Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 8

Keesokan harinya, Sigit keluar rumah dan langsung naik taksi menuju alamat yang dikirimkan dosennya. Begitu masuk ke ruang VIP yang sudah dipesan, dosen itu langsung memanggil Sigit untuk duduk di sebelahnya. Karena ini adalah reuni dengan teman-teman lama, meskipun sudah bertahun-tahun tidak bertemu, obrolan tetap mengalir tanpa henti. Semua orang menikmati makan bersama sambil mengobrol, waktu pun berlalu dengan cepat. Saat Sigit sedang berbincang dengan dosennya, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Dia melihat layar ponselnya, ternyata itu adalah telepon dari seorang anak magang di kantor hukum Susan. Saat dia mengangkat telepon, suara panik dari anak magang itu langsung terdengar. "Kak Sigit, Kak Susan sakit maag lagi, tapi aku nggak tahu obat apa yang harus diminum. Gimana, ya?" Tanpa ada yang ditutupi, Sigit langsung memberitahukan dua nama obat yang biasa Susan makan. Suara di ujung telepon terdengar seperti sedang mencari-cari sesuatu, lalu disusul suara si anak magang yang hampir menangis. "Kak Sigit, aku nggak bisa menemukan obatnya di kantor. Bisa tolong bawakan ke sini?" Kalau dulu, mendengar permintaan seperti itu, Sigit pasti akan langsung setuju. Tapi kali ini, dia langsung menolak tanpa ragu. "Kalau nggak ada di sana, kamu bisa beli di apotek terdekat atau pesan lewat layanan antar. Itu jauh lebih praktis. Aku nggak akan ke sana." Setelah mengatakan itu, dia langsung menutup telepon. Melihat hal itu, dosennya yang sejak tadi diam akhirnya bertanya, "Itu pacarmu yang dulu membuatmu rela melepaskan segalanya, ya?" Sigit mengangguk. "Ya, benar." "Apa menurutmu dia bakal setuju kalau kamu ke luar negeri?" tanya dosennya, tak bisa menyembunyikan kecemasannya. Sigit adalah mahasiswa terbaik di jurusannya. Dia berbakat dalam desain perhiasan, rajin, dan penuh potensi. Seharusnya dia memiliki masa depan yang cemerlang. Tapi, karena jatuh cinta, dia rela meninggalkan karier desain perhiasan demi merawat pacarnya sepenuh hati. Dosen itu khawatir, kalau-kalau sekarang Sigit akan kembali mengorbankan kesempatan emas ini karena pacarnya tidak setuju. Namun untungnya, Sigit segera menggeleng. "Persetujuan dia sudah nggak penting. Aku sudah memutuskan untuk berpisah dengannya." Mendengar jawaban tak terduga itu, dosennya tertawa terbahak-bahak. "Bagus! Seorang pria memang harus begitu. Mana boleh menyerahkan masa depan demi seorang wanita?! Sigit, dulu kamu itu mahasiswa paling berbakat yang pernah aku bimbing. Kalau tetap di jalur ini, masa depanmu pasti akan bersinar. Sayangnya, dulu kamu memilih jalan yang salah. Kali ini, kamu harus berhasil!" Sigit tersenyum tipis. "Tentu saja. Karena aku sudah belajar bagaimana mencintai diriku sendiri." Setelah reuni selesai, Sigit pulang ke rumah. Saat itu, langit sudah gelap. Dia membuka pintu dan melangkah masuk ke ruang tamu. Begitu lampu menyala, dia langsung melihat Susan duduk di sofa dengan wajah suram. Awalnya, dia terkejut. Tapi begitu menyadari itu Susan, alisnya berkerut tanpa sadar. "Kamu ngapain di sini?" Wajah Susan yang pucat menatap Sigit tajam. Setelah sekian lama, akhirnya dia berbicara, tapi bukan untuk menjawab pertanyaannya. "Kamu ke mana saja? Kenapa pulangnya selarut ini? Kamu nggak tahu aku sakit maag hari ini? Kenapa nggak datang menemuiku?" Serangkaian pertanyaan cukup untuk menunjukkan ketidakpuasannya. Akan tetapi, berbeda dengan perasaannya, Sigit tetap tenang sambil menatapnya. "Aku nggak datang hari ini, pertama karena aku memang ada urusan, dan kedua, jarak rumahku ke kantor kamu jauh. Lebih praktis kalau kamu beli obat di apotek atau pesan lewat layanan antar. Aku ke sana pun nggak ada bedanya." Setelah mengatakan itu, dia bersiap untuk pergi lagi. Susan akhirnya tidak bisa lagi tetap tenang, suaranya meninggi. "Sigit! Kamu dulu nggak seperti ini." Sigit menatapnya dengan tenang. "Memangnya dulu aku gimana?" Tubuh Susan sedikit bergetar. Melihat Susan makin emosional, Sigit memijat keningnya, lalu tiba-tiba meraih tangan Susan. Dia berbicara, tetapi kata-katanya membuat Susan merasa seperti jatuh ke dalam jurang es. "Sudah ya, malam sudah larut, aku ngantuk. Kamu tenang dulu. Aku mau tidur."

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.