Bab 11
Linda seketika tercengang. Dulu, Hendra Wijaya sering muncul di berita televisi, karena itulah dia tampak tidak asing.
"Ternyata itu dia?" Linda agak tidak percaya.
Surya mengangguk. Linda mengerutkan keningnya dan berkata, "Status Pak Hendra memang sangat luar biasa. Tetapi, sepertinya cucunya nggak memiliki opini yang bagus tentangmu."
"Biarkan saja dia," ucap Surya.
Linda mengangguk dan melanjutkan, "Bos, semuanya sudah diatur. Aku juga telah menerima undangan pernikahan Adhi dan Maya."
"Begitukah." Surya berkata, "Aku akan memercayaimu untuk menanganinya."
Linda melanjutkan, "Aku berencana untuk mengejutkan mereka di pernikahan. Bagaimana menurutmu?"
"Makin besar kejutannya, makin bagus," ucap Surya. Dia mengingat kembali semua hal yang dilakukan Maya kepadanya.
Linda menganggukkan kepalanya. Melihat anggur yang belum habis diminum, dia pun diam-diam melirik Surya dan bertanya dengan suara kecil, "Bos, bagaimana kalau aku menemanimu minum?"
"Kamu bisa minum?" tanya Surya sambil tersenyum.
Wajah Linda perlahan memerah. "Aku bisa minum sedikit."
Lalu, Surya menuangkan segelas anggur pada Linda dan berkata, "Aku memang belum benar-benar menikmati anggur ini."
Linda mengangkat gelasnya dan mendentingkannya dengan gelas Surya. Mereka pun meneguk isi gelas tersebut.
Setelah itu, mereka berdua terus mengobrol dan minum. Tak lama kemudian, anggur yang dibawakan oleh Hendra pun habis.
Linda tampak agak mabuk. Dia menghampiri rak minuman, mengambil sebotol minuman lagi dan membukanya tanpa mengatakan apa pun.
Surya tertawa dan melihat Linda menuangkannya segelas lagi. Mereka berdua pun kembali minum-minum.
Setelah lebih dari 1 jam, Surya menatap Linda yang sudah tidak sadarkan diri di atas sofa. Dia menggelengkan kepalanya. "Kalau kamu nggak bisa minum, jangan minum banyak-banyak. Kalau seperti ini, bagaimana aku harus mengurusmu?"
Surya pun terpaksa menggendong Linda yang tak sadarkan diri dan membawanya ke lantai atas.
Tubuh Linda, aroma alami seorang wanita, serta daya tarik wanita dewasa, semuanya menguji mental dan fisik Surya.
Setelah susah payah membawa Linda ke kamarnya, Surya segera menyelimutinya. Setelah itu tanpa berlama-lama, Surya pergi keluar kamar dan turun ke lantai bawah secepat kilat.
Setelah Surya pergi, Linda perlahan membuka matanya. Dia melihat ke arah pintu dengan sedikit kesal dan bergumam, "Apakah daya tarikku masih kurang!"
...
Keesokan paginya.
Setelah bangun tidur, Surya sengaja tetap tinggal di kamarnya. Setelah Linda pergi, barulah dia keluar kamar.
Memikirkan apa yang terjadi semalam, saat ini Surya merasa agak malu. Dia tidak berani untuk menghadap Linda.
Bagaimanapun juga, tidak baik bila seorang bos membuat bawahannya mabuk seperti itu.
Setelah sarapan, Surya pergi ke taman untuk berlatih.
Sementara itu di rumah nomor 1, Indah sedang berdiri di depan pintu kamar kakeknya. Dia memohon, "Kakek, hari ini kamu harus pergi untuk pemeriksaan medis. Tolong buka pintunya."
Tidak terdengar jawaban dari dalam. Indah hanya bisa terus mengetuk pintunya lagi dan lagi.
Setelah cukup lama, Hendra yang sedang melatih pernapasannya pun menghela napas dan membukakan pintu.
Dia merasa seperti di penjara. Namun di hadapan cucunya, dia tidak bisa marah dan hanya terdiam.
Melihat kakeknya keluar, Indah buru-buru berkata, "Kakek, semua orang di institusi penelitian menunggumu."
"Oh, ayo pergi." Hendra tahu bila dia tidak mau pergi, cucunya pasti akan terus mengganggunya. Jadi, dia pun dengan enggan menurut.
Sambil membantu kakeknya berjalan keluar, Indah berkata, "Kakek, apa kamu meminum obatnya tepat waktu?"
"Iya," jawab Hendra.
Namun sebenarnya, dia sudah membuang obat itu ke rak sepatunya. Sekarang pun obat itu masih di sana.
Indah mengangguk, dia lalu mengantarkan kakeknya ke Institusi Penelitian Medis. Di sana, Hendra menjalani serangkaian tes.
Setelah selesai, Dokter Yanti berkata pada Indah, "Hasilnya akan keluar siang nanti, aku akan meneleponmu."
"Terima kasih, Dokter Yanti." Indah mengekspresikan rasa terima kasihnya, lalu mengantarkan kakeknya pulang.
