Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 9

"Pak Jamal, Terence cukup hebat. Dia masih muda, tapi berhasil menduduki jabatan eksekutif di Grup Lestanto. Hidangan mewah yang sulit dipesan sudah sekelas makanan sehari-hari buatnya karena bisa pesan dengan mudah. Sungguh mirip hotel bintang empat." Hania berbicara dengan nada kagum, sama sekali tidak memperhatikan tatapan tidak suka yang Jamal siarkan. "Sayangnya, hari ini nggak bisa makan Lobster Astria." Di tengah situasi begini, Hania masih peduli makanan. Makan sampai kenyang dan enak menjadi perihal paling penting. Hal lainnya sekadar omong kosong. Mendapati wajah Hania dipenuhi kekecewaan, Jamal pun mengulurkan tangannya untuk memanggil pelayan. "Apakah ada manajernya?" tanya Jamal. "Boleh, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?" "Saya temannya. Pikir saya, mungkin teman saya masih mengusahakan Lobster Astria buat kami. Tolong bawa saya bertemu manajer Anda." Semua orang terhenyak, lalu tertawa terbahak-bahak. "Hania, aku nggak salah dengar, 'kan? Suamimu yang bekerja di lokasi konstruksi itu kenal manajer di sini, bahkan bisa minta dia memberikan kita Lobster Astria?" Dihadapkan pada ejekan dari rekan kerja, Hania malu dan menarik ujung baju Jamal di bawah meja. "Pak Jamal, maksudnya apa? Tadi, pelayan sudah bilang ... pengirimannya telat dan nggak bisa disajikan sekarang. Menemui manajer juga nggak berguna. Aku tahu, Yelena membuatmu malu, tapi kalau kamu terlalu keras kepala, nanti kita terlihat makin memalukan." Hania sungguh tidak habis pikir dengan tindakannya. Meskipun dia tahu, pria suka menjaga harga diri, tetapi pura-pura hanya makin mempermalukannya. Jamal tidak menghiraukan mereka, lalu mereka pergi meninggalkan ruang makan bersama pelayan. "Hania, sepertinya, selera kamu kurang bagus. Dapat suami yang cuma tampan, tapi nggak ada kemampuan sampai membuatmu malu di depan semua rekan kerja." Mika, yang duduk di sampingnya, ikut mengejek. Pipi Hania semerah tomat karena menahan malu. Meskipun begitu, dia enggan ikut-ikutan merendahkan. Namun, suara pelannya terdengar bicara, "Mungkin dia benar-benar kenal manajer di sini." "Pfft!" Terdengar lagi suara tawa Yelena. Ejekan Yelena segera menyusul. "Seorang buruh bangunan di lokasi konstruksi bisa kenal manajer hotel bintang empat? Hania, kupikir kamu sedang mimpi!" Setelah itu, Jamal kembali ke sana. Jamal duduk kembali di samping Hania dengan ekspresi dingin, tidak bicara sepatah kata pun. "Hania, sepertinya manajer nggak kenal suamimu, ya!" Ejekan terus berdatangan. Meskipun Hania terbiasa begitu sabar, dia mulai kesal. "Pak Jamal, aku sudah mengingatkanmu, kalau nggak punya kemampuan, jangan sok pamer. Lihat, kita dijadikan bahan tawa sekarang." Jamal tetap diam. Selanjutnya, pintu ruangan dibuka, menampilkan tiga pelayan yang masing-masing membawa sebuah piring Lobster Astria dan meletakkannya teratur di atas meja. Suara ejekan perlahan mereda, semua orang pun mulai menunjukkan ekspresi bingung di wajah mereka. Tak lama seorang pria paruh baya dengan setelan jas masuk ke ruang makan, langsung menuju ke sisi Jamal lalu membungkuk dan berkata, "Pak Jamal, saya mohon maaf. Saya nggak tahu Anda makan di restoran kami, kalau tahu ... saya pasti nggak akan melayani Anda seperti ini. Lobster Astria baru diangkut segar hari ini, tiga ekor terbaik, semoga Anda puas." "Terima kasih, tapi kami hanya pesan satu." "Dua yang lain adalah hadiah kami buat Anda. Terima kasih telah datang, saya sangat minta maaf. Tadi, saya periksa kembali tagihan pemesanan dan memastikan bahwa meja ini nggak pesan Lobster Astria sebelumnya. Kalau aku tahu, kesalahan ini nggak akan terjadi dan Anda nggak perlu datang padaku. Sebagai permintaan maaf kami, semua makanan di meja ini gratis, tolong beri saya kesempatan memperbaiki kesalahan ini." Sang manajer terlihat begitu gugup di balik senyumnya. Peluh dingin membasahi dahinya, seolah-olah keliru ucap sekali saja