Bab 4
Gisel tidak mengerti, bagaimana mungkin pria itu bisa langsung menemukannya di aula pesta yang begitu besar dengan begitu banyak orang? Apakah itu kebetulan? Ataukah dia benar-benar mengenalinya?
Jason tidak berbicara, hanya menatapnya dengan pandangan yang begitu tenang, tetapi cukup untuk membuat siapa pun merasakan ketakutan mendalam.
Hati Gisel dipenuhi keraguan dan kewaspadaan. Dia tahu bahwa dia sama sekali tidak boleh tertangkap olehnya.
Terlepas dari hal yang lain, hanya karena dia telah memborgol pria itu di tempat tidur saat dia sedang tidur, Gisel pasti tidak akan punya kesempatan hidup jika jatuh ke tangannya.
Ketika menatap mata pria itu yang penuh bahaya, Gisel merasa pria itu mampu menghancurkannya menjadi serpihan, bahkan menghabisi sisa-sisanya tanpa ragu.
Jadi, satu-satunya cara untuk bertahan hidup adalah melarikan diri.
Jika ingin lolos, satu-satunya jalan adalah mengambil langkah lebih dulu.
Untungnya dia telah bersiap sebelumnya.
"Ah! Pembunuh! Aaahh! Darah! Banyak darah!" Suara tajam Gisel tiba-tiba memecah suasana pesta. Bersamaan dengan itu, dia memecahkan kantong darah palsu yang sebelumnya disembunyikannya di dalam jubah yang baru saja dia kenakan.
Dalam sekejap saja, teriakan melengkingnya jauh mengalahkan suara musik dan keramaian di aula pesta.
Tanpa ada yang menyadari, di tengah teriakannya, dia menjatuhkan sebuah benda kecil berbentuk bola ke dekat kaki pria yang memeluknya. Bola itu pecah saat menyentuh lantai, cairan lengket mulai mengalir perlahan ke sepatunya.
Semua alat itu adalah properti dari ruang ganti pesta kostum tadi. Tidak bisa disangkal, persiapan pesta kali ini memang sangat lengkap.
Sejak Gisel ditarik ke dalam pelukan hingga teriakannya, semua terjadi dalam sekejap. Reaksi dan kecepatannya terlalu mendadak untuk diantisipasi.
Teriakan paniknya, darah palsu yang tampak begitu nyata, bahkan Jason yang biasanya selalu tenang tampak tertegun sesaat.
Memanfaatkan momen pria itu tertegun, Gisel melompat, dengan gesit melepaskan diri dari pelukannya.
"Ayo pergi!" Setelah terbebas dari Jason, Gisel tanpa ragu menarik Jordy untuk melarikan diri.
Ini adalah perlombaan melawan waktu, sebuah perjuangan hidup dan mati. Dia sangat yakin, jika tertangkap oleh pria itu, dia akan dicabik-cabik tanpa ampun.
Jason tersenyum dingin. Awalnya dia tidak yakin, tetapi sekarang dia tidak ragu lagi. Itu memang dia.
Namun, sekarang dia mengenakan jubah putih panjang dengan aksesori kepala yang mencolok, menyamarkan bentuk tubuh dan kepala aslinya dengan sempurna.
Sudut bibir Jason terangkat perlahan. Dia tampak tidak terburu-buru. Ini adalah wilayahnya. Dia telah mengatur segalanya dengan sempurna. Sekarang, setelah targetnya teridentifikasi, mana mungkin dia bisa lolos?
Dia akan membiarkan wanita ini merasa puas untuk sementara waktu.
Namun, ketika dia hendak melangkah mengejarnya, wajahnya berubah sedikit muram. Dia baru menyadari bahwa sepatunya menempel di lantai, tidak bisa bergerak.
Sementara itu, tubuh Gisel yang dipenuhi darah palsu membuat siapa pun takut untuk mendekatinya.
Ketika hampir mencapai pintu keluar aula, dia dengan santai menarik seorang wanita.
Wanita itu tampaknya terlalu terkejut hingga tidak bisa melawan, membiarkan Gisel menariknya keluar.
Sebuah lift khusus kebetulan berhenti di lantai tiga.
Gisel tersenyum simpul. Jelas sekali pria itu menggunakan lift khusus untuk naik. Hal ini secara tidak langsung memberinya lebih banyak waktu.
Gisel langsung masuk ke dalam lift. Saat pintu lift hampir tertutup, dia melihat pria itu telah keluar dari aula pesta.
Gisel tidak menyangka, meskipun sudah membuat pria itu terpaku, dia masih bisa mengejar secepat itu. Namun, tetap saja dia terlambat satu langkah.
"Selamat tinggal," ucap Gisel dengan sopan sambil melambai pada pria itu tepat saat pintu lift tertutup.
Meskipun kedua orang itu mengenakan topeng dan tidak bisa melihat wajah satu sama lain, gerakan melambaikan tangan Gisel terlihat sangat arogan.
Jason bisa menangkap kesombongan dan kepuasan Gisel dengan jelas. Mata Jason yang menyipit tampak menunjukkan kilat senyuman, tetapi senyuman itu cukup untuk membuat siapa pun merinding.
Bagus, sangat bagus!
Apa wanita itu benar-benar berpikir bisa melarikan diri? Jason telah menjebaknya di hotel ini dengan perangkap sempurna, bagaimana mungkin dia bisa kabur?
Terlalu naif!
