Bab 7
Wanika tidak makan siang di kantin.
Keluarganya juga lumayan kaya, tetapi tidak begitu kaya seperti Berlina di mana ada pembantu yang khusus mengantarkan makanan setiap siang. Wanika lebih senang makan di rumah makan seberang sekolah.
Dia bisa memesan makanan apa pun yang dia suka, tidak perlu menghiraukan ibu-ibu penjual di kantin.
Usai makan siang, Wanika kembali ke kelas untuk beristirahat. Dia tidak tahu Calvin dan Berlina pergi makan bersama di kantin barusan.
Akan tetapi, sahabatnya, Wenda Limanta, tahu.
Ketika tadi, Wenda duduk di meja belakang Calvin sehingga dengan jelas melihat Berlina mengambil sayap ayam dari piring Calvin dan memakannya.
Seberapa dekat hubungan mereka sampai bisa mengambil makanan dari piring satu sama lain?
Wenda terbengong.
Tidak heran Calvin benar-benar berhenti mengejar Wanika seperti yang dia katakan. Ternyata sudah menemui yang lebih baik?
Selama ini, Wenda merasa kecantikan Wanika tak tertandingi, bahkan tidak kalah dengan artis di dunia hiburan.
Akan tetapi, Wanika tidaklah sebanding dengan Putri Berlina yang telah menjadi primadona SMA 1 Likinang selama tiga periode berturut-turut.
Kesenjangan itu seperti murid genius dan murid unggul.
Murid unggul mendapati nilai 95 dan itu sudah merupakan batas maksimalnya, sedangkan murid genius mendapat nilai 100 karena itu adalah nilai tertinggi.
Wenda sedang dilema apakah perlu memberitahukan hal tersebut kepada Wanika.
Sebelum selesai merenungkannya, Ray datang dan berkata dengan penuh perhatian,
"Ika, jangan marah. Aku sudah bantu kamu berikan pelajaran pada Calvin tadi. Dia benar-benar pecundang. Setelah aku tunjukkan statusku sebagai ketua kelas dan murid teladan di sekolah, dia hampir nangis ...."
Wanika mengernyit. "Ray, kamu benaran beri pelajaran pada Calvin?"
Ray mengangguk, "Ehm, aku nggak pukul dia, hanya beri teguran agar dia menyadari kesalahannya."
Wajah cantik Wanika menjadi dingin. "Ini urusan kami, apa hubungannya denganmu? Kenapa kamu tegur dia?"
Wajah Ray memerah. "Ika ... aku ... aku hanya perhatian denganmu."
Wajah lonjong Wanika makin dingin.
"Ray, aku nggak butuh perhatianmu. Makin kamu begini, makin aku nggak suka!"
Ray terdiam.
Ray tidak bisa berkata-kata. Dia kembali ke kursinya dengan lesu.
Setelah Ray pergi, Wenda berbisik, "Ika, kamu ... sebenarnya lumayan peduli dengan Calvin, ya?"
"Mana ada ...."
Wanika cemberut. Lalu, dia melirik sekilas kursi Calvin yang kosong.
"Dasar kamu ini ...." Wenda mengembuskan napas. "Kalau benaran nggak rela, ajak dia baikan saja."
"Nggak mau!"
Wanika menggelengkan kepala beberapa kali.
Dia dan Calvin bukannya tidak pernah cekcok. Meskipun dialah yang selalu bertindak semena-mena, Calvin akan selalu mengambil inisiatif untuk merayunya.
Jika menyuruhnya mengajak Calvin berbaikan, itu memalukan.
Melihat wajah cantik Wanika yang penuh kesombongan, Wenda memutuskan untuk tidak memberitahukan kejadian di kantin siang tadi.
...
Dalam beberapa hari berikutnya, Calvin pergi makan di kantin bersama Berlina.
Berlina memasang wajah cuek di depan orang lain, tetap menjadi gadis yang dingin dan angkuh itu.
Hanya ketika bersama Calvin, akan timbul banyak ekspresi di wajah Berlina. Adegan itu sungguh mencengangkan bagi pemuda-pemuda yang lain.
Putri Berlina sungguh memukau. Setiap ekspresinya bagaikan pemandangan indah.
