Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 2

"Kamu benar-benar mau cerai dengan Leo?" Lina entah bagaimana mendapat kabar itu dan langsung meluncur ke studio Olivia. Dia memegang lengan Olivia erat-erat, wajahnya penuh emosi. "Apa kamu gila? Kalau kalian cerai, bukankah kamu menyerahkannya begitu saja pada Nana? Dia pasti ketawa puas tiap malam! Kamu ini kenapa bodoh sekali?" Olivia tetap fokus pada desainnya. Klien yang rewel itu masih saja mengeluh, ingin hasil terbaik dengan anggaran termurah. Dia mencoba bertahan, terus merevisi desain sambil menekan pelipisnya yang mulai nyeri. Akhirnya, dia menjawab singkat, "Kami sudah cerai. Kalaupun menyesal, sudah terlambat." "Kamu!" Lina nyaris kehabisan napas, dadanya naik turun, seperti hendak terkena serangan jantung. "Semua orang tahu Nana hanya cinta sepihak. Leo cuma menganggapnya seperti adik. Selama kamu nggak cerai, kamu tetap istri sah. Bahkan Nana nggak bisa menggoyahkan posisimu!" Olivia tetap diam, matanya terpaku pada layar komputer. Melihat temannya begitu tenang, Lina semakin emosi. "Kamu benar-benar nggak merasa rugi? Bukankah kalian dulu harmonis sekali?" Lina mengingat bagaimana mesranya pasangan itu di awal pernikahan. Mereka seperti pasangan sempurna. Bagaimana mungkin semuanya hancur hanya karena Nana? "Karena dia nggak mencintaiku." Olivia akhirnya menjawab. "Karena itu semuanya tampak harmonis. Dia nggak mencintaiku, jadi siapa pun yang menikah dengannya, hasilnya sama saja. Aku nggak mau bertahan dengan seseorang yang hatinya bukan untukku." Lina tertegun. "Dia bilang dia nggak mencintaimu?" "Nggak perlu bilang," kata Olivia pelan. "Suatu malam, dia mabuk. Nama yang dia panggil bukan namaku." Lina tercekat. Dia tidak tahu soal itu. Tidak pernah sekali pun Olivia menceritakannya. Melihat wajah tenang sahabatnya, Lina hanya bisa menghela napas panjang. "Harusnya dulu aku melarangmu menikah kilat ... " Olivia hanya terdiam. Pernikahan Olivia dan Leo memang berawal impulsif. Mereka bertemu di sebuah pesta. Olivia yang sedikit mabuk salah mengira Leo sebagai sopir. Dia meminta pria itu mengantarnya pulang, lalu tanpa sengaja bertukar kontak. Setelah itu, mereka mulai mengobrol. Sebulan saling berkirim pesan, perasaan mulai tumbuh. Olivia bahkan yang lebih dulu mengajaknya makan malam. Hubungan mereka berkembang cepat, hingga suatu malam, setelah beberapa gelas anggur, dia mengundang Leo naik ke apartemennya. Malam itu, semuanya terasa ... sempurna. Keesokan harinya, Olivia sempat merasa menyesal. Dia pikir semua itu hanya dorongan sesaat. Dia tidak ingin Leo merasa bertanggung jawab. Dengan jujur, dia berkata, "Kita anggap saja nggak pernah terjadi, ya?" Namun, Leo memandangnya serius. "Beberapa hal nggak bisa dianggap nggak pernah terjadi. Aku yakin kamu juga nggak bisa." Dia lalu mengajukan lamaran, tetapi Olivia tidak langsung menerima. "Aku ingin bertanggung jawab atasmu," ujarnya dengan wajah serius, tidak ada tanda-tanda sedang bercanda. Akhirnya mereka menikah. Bisa dibilang, cinta membuatnya kehilangan akal sehat. Pernikahan itu sangat sederhana, tanpa pesta, tanpa perayaan besar. Mereka hanya mengundang beberapa teman dekat untuk makan bersama saja. Lina adalah salah satu dari sedikit tamu undangan tersebut. Setelah menikah, Leo membelikannya sebuah apartemen di Vila Surya. Karena tidak dibiarkan mengeluarkan uang sepeser pun, Olivia menangani dekorasi sendiri dengan uang tabungannya untuk berbagi beban. Leo sejujurnya adalah pasangan yang ideal. Pria itu sopan, perhatian, punya karier mapan dan tidak memiliki kebiasaan buruk. Bahkan, dia cukup romantis untuk selalu mengingat momen-momen penting. Berbeda dengan pria kebanyakan, dia sangat menjaga kebersihan, bahkan cenderung perfeksionis soal itu. Dalam kehidupan rumah tangga pun, dia tidak hanya rapi tetapi juga