Bab 3
Nando mendengar perkataan itu dan segera menarik tangannya kembali.
Dia turun ke lantai bawah dan melihat Sania dengan wajah merah padam, jelas suhu tubuhnya tidak normal, lalu berkata, "Aku akan ambil mobil, kita segera ke rumah sakit,"
Nando bersama Brando langsung membawa Sania ke rumah sakit.
Di kamar tidur lantai dua, Nindi terbaring di atas ranjang, wajahnya juga memerah, keringat terus membasahi tubuhnya.
Sepanjang malam, tubuhnya terasa melayang dan mimpinya dipenuhi oleh hal-hal buruk.
Keesokan harinya, ponsel Nindi terus berbunyi dengan notifikasi pesan yang masuk tanpa henti.
Merasa terganggu, dia membuka ponselnya dengan wajah kesal. Notifikasi itu berasal dari pesan pribadi sebuah aplikasi.
Saat dibuka, isinya hampir semuanya adalah cacian.
Nindi sangat mengenali gaya cacian itu, sebab semalam, adegan ketika ia mendorong Sania ke kolam sudah menyebar di forum komunitas sekolah.
Di sekolah, Sania memang sangat populer. Banyak yang marah dan merasa terprovokasi, lalu menyerang Nindi dengan kata-kata kasar.
Kepalanya berdenyut seperti mau pecah, dia langsung membalas komentar-komentar itu dengan sengit.
Jumlah komentar di forum itu melonjak menjadi ribuan dalam waktu singkat, sampai membuat admin forum panik, mengira forum telah diretas.
Setelah selesai membalas semua komentar, Nindi melempar ponselnya ke tempat tidur dan kembali berbaring.
Lagi pula, sekarang dia tidak perlu lagi berusaha menyenangkan hati keluarga Lesmana, apalagi peduli soal nama baiknya.
Dia sudah muak menjalani hidup yang begitu penuh tekanan.
Tak lama kemudian, terdengar suara pengurus rumah mengetuk pintu, "Nona, waktunya bangun, nanti terlambat ke sekolah!"
'Hah?'
Nindi baru teringat kalau hari ini dia memang harus ke sekolah!
Setelah mencuci muka dengan air dingin untuk membangunkan dirinya.
Kalau dia ingin lepas dari keluarga Lesmana, dia harus menyelesaikan sekolah, masuk universitas, dan menjauh sejauh mungkin dari mereka.
Nindi mengganti pakaiannya dengan seragam sekolah, mengambil tasnya, lalu turun ke lantai bawah.
Di ruang tamu, Nando dan Brando baru saja masuk dari luar.
Ketika melihat wajah Nindi yang masih sedikit memerah, Nando berjalan mendekat, ingin menyentuh dahinya untuk memeriksa suhu tubuhnya seperti kebiasaannya.
Namun, Nindi mundur satu langkah, menghindari tangan Nando dan langsung berbalik menuju meja makan.
Dia harus makan sampai kenyang supaya cepat sembuh. Hanya dengan begitu ia bisa fokus belajar dan mengejar impiannya masuk Universitas Yasawirya.
Tangan Nando terhenti di udara sebelum akhirnya diturunkan dengan canggung.
Brando mendengus sinis, "Sudah kubilang dia itu nggak tahu terima kasih. Badannya sehat kayak banteng, beda sama Sania. Sejak kecil Sania memang tubuhnya lemah. Semalam aja jatuh ke air langsung demam tinggi. Sedangkan Nindi? dia pasti nggak akan sakit!"
Nando hanya diam dan memang benar, tubuh Nindi selalu sehat dan jarang sakit.
Brando berjalan mendekati meja makan dan berkata, "Sania lagi sakit. Di sekolah nanti, kamu harus jagain dia baik-baik sampai sembuh. Ngerti, kan?"
Dalam pikirannya, Brando merasa Nindi sekarang semakin melenceng. Dia tidak bisa lagi dimanja seperti dulu.
Karena Nindi tidak tahu balas budi, dia harus dipaksa buat belajar.
Brando menambahkan, "Nindi, ayahnya Sania itu pernah nyelamatin nyawamu. Kamu malah hampir bikin dia celaka, kamu harus jagain Sania buat nebus kesalahanmu!"
