Bab 1
"Nindi, kamu mau ngaku salah atau nggak?"
Air menenggelamkan hidung dan mulut Nindi, menyakitkan hingga tenggorokannya terasa seperti terbakar.
Dalam kegelapan yang menyelimuti kesadarannya, dia membuka mata, mendapati kakak keduanya, Kak Nando, berdiri di tepi kolam renang bersama kakak keempat, Kak Brando, sedang memeluk Sania.
Sepotong rasa bingung melintas di matanya. 'Pemandangan ini … begitu familiar.'
'Bukankah aku sudah mati?'
Apakah ini artinya dia kembali ke tiga tahun lalu, tepat di hari ketika Sania secara resmi diangkat menjadi anak angkat keluarga Lesmana?'
Nindi mengingat pesta itu dengan jelas. Sania sengaja menjebaknya, membuat semua orang percaya bahwa dia telah mendorong Sania ke kolam renang.
Kak Brando adalah orang pertama yang menemukan mereka. Namun, alih-alih menolong Nindi yang juga tidak bisa berenang, Kak Brando hanya menyelamatkan Sania, meninggalkannya untuk berjuang sendirian di air.
Lalu, Kak Nando berdiri di atas tepi kolam, memaksanya untuk mengaku bersalah.
Memang tidak ada pilihan lain, kalau tidak mengakuinya, dia tidak akan diselamatkan.
Dengan putus asa, Nindi akhirnya menyerah, dia hanya bisa menangis, dan memohon.
Baru ketika dia berada di ambang kematian, seseorang menariknya keluar.
Sejak saat itu, dia berhenti melawan Sania. Dia jadi sangat hati-hati, mencoba menyenangkan hati saudara-saudaranya. Namun, apa yang dia dapatkan di akhir?
Sania mencuri hasil skripsinya dan Kak Nando justru membelanya, membuat Nindi dicap sebagai plagiator hingga dikeluarkan dari kampus.
Ketika Sania butuh donor ginjal kakak ketiganya, Kak Sean, sendiri yang mengantarnya ke ruang operasi untuk mengambil ginjal Nindi.
Saat Sania memerlukan prestasi untuk mendukung kariernya, Kak Brando, Kak Witan, dan Kak Leo menendang Nindi keluar dari tim, tanpa ragu.
Ketika Nindi akhirnya menemukan bukti plagiarisme Sania, lengkap dengan rekam medis palsunya, dia membawa bukti itu ke kakak pertama, Kak Darren, berharap bisa membongkar kebohongan Sania.
Namun, yang terjadi dia justru dianggap memfitnah, tidak ada yang memercayai perkataannya, bahkan tidak ada yang melihat buktinya.
Akibatnya Kak Darren mengusirnya dari rumah untuk merenungkan perbuatannya.
Hidupnya hancur, dia terdampar di jalanan tanpa sepeser pun uang, menderita sampai akhirnya mati.
Kenangan itu membanjiri pikirannya. Nindi berhenti melawan, tubuhnya tenggelam ke dasar kolam.
Matanya yang terbuka lebar tanpa ekspresi, menatap kosong ke langit.
Dia melihat kakaknya yang mengelilingi Sania di tepian kolam, dan bahkan setelah melihat semua ini untuk kedua kalinya, rasa sakit di hatinya masih menusuk.
Betapa menyedihkan.
Dia adalah merupakan adik kandung mereka, bahkan kalah penting dibandingkan seorang anak angkat.
Kak Nando, yang sebelumnya hanya memperhatikan Sania, akhirnya menyadari keheningan di kolam. Nindi sudah tenggelam ke dasar kolam.
Dia buru-buru menoleh, wajahnya langsung pucat pasi saat melihat Nindi sudah tenggelam ke dasar, "Nindi!"
Tanpa pikir panjang, Kak Nando langsung melompat ke dalam kolam.
Sania, yang memperhatikan situasi dari awal, tersenyum tipis, cahaya licik terpancar di matanya. 'Nindi mati? Bagus sekali.'
Namun, dia memasang wajah lemah dan menarik lengan Kak Brando dengan suara serak, "Kak Brando, aku juga mau nyelamatin Kak Nindi. Ini semua salahku. Kalau bukan karena aku, dia nggak akan jatuh ke air …. "
Brando awalnya terlihat khawatir, tetapi mendengar itu, dia segera menghibur Sania, "Kamu jangan macam-macam. Ada Kak Nando di sana. Lagi pula, ini salah Nindi sendiri. Dia nggak bakal kenapa-kenapa."