sangat cocok secara fisik. Singkatnya, sulit menemukan kekurangan dari dirinya. Olivia bahkan berpikir bahwa tidak ada yang perlu dikeluhkan lagi dalam kehidupan ini. Pria itu bahkan membuat seorang Olivia yang tidak suka anak-anak jadi ingin memiliki seorang anak bersamanya. Ketika Olivia mengungkapkan keinginannya untuk memiliki anak, ekspresi Leo langsung berubah. "Kamu masih muda. Kamu sendiri masih seperti anak-anak. Jangan buru-buru," katanya dingin. Baiklah. Memang katanya benar. Sejak saat itu, dia menghapus mimpi untuk memiliki keluarga kecil bersama pria itu. Namun, semuanya mulai berubah. Leo sering pergi, entah untuk pekerjaan atau alasan lain. Rumor mulai terdengar, ada yang bahkan mengiriminya pesan, mengatakan bahwa Leo berselingkuh dan meminta Olivia untuk bercerai dengannya. Awalnya, Olivia mengabaikannya. Dia berpikir pria seperti Leo tidak mungkin tidak ada mantan yang iri dengan kehidupan Olivia sekarang. Namun, lama-kelamaan, bukti-bukti kecil muncul, seperti aroma parfum wanita di pakaiannya, telepon larut malam dari suara asing, dan akhirnya, pengakuan tersirat. Barulah Olivia sadar, Leo menikahinya hanya untuk membalas dendam pada seseorang. Orang itu adalah Nana. Kini, semuanya menjadi jelas. Tidak ada alasan untuk bertahan. Selama beberapa tahun ini, Olivia juga tidak sepenuhnya rugi. Dia mendapatkan banyak hal, termasuk pengalaman yang berharga. Lagi pula, Leo memang punya daya tarik luar biasa. Tubuhnya ramping, dengan garis otot yang tajam dan proporsional, seperti patung yang dipahat sempurna. Kalau dipikir-pikir, berbagi ranjang dengan pria seperti itu jelas bukan kerugian. Memikirkannya dari sudut pandang itu, mungkin tidak terlalu buruk juga. Mengenai urusannya dengan Nana, Olivia tidak ingin berpikir terlalu banyak. Olivia benar-benar pernah mencintai Leo dengan tulus. Meski pernikahan mereka telah berakhir, rasanya seperti sebagian jiwanya ikut terseret pergi bersama perceraian itu. Lina yang melihat wajah sahabatnya yang tampak hampa tidak bisa menahan rasa iba. "Sudahlah, pria berengsek seperti dia memang pantas dengan wanita seperti Nana. Kita nggak butuh orang seperti itu. Oliv, kamu jangan terlalu sedih." Olivia tersenyum tipis. "Aku nggak sedih. Aku hanya bersyukur kami nggak pernah punya anak," balasnya. Dia mengingat masa kecilnya yang tidak bahagia. Saat dia berusia sepuluh tahun, orang tuanya bercerai. Hak asuh jatuh kepada ayahnya, tetapi sang ayah lebih banyak menyerahkannya pada pengasuh. Ayahnya menikah lagi, membangun keluarga baru, dan memiliki anak-anak lain. Untungnya, kebutuhan ekonominya tidak pernah diabaikan. Namun, sejak dia masuk universitas di usia delapan belas tahun, Olivia berhenti meminta uang darinya. Hubungan mereka hanya sebatas bertemu pada hari-hari besar untuk makan bersama, dan di luar itu, tidak ada kontak lebih lanjut. Itulah salah satu alasan Olivia tidak pernah mengadakan pesta besar atau resepsi saat menikah dengan Leo. Masa lalunya membuatnya enggan melibatkan keluarga dalam hal-hal seperti itu. Lina tahu latar belakang keluarganya, dia merasa iba dan berusaha menghibur. "Sudahlah, Oliv. Memang kamu kehilangan ikan langka, tapi masih banyak ikan-ikan lain di laut. Kamu punya wajah cantik dan uang, masa takut nggak dapat pria yang lebih baik?" Olivia tidak bisa menahan tawa mendengar lelucon sahabatnya. Melihat senyum itu, Lina sedikit lega. "Jadi, apa rencanamu sekarang? Rumah kalian di Vila Surya, mau bagaimana?" "Aku akan pindah dari sana. Tinggal di tempat itu lagi? Nggak mungkin. Rumah itu ... kurasa akan kujual. Lina, kamu punya teman agen properti, 'kan? Bisa bantu urus penjualannya?" "Bisa sekali! Serahkan saja padaku," ujar Lina sambil menepuk dadanya dengan percaya diri. "Kamu tinggal tunggu kabar baik dariku!"

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.