Bab 1
Jam dinding di asrama putra menunjukkan pukul sembilan malam ketika tiba-tiba terdengar teriakan, “Gerald, tolong turun ke lantai satu di asrama 101 dan ambilkan laptopku!”
Seorang pria berambut pirang penghuni asrama sebelah membuka pintu kamar Gerald secara tiba-tiba, melempar uang satu dolar ke lantai lalu berbalik pergi.
“Oh, iya, satu lagi, belikan aku air mineral di supermarket”
Pria berambut pirang itu kembali lagi dan melempar tiga dolar ke lantai. Dua dolar untuk membeli air mineral, satu dolar untuk upah Gerald.
“Hei, Blondie! Kenapa semua orang di asramamu selalu menyuruh Gerald melakukan ini-itu? Kenapa kalian sedemikian menyebalkan?”
Teman satu asrama Gerald bertanya dengan sikap dingin karena mereka sudah tidak tahan lagi melihat Gerald tertindas.
“Kau tinggal satu asrama dengan Gerald, tapi kau masih tidak mengerti? Hei, dengar! Jika kau memberinya satu dolar, dia bahkan akan bersedia memakan kotoran jika kau suruh!” Blondie tertawa puas lalu meninggalkan mereka.
Gerald hanya mampu menyembunyikan malu dan berusaha tidak mendengar perkataan Blondie. Dia lalu memunguti lembaran dolar yang terserak di lantai lalu berkata dalam hati, “dengan dua dolar ini sudah cukup untuk membeli tiga roti kukus dan sekantong acar. Aku tidak akan kelaparan lagi.”
“Gerald.. jangan pergi! Kalau kau tidak punya cukup uang kami bisa meminjamimu, kau bahkan tidak perlu mengembalikannya,” ujar ketua asrama yang juga tidak tega melihat kondisi Gerald.
Gerald menggelengkan kepala sambil tersenyum dan berkata, “terima kasih, tapi aku tidak apa-apa...”
Setelahnya, Gerald segera meninggalkan asrama untuk melaksanakan tugas dari Blondie. Teman-teman asramanya hanya bisa memandangnya dengan rasa iba.
Tentu Gerald sebenarnya tidak mau menjadi budak orang lain dan ingin menjalani kehidupan kampus seperti mahasiswa normal. Akan sangat menyenangkan jika dapat bebas belajar tanpa perlu mengkhawatirkan apapun, pikirnya.
Sayangnya, Gerald bukan orang kaya.
Meskipun teman-teman sekamarnya memperlakukannya dengan baik, tapi dia tidak ingin dikasihani. Gerald hanya khawatir mereka akan malas berteman dengannya. Hanya mereka teman yang dia miliki di kampus. Dia segera keluar untuk melaksanakan perintah Blondie.
“Hei, Gerald, tadi Blondie bilang kau akan ke bawah, ya?”
Kali ini, seorang pria berpakaian rapi keluar dari asrama sebelah. Namanya Danny Xanders, ketua asrama Si Blondie. Tak hanya kaya, wajahnya juga tampan. Tak heran kalau ia menjadi idola para mahasiswi di kampus.
Sayangnya, tidak jauh beda dengan Si Blondie, Danny juga selalu memandang rendah Gerald. Gerald heran kenapa Danny memanggilnya, dia menjawab, “ya, aku memang akan ke bawah”.
Danny tersenyum kecil lalu memberinya sekotak barang, “seorang temanku akan menunggu di hutan timur. Berikan kotak ini padanya, dan ini sepuluh dolar untukmu.” Danny adalah seorang playboy dan semua orang tahu dia seringkali mengajak gadis yang berbeda untuk bertemu di hutan dekat kampus.
Gerald tak mau ambil pusing tentang hal itu karena toh dia sudah terbiasa menerima perintah dari penghuni asrama.
Dia menerima kotak dan sepuluh dolar yang diserahkan Danny lalu menuju tangga. Saat membalikkan badan, Gerald sempat mendengar suara tawa Danny di belakang.
Gerald sampai di lantai satu, mengambil laptop, lalu membeli air mineral sebelum kemudian akan mengantar kotak titipan Danny. Hutan kecil di luar kampus itu memang sudah biasa menjadi tempat pasangan-pasangan muda berjumpa di malam hari.
Gerald pun tiba di tempat yang disebutkan Danny. Dia melihat sepasang pria-wanita duduk diantara pepohonan, mereka berbincang dan tertawa akrab. Betapa terkejutnya Gerald ketika melihat wajah mereka di bawah temaram cahaya bulan.
Gerald tercengang.
Itu Xavia!