bisa membuat Jamal marah dan dirinya akan dihukum berat. Tidak pernah terpikirkan, Tuan Muda dari keluarga Lestanto, penguasa di Kota Jarita, akan makan di tempat seperti ini. Bosnya langsung menelepon dan berulang kali memberi peringatan agar melayani tamu ini dengan sangat baik tanpa lalai sedikit pun. Kalau sampai Tuan Muda marah, hotel ini mungkin tidak bisa beroperasi lagi. Orang-orang di meja makan pun kaget melihat manajer begitu sopan padanya. Mereka penasaran siapa teman Jamal ini dan alasannya membuat manajer hotel begitu sopan. Sementara itu, mereka mulai berbisik-bisik. "Dengar kata Manajer tadi? Nggak ada keterlambatan pengiriman sama sekali, pacar Yelena nggak pesan Lobster Astria itu." "Apakah pelayan tadi ... sedang berakting untuk kita?" "Jelas, dia cuma ingin pamer! Tadi, dia masih mengejek suami Hania, sudah kena batunya sekarang. Suaminya Hania tinggal bicara, nggak perlu reservasi, langsung dibawakan manajer tiga Lobster Astria dengan sopan!" Wajah Yelena tampak beralih kebiruan, menatap marah pada Terence. Dia malu dan ingin pergi dari tempat ini sekarang juga! Terence tahu dirinya salah. Dia sama sekali tidak berani menatap Yelena. Dia hanya pura-pura tenang seraya mengambil jus di meja dan minum jus itu untuk menenangkan diri. Situasi telah berbalik, bahkan berhasil mengembalikan kehormatan Hania. Hania tidak bisa menahan diri untuk tidak melihat ke arah Jamal penuh rasa kagum. Pria ini, meskipun bekerja di proyek, ternyata bisa kenal orang-orang penting dan pergaulannya memang luas. Sepanjang makan malam, manajer melayani mereka secara khusus. Tentu saja, manajer juga bersikap sopan pada Hania dan orang lain yang duduk di meja makan. Orang yang cerdas bisa mengamati, perlakuan ini untuk menarik hati Jamal. Yelena dan orang-orang yang ingin mempermalukan Hania pun langsung terdiam. Hania mendapat ruang untuk menunjukkan kemampuan dia. Tidak hanya membalikkan keadaan, tetapi berhasil menikmati Lobster Astria yang selalu dia mau, dan makan hingga puas. Pertemuan ini berakhir sempurna setelah Hania puas makan dan minum. Sepanjang perjalanan di taksi. Hania masih mengingat semua kejadian tadi. "Pak Jamal, Lobster Astria benar-benar lezat, ya. Nggak heran harganya mahal dan harus dipesan satu bulan sebelumnya." Jamal melihatnya dengan sorot mata dingin. Lezat? Menurut Jamal, rasanya biasa saja. Kemudian, Jamal menunduk dan mengeluarkan ponsel, mengirimkan alamat hotel pada Xena, lalu menulis pesan, "Bayar tagihannya." Meskipun manajer sudah membebaskan tagihan, dia tidak ingin menerima sesuatu tanpa memberi imbalan. Dia tak suka menerima kebaikan orang lain begitu saja. "Pak Jamal, siapa temanmu? Kenapa Manajer Hotel begitu sopan padamu?" "Itu bukan urusanmu." Dia menjawab singkat tanpa melihat ke arah Hania saat berbicara. Meskipun dia bodoh, Hania bisa merasakan perubahan sikap Jamal yang jauh lebih dingin hari ini. Sebelumnya, meskipun mereka tidak terlalu akrab, Jamal masih bicara dengan nada lembut dan tidak sedingin ini. "Pak Jamal, apa kamu masih marah dengan kata-kata yang dikatakan oleh rekanku?" Selain itu, dia tidak bisa memikirkan alasan lain. "Ini juga salahku. Mestinya, aku kasih tahu kamu lebih awal. Mereka bilang hal-hal begitu bukan karenamu, tapi mau mengejekku. Eh, aku malah melibatkanmu." Hania sudah terbiasa dengan sindiran dari rekan-rekan kerjanya, melupakan fakta pria yang sebagian besar memiliki harga diri kuat. Kini, dia sedikit bersalah. Mendengar nada penyesalan di balik suaranya, Jamal pun menoleh seraya memandangi wajahnya. Langit sudah gelap, suasana di taksi ikut redup. Hania agak menundukkan kepalanya hingga rambut hitamnya tergerai indah. Kebetulan, laju taksi bergerak di bawah lampu jalan hingga seberkas cahaya kuning hangat menyinari wajah Hania, membuatnya terlihat bagai lukisan cantik alami. Sorot matanya terhenti, hatinya serasa dibelai lembut oleh sehelai bulu.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.