Sesampainya di rumah, Hendra kembali mengunci dirinya di kamar dan melanjutkan kultivasinya.
Indah dengan gelisah menunggu. Kondisi kakeknya sangat serius dan mereka semua mengetahuinya.
Ada atau tidaknya perkembangan pada kondisi kakeknya, semuanya bergantung pada obat baru itu.
Sekitar jam 2 siang, Dokter Yanti akhirnya menelepon.
Dokter Yanti dengan senang mengabarkan bahwa kesehatan kakeknya meningkat. Bahkan fibrosis pada paru-parunya pun mulai membaik. Sungguh keajaiban.
Setelah menjelaskan kondisi kakeknya, Dokter Yanti sekali lagi menekankan bahwa kakeknya harus terus meminum obat tersebut karena efeknya yang amat positif.
Indah sangat gembira dan berkali-kali mengiyakan Dokter Yanti. Setelah menutup telepon, dia melepaskan napas lega.
Berdasarkan perkataan Dokter Yanti, kesehatan kakeknya makin membaik dan bisa hidup beberapa tahun lagi tanpa masalah. Bagi Keluarga Wijaya, pastinya ini adalah berita baik.
Namun ketika memikirkan penipu itu, Indah menggertakkan giginya.
Dia sudah terlalu sering menemui orang semacam itu.
Di negara ini, Keluarga Wijaya memiliki pengaruh yang tak tertandingi. Banyak orang yang mendekati keluarganya demi kepentingan sendiri.
Dulu kakeknya juga selalu memperingati mereka, mereka harus waspada terhadap orang-orang seperti itu, supaya reputasi Keluarga Wijaya tidak digunakan untuk merugikan negara ataupun memenuhi kepentingan pribadi.
Namun sekarang, tampaknya sang kakek telah kehilangan akalnya. Dia dengan mudah memercayai penipu itu dan melupakan kata-katanya sendiri.
Memikirkan hal ini, Indah pun menelepon ayahnya lagi.
"Ayah, kapan kamu akan pulang? Penipu itu sekarang juga membuat Kakek minum dan merokok. Dia sangat kurang ajar."
Sang ayah terdiam sejenak, lalu suaranya terdengar sedikit marah. Dia berkata, "Kirimkan informasi orang itu padaku. Besok aku akan pulang."
"Baik, cepatlah Ayah. Saat ini Kakek benar-benar berada di bawah pengaruhnya."
Setelah menutup telepon, Indah mengirim nomor telepon, alamat, serta foto Surya kepada ayahnya.
Kemudian, dia menggertakkan giginya dan bergumam, "Tunggu saja, kita lihat bagaimana ayahku menanganimu. Dasar penipu."
...
Pukul 5 sore.
Surya mengakhiri meditasinya lebih awal dan pergi ke pasar swalayan untuk belanja bahan makanan. Setelah dia kembali ke rumah, dia pun menyibukkan dirinya di dapur. Dia merasa tidak enak karena selalu bergantung pada Linda untuk dibuatkan makanan.
Di sore hari, Linda telah selesai kerja dan kembali ke rumah. Ketika dia melihat Surya di dapur, dia begitu terkejut hingga menutup mulutnya.
Setelah beberapa saat, Linda buru-buru ke dapur dan berkata, "Bos, biar aku saja. Bagaimana bisa aku membiarkanmu memasak?"
"Aku sedang nggak ada kegiatan apa pun. Selain itu, aku nggak enak kalau terus membiarkanmu memasak untukku. Hari ini, cobalah masakan buatanku."
Surya membawa beberapa hidangan dan meletakkannya di meja makan.
"Terima kasih, Bos. Aku akan ganti baju dulu."
Linda naik ke lantai atas dengan gembira seperti seekor burung. Dia lalu mengganti pakaiannya dengan sebuah baju tidur berenda sebelum turun ke lantai bawah.
Baju tidur itu cukup menutupi tubuhnya, tetapi saat dia bergerak, pahanya yang seputih susu akan tersingkap dan membuat orang berimajinasi.
Surya tersenyum dan berkata, "Ayo makan."
Surya menyajikan nasi untuk mereka berdua, lalu mereka pun mulai makan.
Linda sangat bersemangat dan memuji kemampuan memasak Surya tanpa henti. Hanya dengan beberapa masakan rumah yang sederhana, Linda seolah-olah telah memakan makanan terenak di dunia dan tidak memedulikan penampilannya.
Surya sendiri memakan tiga mangkuk nasi. Setelah kenyang, mereka berdua saling tersenyum. Linda bahkan tertawa sambil bersantai di sofa. Kakinya yang putih dan area tubuhnya yang agak tertutup itu menggoda Surya.
Akan tetapi, akhirnya Surya hanya berkata, "Linda, tolong cuci piringnya."
Linda segera duduk tegak. Dia menatap Surya dengan kesal dan merapikan meja. Setelah itu, dia duduk di samping Surya dan perlahan berkata, "Bos, besok adalah hari pernikahan Adhi dan Maya."