Matanya memanas dan kotak yang dipegangnya jatuh ke tanah.
Xavia adalah mantan pacar Gerald dan mereka baru putus tiga hari yang lalu. Tentu saja, Xavia yang mengakhiri hubungan mereka.
Ketika Xavia memutuskan hubungan dengan Gerald, ia beralasan bahwa ingin sendiri dulu. Tetapi kenyataannya, baru tiga hari dan sekarang dia bersama pria lain di hutan!
Pasangan itu lalu menyadari kehadiran Gerald dan ekspresi wajah mereka seketika berubah. “Gerald..untuk apa kamu disini? Kamu..kamu jangan salah paham, aku disini bersama Yuri karena....” Xavia mulai panik dan malu. Dia menundukkan kepala dan tidak mau memandang Gerald.
Pria di sampingnya adalah Yuri Lowell, anak orang kaya keturunan kedua. Ia memandang kotak yang dijatuhkan Gerald dan tiba-tiba tertawa lepas.
“Ahahahhaa sial! Danny benar-benar tahu bagaimana membodohi orang. Aku memintanya untuk mengantar kotak ini dan tidak menyangka ternyata dia justru mengirimmu. Ah ini sungguh menyenangkan. Benar-benar menyenangkan!”
Gerald tahu bahwa Yuri adalah teman dekat Danny. Keluarganya memiliki beberapa restoran dan ia terbiasa membawa BMW seri 3 nya ke kampus.
Gerald hanya bisa mengepalkan tangannya mendengar perkataan Yuri. Ia tahu sekarang, Danny sengaja melakukan ini. Ditambah, dia makin curiga bahwa Danny ada dibalik alasan putusnya hubungannya dengan Xavia. Jika tidak, bagaimana bisa Xavia bersama Yuri hanya beberapa hari setelah mereka putus?
“Xavia, aku tahu kamu tidak lagi mencintaiku, tapi kamu tidak seharusnya bersama pria macam dia setelah kita putus. Kamu tahu berapa banyak wanita yang dia kencani sebelum ini!?” Gerald tidak bisa menahan teriakannya.
Gerald sangat mencintai Xavia. Sangat.
Xavia merasa sangat cemas dan kesal setelah mendengar kata-kata Gerald. “Gerald, kamu pikir kamu siapa?! Kamu tidak punya hak untuk mengajariku, mengatur hidupku, atau menentukan aku harus apa. Kita sudah putus dan aku bebas menentukan untuk bersama dengan siapapun yang aku mau!”
“Dan...” Xavia semakin marah lalu menatap Gerald tajam, “apa kamu datang ke sini hanya untuk membuat aku jijik? Pergi kamu!”
Plak!
Xavia mendaratkan tamparan keras ke pipi Gerald.
Yuri tertawa semakin puas, “Hahaha! Xavia Sayang, kenapa kamu menyuruh dia pergi. Harusnya kamu biarkan saja dia di sini dan melihat kita!”
Wajah Xavia memerah, “Yuri, moodku sudah berantakan melihat dia di sini, mungkin lain kali saja...” Xavia lalu melepaskan rangkulan Yuri.
Grald tidak tahu lagi harus melakukan apa, dia berjalan menjauh dari hutan itu. Pikirannya benar-benar berantakan. Semua ini karena uang. Dia ditindas hanya karena dia miskin!
“Hahaha!”
Sesampai di koridor asrama, Gerald disambut dengan tawa menyebalkan teman-teman sekelasnya. Danny tentu saja juga di sana dengan memegang perut menahan tawa. Ya, Danny memberitahu teman sekelas tentang kejadian malam ini.
“Hahaha! Hei, Gerald, apa yang kau temukan tadi ketika mengantar kotak titipan Danny?” Blondie bertanya dengan senyum mencemooh.
“Ah, tentu saja! Xavia memang benar-benar gadis yang sempurna,” timpal Danny dengan menyeringai.
Gerald mengepalkan tinjunya dengan erat dan matanya sudah sangat merah saat ini. Dia benar-benar ingin membunuh Danny!
“Kenapa? Kenapa kau lakukan ini padaku?” Gerald mendesis menahan amarah.
Danny masih tertawa dan menjawab, “Hei, sini lihat aku. Aku sama sekali tidak takut!”
“Dari semua kaum miskin di kelas kita, kaulah yang paling hina. Xavia itu gadis sempurna dan hanya buang-buang waktu kalau dia harus bersamamu. Ya, tentu akan jauh lebih baik kalau dia bersenang-senang dengan saudaraku paling tidak untuk beberapa hari...”