Brando menoleh ke arah kolam, matanya menyiratkan perasaan yang campur aduk.
Sementara itu, di dalam air, Nindi melihat Kak Nando berenang mendekatinya dengan raut wajah panik yang tampak tulus.
Padahal tadi, dialah yang memaksa Nindi untuk meminta maaf, lalu diam saja saat ia terjatuh dan berusaha bertahan di air.
Kali ini, Nindi tidak butuh pertolongan Kak Nando.
Sorot matanya dingin dan penuh ejekan, lalu dia membalikkan badan dan berenang ke permukaan.
Di kehidupan sebelumnya, setelah insiden tenggelam itu, Kak Nando memaksanya belajar berenang bersama Sania.
Meski trauma, demi menyenangkan Kak Nando, Nindi tetap belajar. Namun, apa hasilnya? Semua pujian jatuh pada Sania yang katanya "berani melawan rasa takut."
Tidak ada yang tahu Nindi harus menahan napas lebih lama di air karena Sania sengaja menahannya. Itu meninggalkan bekas luka permanen pada tubuh dan jiwanya.
Namun, tidak ada yang peduli. Di mata Kak Nando, hanya ada Sania.
"Nindi, kamu lagi cari perhatian? Kamu pikir kamu bisa hapus semua kesalahanmu dengan pura-pura tenggelam?"
Kak Nando menghalangi jalannya, matanya memandang tajam, bingung sejak kapan Nindi bisa berenang.
Nindi mendongak, menatap wajah Kak Nando yang dulu menjadi favoritnya.
Karena Kak Sean terlalu serius, hanya Kak Nando yang menunjukkan sedikit kehangatan padanya.
Namun, kini, yang ia lihat di mata Kak Nando hanyalah kejengkelan dan ketidaksabaran.
Sania kembali berbicara, suaranya lemah seperti biasa, "Kak Nando, ini bukan salah Kak Nindi. Aku tahu Kak Nindi memang nggak pernah suka aku jadi bagian dari keluarga Lesmana. Ini salah aku, aku terlalu serakah, nggak seharusnya aku bermimpi punya keluarga. Jangan ribut gara-gara aku, ya. Kalian semua penting banget buat aku... hiks... hiks..."
Air mata mulai mengalir di wajah Sania, membuat Brando marah dan langsung menatap Nindi dengan tajam, "Sekarang kamu puas, kan?! Kalau bukan karena papanya Sania menyelamatkan kamu, dia nggak bakal jadi yatim piatu! Harusnya waktu itu nggak perlu deh nyelamatin kamu! Mending kamu yang mati sekalian!"
Kak Nando mengerutkan alisnya, "Nindi, jadi orang itu harus tahu diri. Kita harus anggap Sania bagian dari keluarga. Ini utang kita ke dia, utang kamu juga. Ngerti nggak?"
Brando menambahkan dengan nada dingin, "Dia orang yang nggak tahu balas budi, kalau dia ngerti, dia nggak bakal dorong Sania ke kolam. Nyelamatin seekor anjing pun lebih berharga daripada nyelamatin dia!"
Rasanya dunia Nindi runtuh. Dia merasa seperti berdiri di tengah padang gersang. Seluruh tubuhnya terasa dingin.
Jika boleh memilih, dia lebih memilih tidak diselamatkan waktu itu.
Dengan suara serak, menahan sakit di paru-parunya, Nindi berkata, "Memang salahku. Aku nggak akan ngelakuin ini lagi."
Karena, mulai sekarang, dia takkan melakukan kebodohan lagi.
Jika mereka lebih suka Sania menjadi adik mereka, maka ia akan menyerah.
"Nindi, jadi ini benar-benar sengaja? Kamu sadar nggak, Sania nggak bisa berenang. Kalau dia mati, kamu yang tanggung jawab!"
Kak Nando benar-benar kecewa. Ia mengira ini kecelakaan, tapi ternyata Nindi memang sengaja mencelakakan Sania.
Kapan Nindi menjadi begitu jahat?
