aku nggak nyaman dengan cara kamu bicara ke aku."
Wanita berpakaian kerja ini dari awal tidak bersikap baik padaku, jadi aku juga tidak terlalu suka padanya.
Wanita itu tidak peduli dan memberikan ponsel padaku. "Ini ponselmu, hubungi aku kalau ada masalah. Aku harus kembali kerja."
Setelah mengatakan itu, dia berbalik dengan angkuh untuk pergi.
Pintu ruang perawatan tiba-tiba terbuka dan seorang wanita dengan rambut terurai masuk dengan tergesa-gesa.
"Vanesa, gimana keadaanmu?"
Saat aku melihat orang itu, aku terkejut. "Caroline, kenapa kamu berubah jadi kayak gini?"
Wanita di depanku ini adalah sahabat karibku.
Kami bermain lumpur bersama saat masih balita.
Kami juga bersekolah di TK, SD, SMP, dan bahkan universitas yang sama. Kami hampir tidak terpisahkan.
Namun, kenapa Caroline terlihat sangat dewasa?
Rambutnya diwarnai menjadi cokelat kemerahan dan dia mengenakan gaun hitam ketat yang memperlihatkan lekuk tubuhnya.
Caroline di depanku tampak asing sekaligus akrab.
Begitu Caroline melihat penampilanku, matanya langsung memerah, dan kemudian dia langsung memakiku dengan keras, "Vanesa, kamu bodoh banget, sih! Aku sudah bilang buat tinggalin cowok ber*ngsek kayak Albert, tapi kamu masih nggak mau dengar.
Lihat penampilanmu sekarang jadi kayak apa?
Mau bunuh diri sampai hampir mati.
Kamu mau bikin aku mati ketakutan, ya? Hiks, hiks ... "
Caroline marah sampai akhirnya menangis.
Entah kenapa, meski aku tidak mengerti apa yang dia katakan, hatiku terasa sakit dan mataku juga menjadi merah.
Wanita berpakaian kerja itu kemudian kembali dan berkata dengan kesal, "Nona Caroline, ini rumah sakit, tolong tenang dikit."
Caroline tampak akrab dengan wanita ini. Dia menunjuk hidungnya dan memakinya tanpa sungkan, "Telepon bosmu, suruh dia ke rumah sakit! Istrinya terluka, tapi dia malah pergi ke acara amal sama Celine!
Nindas orang juga nggak sampai segininya!"
Dulu, Celine, si j*lang itu, tidak tertarik pada Albert yang hampir bangkrut dan melarikan diri ke luar negeri.
Siapa yang menyelamatkan perusahaan Albert?
Itu adalah keluarga Hudgen!
Sekarang Albert sudah bangkit kembali dan Celine datang kembali untuk merayunya.
Seorang pria b*jingan yang tidak tahu terima kasih dan wanita j*lang yang haus kekayaan.
Mereka memang pasangan ber*ngsek yang terlahir satu sama lain!
Wanita berpakaian kerja itu dihina oleh Caroline sampai wajahnya memerah.
Perawat yang datang karena mendengar suara itu meminta Caroline untuk tidak berisik.
Wanita itu pun segera pergi seolah melarikan diri.
Setelah ruang perawatan menjadi tenang, Caroline mengusap wajahnya dan berkata dengan marah, "Vanesa, dengarkan nasihatku. Kamu sudah mengejar Albert selama tujuh tahun dan membuatnya terganggu selama tujuh tahun. Tapi sebenarnya dia nggak mencintaimu sama sekali. Dia juga nggak menghormatimu dan keluarga Hudgen.
Hutan sangat besar, tapi kenapa kamu harus gantung diri di pohon ini?
Hari ini kamu mengancam mau lompat buat bunuh diri, besok mengancam mau motong pergelangan tanganmu, Albert sudah nggak percaya padamu lagi."
Dia berhenti sejenak dan tampak kesal. "Vanesa, kamu kaya dan cantik, tapi kenapa malah jadi orang yang terlalu terobsesi sama cinta?"
Akhirnya aku mendapatkan kesempatan untuk bertanya, "Caroline, Albert itu siapa? Aku nggak ingat."
Caroline terdiam sejenak, lalu tersenyum. "Asisten Albert sudah pergi, jangan pura-pura lagi. Aku tahu kamu lagi pura-pura hilang ingatan."