“Dan ngomong-ngomong, Gerald. Tahukah kau kalau Yuri berhasil menjemput Xavia kurang dari setengah jam setelah dia mengiriminya pesan, sementara kau butuh waktu lebih dari setahun sampai akhirnya dia mau jadi pacarmu?”
Semua orang tertawa dan tidak mempedulikan harga diri Gerald.
“Kurang ajar! Rasakan ini!”
Gerald berusaha menghajar Danny, tapi dia diserang balik oleh teman-teman Danny. Untungnya beberapa saat kemudian teman-teman Gerald segera datang dan membawanya kembali ke asrama.
Di kamar, Gerald menutupi wajahnya dengan selimut dan terus terisak di atas tempat tidur.
“Kenapa mereka sedemikian kejam dan menginjak-injak harga diriku? Kenapa? Apa mereka pikir aku tidak berperasaan hanya karena aku miskin? Apa aku bukan manusia di hadapan mereka?”
Gerald masih berusaha menenangkan dirinya sementara airmata di pipinya masih terus mengalir. Dia benar-benar tidak bisa melupakan semua yang disaksikannya malam ini. Dia tidak tahu berapa lama dia meringkuk di bawah selimut sampai akhirnya dia terlelap. mungkin karena saat itu malam sedang sangat gelap dan sunyi, Gerald tertidur nyenyak malam itu.
Ketika terbangun keesokan paginya, Gerald tidak menemukan seorangpun di asrama. Gerald tahu pasti ketua asrama sengaja tidak membangunkannya, membiarkannya istirahat di asrama setelah kejadian semalam. Ketika Gerald membuka ponselnya, dia menemukan banyak pesan masuk dan panggilan tak terjawab disana. Dan yang mengejutkan, semua adalah nomor asing.
Gerald juga menemukan satu pesan mengatakan bahwa seseorang telah mentransfer sejumlah uang ke rekeningnya!
“[Bank Daxtonville]. Saldo rekening anda dengan nomor XXXXXXX107 adalah sejumlah USD 1,500,000.00.”
Gerald terkejut melihat jumlah rentetan angka di layar ponselnya. Hah!! Satu juta lima ratus ribu dolar? Siapa yang mengiriminya uang sebanyak itu? Gerald buru-buru menghubungi pihak bank untuk memastikan dan semakin bingung setelah menerima konfirmasi dari mereka.
Sesaat kemudian ponselnya berdering. Sebuah nomor asing dengan kode negara yang berbeda. Gerald segera mengangkatnya.
“Gerald, kau sudah menerima uang yang aku transfer? Ini aku, kakak perempuanmu!” terdengar sebuah suara yang tidak asing dari seberang sana.
“Kak, ada apa ini? Apa yang terjadi? Bukankah kau dan ayah ibu berjuang keras untuk mencari uang di sana? Darimana kau dapatkan uang sebanyak itu?”
Gerald masih tidak bisa menahan rasa terkejutnya.
“Eumm.. Ayah sebenarnya berniat menyembunyikan kenyataan yang sebenarnya padamu sampai dua tahun ke depan. Tapi aku tidak tega karena tahu kau di sana dirundung karena miskin. Karena itu aku memberitahumu lebih awal. Keluarga kita sebenarnya sangat kaya. Keluarga Crawford punya industri bisnis yang sangat besar dan tersebar di berbagai negara. Kau tahu, delapan puluh persen tambang emas, mineral, dan minyak bumi di Afrika dimiliki keluarga kita...”
“…dan itu belum termasuk industri di Daxtonville dan negara lain”
Apa?
Gerald menelan ludah. Jika satu setengah juta dolar belum ada di rekeningnya saat ini mungkin dia tidak akan percaya. Kakaknya pasti benar-benar sedang mengigau!
“Aku tahu ini sulit dipercaya. Tapi kau harus mencoba menerima kenyataan ini, Gerald. Awalnya aku juga dibesarkan di lingkungan yang serba kekurangan tapi perlahan kemudian aku mulai terbiasa dengan gaya hidup mewah. Oh iya, aku juga mengirimimu sesuatu. Seharusnya kurir sudah mengantarnya ke asramamu pagi ini. Sekarang kau tidak perlu pusing lagi soal uang.”
“Aku tidak tahu banyak soal biaya hidup di Daxtonville saat ini, tapi kau tak perlu khawatir. Gunakan saja satu setengah juta dolar yang kukirimkan. Aku akan menghubungimu lagi bulan depan.”
Setelah menutup telpon, Gerald masih tercengang tak percaya.
Dia selalu hidup sebagai orang miskin selama ini. Tapi...
Benarkah dia memang anak orang kaya?