Tak lama, dokter keluarga datang. Brando memandang Nindi dengan tajam, "Doain aja Sania nggak kenapa-kenapa. Kalau sampai ada apa-apa, nanti tunggu aja Kak Darren pulang. Kamu pasti habis!"
Kak Nando sempat melangkah pergi, tetapi menoleh kembali dan melihat Nindi yang basah kuyup berdiri di tempat dengan wajah pucat. Entah kenapa, ada rasa iba di hatinya.
"Kamu ke kamar dulu, ganti baju. Acara pesta sebentar lagi mulai," katanya, mencoba melunak.
Nindi tak menjawab, Kak Nando pun meninggalkannya sendirian.
Dia hanya menunggu sampai semua orang pergi sebelum mulai batuk keras, seakan paru-parunya akan keluar.
Menahan rasa darah di tenggorokannya, ia berbalik menuju kamarnya.
Berbaring di bathtub, sambil memejamkan mata, mengingat kehidupan sebelumnya. Setelah ia berakhir ke jalanan dan dipenuhi dendam, dia memang pernah mencoba membunuh Sania.
Namun, dia gagal.
Ia dikurung di rumah sakit jiwa oleh Kak Darren, dan akhirnya meninggal di sana, disiksa oleh perawat suruhan Sania.
Nindi tertawa pelan, suara itu terdengar menyeramkan. 'Bagus banget …'
Ketika dia membuka matanya lagi, tatapannya dingin tak berperasaan.
Setelah berganti pakaian, dia memandang kamar tidur yang tampak asing baginya.
Dulu, kamar ini akhirnya diberikan pada Sania, sementara dia dipindahkan ke kamar kecil Sania.
Dia melihat foto keluarga di atas meja, pasangan muda memegang bayi kecil, di samping mereka berdiri enam anak laki-laki.
Sayangnya, tak lama setelah dia lahir, orang tuanya meninggal dalam kecelakaan mobil.
Sopir mereka menyelamatkan Nindi terlebih dahulu, tetapi saat kembali untuk menolong orang tuanya, mobil meledak, dan sopir itu juga meninggal.
Sania adalah satu-satunya anak sopir itu, sejak kecil dia memang lemah dan sering sakit-sakitan.
Setelah kecelakaan itu, Kak Darren membawa Sania ke rumah dan membesarkannya bersama Nindi.
Sejak Sania muncul, segalanya berubah.
Kakak-kakak yang paling disayangi Nindi, semuanya berpihak pada Sania.
"Sania kan badannya lemah. Aku udah khusus panggil koki buat masakin makanan yang cocok buat dia. Nindi, kamu awasin biar Sania makan dengan benar."
"Nindi, Sania pengen belajar melukis juga. Kamu kan udah cukup mahir, kasih aja guru lukismu ke dia."
"Nindi, lomba ini kamu mundur aja ya. Sania yang ikut. Dia udah persiapan lama banget."
"Nindi, nilai Sania kan rendah. Kamu daftar di universitas yang sama aja biar dia ada teman."
...
Nindi memegangi kepalanya, rasa sakit menjalar di hatinya seperti jarum-jarum kecil.
Dia menarik napas pelan, berusaha menelan rasa sakit itu.
Dia tidak akan mau punya hubungan apa pun lagi dengan Keluarga Lesmana!
Dia merapikan barang-barangnya, menyimpan foto itu, lalu mulai mengemasi kamar.
Tidak lama, seorang pelayan mengetuk pintu, "Nona, pestanya udah mulai. Kak Nando minta Anda ganti baju dan turun."
"Tahu," jawabnya singkat.
Nindi membuka pintu dan melangkah ke tempat pesta yang ramai.
Pelayan tertegun, matanya membesar, "Nona pakai apa itu? Apa dia habis kena stres berat?" gumamnya.
Di luar, pesta berlangsung meriah.
Sania mengenakan gaun putih sederhana, rambut panjang hitam tergerai, tampil seperti adik manis yang polos.
Kakak kedua, Kak Nando, dan kakak keempat, Kak Brando, berdiri di sampingnya, tatapan mereka penuh kelembutan dan kasih sayang.
Adegan ini, tampak sangat hangat.
Kak Nando tiba-tiba teringat Nindi. Seandainya dia bisa sebaik dan sepintar Sania …
Beberapa tahun terakhir, sifat Nindi semakin sulit diatur dan semakin angkuh.
"Nindi datang!"