Nindi menunduk dan serius makan sarapan, meskipun tidak nafsu makan, dia tetap memaksa dirinya untuk makan.
Ujian Bersama Masuk Perguruan Tinggi tinggal kurang dari seratus hari lagi. Setelah itu, dia akhirnya bisa meninggalkan Keluarga Lesmana.
Melihat sikap Nindi yang seolah tidak peduli, Brando kesal dan langsung merebut sendoknya, "Aku ngomong sama kamu, nggak punya kuping, ya?"
Nindi mengangkat kepalanya, matanya yang hitam putih kontras terlihat tenang tanpa suara.
Nada suara Brando terdengar penuh perintah, "Waktu Sania minum obat, kamu yang ambilkan air hangat. Siang nanti, ambilkan makan siangnya di kantin, cepat-cepat biar nggak keburu dingin. Kalau dia mau ke toilet, kamu juga harus nemenin. Ayahnya nyelamatin nyawamu, ini kewajibanmu. Denger, kan?"
Dengan suara dingin, Nindi menjawab, "Denger."
Namun, itu bukan berarti dia setuju melakukannya.
Nindi meninggalkan vila tanpa ekspresi, dia menatap langit dan menelan air matanya dengan paksa.
Dia pikir dengan hidup lagi, dia tidak akan merasa sedih lagi.
Namun, mendengar kata-kata Kak Brando, hatinya tetap terasa seperti ditusuk jarum.
Dia masih ingat waktu kecil, saat dia sakit, Kak Nando selalu berjaga semalaman di sisinya, sementara Kak Brando menceritakan lelucon untuk menghibur dan membuatnya minum obat.
Sekarang, hanya karena Sania tubuhnya lemah, setiap kali dia sakit, perhatian pertama selalu tertuju ke Sania.
Sejak itu, meskipun dia demam, dia cuma bisa bertahan sendirian.
Nindi menelan rasa pahit di tenggorokannya, naik ke mobil, dan memejamkan mata untuk istirahat.
Dia hanya perlu bertahan sedikit lagi, kurang dari seratus hari, semuanya akan selesai.
Sampai di sekolah, dia langsung masuk ke kelasnya, kelas 12.
Saat masuk, kelas yang tadinya ramai mendadak sunyi.
Prestasi Nindi di Forum Komunitas Sekolah yang kemarin membuat heboh sekarang sudah tersebar ke mana-mana.
Semua orang menduga, apakah Nindi sudah kehilangan akal sehat?
"Apa Nindi kena tekanan sampai jadi kayak gini, ya?"
"Menurutku sih, dia udah nggak bisa bersihin nama lagi, makanya berhenti pura-pura. Ini asli Nindi banget."
Mendengar bisikan-bisikan di sekelilingnya, Nindi tidak peduli. Dia meletakkan tasnya dan langsung merebahkan kepala di meja untuk tidur.
Sepanjang pagi, Nindi hanya tidur di mejanya.
Saat jam istirahat siang, Sania muncul di kelas.
Tangan Sania masih terpasang infus. Kehadirannya langsung menarik simpati dan perhatian teman-temannya.
Nindi mengerutkan alisnya, berganti posisi tidur, dan melanjutkan tidurnya.
Tidak lama kemudian, seseorang membanting tangannya ke meja dengan keras.
Nindi yang kesal mengangkat kepala, matanya hitam-putih begitu jelas, dengan sedikit aura ketus.
Dia melihat Sania berdiri di depannya, ditemani dua pengikutnya yang menunjukkan wajah tak sabar.
Nindi menyipitkan matanya sedikit.
Dua wanita itu adalah pengikut setia Sania. Biasanya, mereka sering menyebarkan gosip dan ramai-ramai membuli Nindi. Bahkan, mereka pernah membuat bukti palsu lalu menuduh Nindi ke kakaknya.
Dengan suara lemah lembut, Sania berkata, "Kak Nindi, siang ini kamu mau makan apa? Biar aku bantu ambilkan, ya. Jangan marah lagi sama aku, oke?"
Nindi menjawab dingin, "Nggak usah."
Pengikut nomor satu langsung melotot marah, "Nindi, jangan sombong banget deh! Sania itu sakit, tahu!"