Aku meraba-raba belakang kepalaku yang masih bengkak, lalu tersenyum pahit. "Caroline, aku benar-benar hilang ingatan. Aku sama sekali nggak kenal Albert yang kamu sebutkan."
Caroline diam dan menatapku dengan tatapan kosong.
Setelah keduanya saling bertatapan selama dua menit, Vanesa berteriak seperti sapi yang disembelih. "Aaaah ... Langit punya mata! Vanesa, akhirnya kamu lupa sama si ber*ngsek Albert itu!"
Setelah serangkaian pemeriksaan dilakukan, dokter mengatakan mungkin aku mengalami amnesia sementara.
Bagaimanapun juga, otak adalah hal yang sangat berharga. Selain itu, katanya aku terjatuh dari puluhan anak tangga di vila.
Saat terjatuh, mungkin ada beberapa fungsi otakku yang rusak.
aku melihat wajahku di cermin.
Wajahku yang oval, hidung yang agak mancung, dan bibir yang pucat pasi.
Ini adalah wajahku, terlihat akrab tetapi juga terasa sangat asing.
Dalam ingatanku, aku adalah orang yang selalu bersemangat dan tertawa setiap hari.
Namun, di cermin, mataku tidak menunjukkan senyum sama sekali. Bahkan makin lama menatapnya, aku merasa ada kesedihan yang mendalam.
Jangan-jangan apa yang dikatakan Caroline itu benar?
Aku benar-benar mengejar Albert selama tujuh tahun?
Selain itu, aku sudah menikah?
Aku tidak ingin percaya.
Namun, Caroline mengeluarkan foto dan video dari ponsel untuk membuktikan kalau aku sudah menikah dan bahkan menikah dengan pria dingin yang dulunya adalah idola Universitas Hamberlin, Albert Bosley.
Aku melihat foto dan video pernikahanku, di mana aku tersenyum sangat lepas, lalu aku menghela napas dalam-dalam.
Caroline terus mengomel, "Kamu sudah jatuh cinta sama Albert di tahun kedua kuliah sampai nggak mau pergi ke kelas. Setiap hari kamu berdiri di bawah asramanya buat bawain sarapan dan mentraktirnya makan. Waktu dia main basket, kamu bawain minuman untuk semua teman timnya."
Di hari ulang tahunnya, kamu menyewa orang untuk menghias sekolah dengan balon dan spanduk untuk mengungkapkan perasaan cintamu.
Waktu Albert sakit, kamu menginap di ruang perawatannya selama 24 jam ... "
Hatiku terasa sakit. "Jangan bicara lagi ... " Itu sangat memalukan.
Sepertinya Caroline tidak berniat melepaskanku, dia berkata lagi, "Demi mengejar Albert, kamu bahkan menyuap orang-orang di badan eksekutif mahasiswa, mengambil tempat orang lain untuk bekerja di klub Al punya Albert. Kamu nggak tahu apa-apa tentang pemrograman, jadi kamu menjadi tenaga kerja gratis di klubnya."
"Di ulang tahun ke-20, kamu sekali lagi mengungkapkan perasaanmu ke Albert ... "
Aku menutup telingaku dan tidak mau mendengar.
Caroline menghela napas. "Kamu menghabiskan 400 juta buat masang iklan di gedung tertinggi Kota Hamberlin, diputar selama 24 jam untuk meminta Albert menikahimu. Itu sampai membuat seluruh Kota Hamberlin heboh."
Aku menghela napas, menundukkan kepala, dan bertanya, "Terus gimana akhirnya?"
Wajah Caroline menjadi aneh. "Albert menerima lamaranmu."
Aku diam sejenak dan bertanya, "Apa itu karena keluarga Bosley hampir bangkrut seperti yang kamu katakan tadi? Kalau nggak, sepertinya dia nggak mencintaiku dan cuma menikahiku karena terpaksa."
Caroline terlihat enggan melihatku terluka. "Sebenarnya nggak bisa dibilang gitu. Mungkin dia terkesan sama pengejaranmu yang luar biasa itu, ... deh?"
Suasana di ruang perawatan mulai menjadi hening.
Aku menghela napas. "Aku malu banget ... "
Aku melihat penampilanku yang lemah lesu dan tertawa menyindir diri sendiri. "Aku nggak pernah menyangka kalau aku, putri angkuh dari keluarga Hudgen, akhirnya menjadi bahan tertawaan besar di Kota Hamberlin."