Di dalam lift, Jordy akhirnya kembali tersadar. Ketika dia menatap Gisel, matanya kini dipenuhi dengan emosi yang rumit.
"Nona Jessica, tolong bantu aku," kata Gisel. Dia mengabaikan Jordy, lalu menatap wanita yang baru saja dia tarik masuk ke dalam lift. Nada bicaranya terdengar sopan dan tulus.
"Siapa kamu? Kenapa aku harus membantumu?" Jessica meliriknya dengan sudut matanya, ekspresinya penuh dengan penghinaan serta ketidaksabaran.
Gisel mendekat ke telinganya, membisikkan beberapa kata. Wajah Jessica langsung berubah, matanya dipenuhi ketakutan yang terpendam, lalu dia berkata sambil menggertakkan giginya, "Apa yang kamu mau aku lakukan?"
"Kenakan ini. Kalau lift berhenti di lantai satu, berpura-puralah terluka, lalu jatuh ke luar," kata Gisel sambil melepas jubah sulap yang dipenuhi "darah", lalu menyerahkannya pada Jessica.
Gisel tahu bahwa di lantai satu pasti ada orang yang menunggunya. Lift ini pasti akan dihentikan di sana.
Oleh karena itu, dia harus mempersiapkan rencana cadangan.
Keberhasilan atau kegagalan akan bergantung pada saat ini!
Meski Jessica merasa sangat enggan, dia tidak punya pilihan selain mengikutinya.
Mata Jordy berkilat. Wanita ini benar-benar cerdas dan berani, reaksinya begitu cepat, serta pikirannya sangat teliti. Rencananya begitu sempurna, langkah demi langkah.
Selain itu, dia tahu rahasia Keluarga Finley yang tak banyak diketahui orang. Siapa sebenarnya dia?
Akhirnya, lift berhenti di lantai satu, lalu pintunya terbuka.
Ketika melihat yang keluar dari lift khusus bukan Jason, ekspresi Harry berubah. "Hentikan mereka!"
Beberapa orang di luar dengan cepat mengelilingi mereka. Namun, tepat pada saat itu, Jessica yang penuh dengan "darah" tiba-tiba terjatuh ke arah Harry, menimpa tubuhnya.
"Ah! Nona, apa kamu baik-baik saja?" Insiden yang mengejutkan ini membuat semua orang di sana tertegun.
Sementara itu, Gisel dengan cepat menekan tombol untuk menutup pintu. Sebelum mereka sempat sadar kembali, pintu lift sudah tertutup, turun menuju tempat parkir bawah tanah.
Saat itu, sudah terlambat untuk menghentikannya.
"Kejar! Cepat kejar! Jangan biarkan mereka lolos!" Desta yang cukup sigap, segera menyadari bahwa mereka telah tertipu. Dia terus memerintahkan orang-orang untuk mengejar.
Namun, kekacauan dan kepanikan telah membuat mereka kehilangan waktu berharga.
Di dalam lift, Jordy menyipitkan mata. Tiba-tiba, dia dengan cepat mengulurkan tangan untuk mencopot topeng Gisel.
"Gisel?" Untuk sesaat, Jordy merasa matanya pasti bermasalah. Bagaimana mungkin dia melihat Gisel?
Gisel yang bodoh dan ceroboh itu!
Gisel yang selalu menjadi bahan tertawaan semua orang! Gisel yang tak punya kemampuan apa-apa!
Bagaimana mungkin?
Namun, wanita di depannya memang benar-benar tampak seperti Gisel yang dikenalnya.
Melihat semua yang baru saja dia lakukan, Gisel tidak hanya tidak bodoh, tetapi juga sangat cerdas hingga membuatnya terkagum. Jelas bahwa kebodohan dan kecerobohannya selama ini hanya pura-pura.
Namun, Jordy tidak mengerti, mengapa Gisel berpura-pura bodoh selama ini?
Gisel tidak mengatakan apa-apa, hanya meliriknya sekilas dengan tenang, lalu dengan santai mengenakan kembali topengnya.
Melihat ketenangan dan sikapnya yang tampak tidak terganggu, Jordy tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
Siapa sebenarnya wanita ini?
Dia teringat bagaimana kakak sepupunya sering memaki Gisel di rumah, menyebutnya sebagai orang bodoh yang tidak berguna. Bahkan kakak sepupunya itu pernah berkata ingin membatalkan pertunangan dengan Gisel.
Sekarang, ketika mengingat hal itu, Jordy merasa hal itu sangat lucu sekaligus ironis.
Ketika pintu lift terbuka, Gisel langsung keluar dengan cepat.
"Mobilku ada di depan, nggak jauh dari sini," kata Jordy. Meski penuh dengan kebingungan, dia tahu bahwa sekarang bukan saatnya untuk bertanya.
Mobilnya memang sangat dekat dari lift, hanya sekitar beberapa puluh meter. Berlari ke sana hanya butuh beberapa detik.
Namun, pengejar mereka berada terlalu dekat. Beberapa detik ini tetap saja terlalu berbahaya bagi Gisel.
Di lantai tiga, karena Gisel menggunakan lift khusus, Jason harus menekan tombol lift lain. Lift nomor satu dengan cepat berhenti di lantai tiga.
Namun, lift yang digunakan Jason tetap tertahan di lantai satu. Ketika melihat siapa yang ada di dalam, Desta menarik napas dingin. "Pak Jason?"