"Iya! Nindi, kamu itu harusnya ngurusin Sania di sekolah. Karena kamu, dia jadi sakit!" yang satunya lagi juga langsung menyeletuk.
Sania terbatuk pelan, menunjukkan kelemahannya, "Kalian jangan gitu. Aku bisa kok jaga diri sendiri. Aku juga biasa sendirian. Jangan ngomong lagi, nanti Kak Nindi tambah marah."
"Sania, kamu itu terlalu baik. Makanya malah sering dibully!"
Nindi makin kesal, dia berdiri dan bersiap meninggalkan kelas.
Namun, saat ia melangkah keluar, Sania tiba-tiba berlari ke arahnya, membuat tiang infus yang menyokong botol cairannya jatuh ke lantai.
Sania pun terjatuh tepat di atas pecahan botol infus.
Wah, benar-benar kebetulan! Kalau kebetulan bisa menghasilkan rumah, mungkin saat ini dia sudah punya rumah sendiri.
Kelas langsung ricuh, suasana bising membuat kepala Nindi pusing.
Dia baru ingin membuka mulut, tapi penglihatannya menggelap, lalu Ia jatuh pingsan.
Ketika Nindi terbangun, bau cairan disinfektan menyengat hidungnya.
Ini … ruang UKS?'
"Demam 39 derajat. Tahan segini lama, apa kamu mau tahu rasanya jadi 'manusia matang alami'?"
Nindi menoleh dan melihat seorang pria memakai jas putih, tubuhnya tinggi dan ramping. Dia memakai masker dengan mata yang dingin dan tanpa emosi.
'Ah, benar, ini dokter sekolah yang baru.' Dia memang tampan, sampai banyak cewek jadi fansnya.
'Tapi mulutnya … tajam banget.'
Dokter sekolah itu kelihatannya tidak betah berlama-lama di situ, dia langsung keluar begitu selesai bicara.
Nindi duduk, merasa tubuhnya sudah jauh lebih ringan. Sepertinya efek infus mulai bekerja.
Dia menundukkan kepala, "Sekarang aku boleh pergi, kan?"
"Boleh, kalau keluargamu jemput. Kalau kamu mati di jalan, aku nggak mau tanggung jawab."
Cakra duduk di kursi, nada bicaranya santai.
Tepat seperti julukannya, si dokter berlidah tajam.
Dengan suara serak, Nindi menjawab, "Aku nggak punya keluarga."
Begitu kata-kata itu keluar, suara Brando yang cemas terdengar dari luar, "Sania, kamu nggak apa-apa? Kok sampai luka parah gitu?"
"Kak Brando, ini cuma luka kecil. Jangan salahin Kak Nindi, dia nggak sengaja. Ini salahku sendiri, aku yang ceroboh sampai tiang infusnya jatuh."
Pengikut kecil nomor satu langsung menambahkan bumbu cerita, "Bukan begitu, Kak Brando. Sania niatnya cuma mau ambil makanan buat Nindi, tapi Nindi malah nolak. Dia sengaja marah-marah sampai dorong Sania. Kami semua lihat!"
Pelayan nomor dua ikut menyela, "Betul! Sania udah sakit, masih mikirin Nindi yang belum makan. Tapi Nindi malah jahat dorong dia!"
Wajah Brando seketika berubah merah, amarahnya langsung meledak.
Dengan suara penuh tekanan, ia berteriak, "Nindi di mana?! Cepat keluar! Kamu kok tega nyuruh Sania ambilin makan? Harusnya kamu tuh mati di kecelakaan dulu, biar nggak nyusahin hidup Sania!"
Nindi yang mendengar kata-kata itu hanya tersenyum sinis.
Sama seperti kehidupan sebelumnya. Apa yang dikatakan Sania selalu jadi kebenaran.
Sekejap kemudian, tirai di sampingnya ditarik dengan kasar.
Nindi mengangkat kepala, wajahnya pucat, bibirnya kering, tubuhnya kelihatan sangat lemah.
"Nindi, kamu …"
Brando yang awalnya marah, tiba-tiba terdiam melihat keadaan Nindi, kalimat berikutnya terhenti di tenggorokan.