Selama beberapa hari, Calvin mendapati banyak permusuhan. Pemuda-pemuda yang lain ingin sekali bersatu untuk memberantas musuh mereka.
Mereka sangat kebingungan.
Calvin Kencana dari kelas 12F itu tidak terlalu tampan. Nilainya juga biasa saja, butuh perjuangan keras untuk bisa mencapai batas nilai masuk ke universitas unggulan. Mengapa Calvin bisa memenangkan hati Putri Berlina?
"Menurut kalian ... jangan-jangan Putri Berlina benaran pacaran dengan yang namanya Calvin itu?"
"Kemungkinan besar iya. Pernah nggak kalian lihat Putri Berlina tersenyum ke seseorang dalam tiga tahun ini? Nggak hanya tersenyum ke Calvin, dia bahkan menyuapinya makan!"
"Cukup ... hatiku hancur!"
Percakapan yang serupa terjadi di seluruh kantin.
Setelah beberapa hari, gosip bahwa Calvin dan Berlina berpacaran perlahan-lahan menyebar ke seluruh sekolah, dan akhirnya terdengar oleh guru-guru.
Wali kelas kelas 12A, Herni Sain, tidak percaya, bahkan merasa itu konyol.
Berlina berpacaran?
Dengan siswa kelas 12F biasa yang bernama Calvin?
Itu sangat sulit dipercaya.
Akan tetapi, gosip makin marak beredar. Hal ini pun memicu perhatian berat dari Herni.
Tidak ada akibat tanpa sebab.
Ujian Nasional akan dimulai dalam sebulanan lagi. Jika semangat belajar Berlina terpengaruhi oleh hal ini sehingga tidak dapat lolos ujian masuk Universitas Kintani dan Universitas Benin, itu akan menjadi kerugian besar bagi universitas dan Berlina.
Setelah direnungkan, Herni mendatangi Lydia. Di awal, dia basa-basi sebentar. Lalu, dia mengungkit hal itu dengan nada bercanda.
Tentu saja Herni tidak akan menegur Berlina. Dia ingin Lydia memberi peringatan pada Calvin.
Lydia adalah guru bahasa Indonesia. Bagaimana mungkin dia tidak memahami apa maksud Herni?
Implikasi Herni adalah ... kontrol siswa kalian yang bernama Calvin itu. Jangan punya niat yang tidak seharusnya dipunyai. Jangan mengincar siswi terunggul di kelas kami di saat sekarang yang begitu signifikan.
Lydia merasa heran.
Buat apa kabar angin seperti ini dipermasalahkan?
Mereka hanya sekadar makan, masih jauh dari tahapan berpacaran.
Akan tetapi, masalah ini berkaitan dengan Berlina Kusnadi, murid yang berpotensi masuk ke Universitas Kintani dan Universitas Benin. Tidak peduli seberapa kesal Lydia, dia menyanggupi Herni bahwa dia akan membicarakan hal itu dengan Calvin.
Jika tidak, dengan sifatnya Herni, Herni pasti akan mendatangi kepala sekolah. Dengan demikian, masalah ini akan lebih sukar untuk ditangani.
Pada sesi belajar mandiri malam di hari Jumat, Lydia menyuruh muridnya untuk memanggil Calvin ke kantor.
Calvin memasuki kantor dan bertanya pada Lydia, "Bu Lydia cari aku?"
Alih-alih menjawab, Lydia sibuk mengoreksi soal ujian dan mengabaikan Calvin.
Setelah selesai koreksi, Lydia membuka tutup botol minuman dan menyeruput teh krisantemum.
Baru setelah itu, Lydia menoleh pada Calvin.
Calvin yang di kehidupan sebelumnya pasti sudah panik karena serangkaian aksi Lydia saat ini.
Bu Lydia cukup hebat. Tidak hanya pandai memelihara kesehatan tubuh, dia juga pandai menaklukkan murid-murid.
Namun, Calvin yang sekarang ... sama sekali tidak gugup. Dia bahkan sedikit ingin tertawa.
Calvin bisa menebak mengapa Lydia memanggilnya ke kantor.
Akan tetapi, dia dan Berlina hanya teman biasa, tidak lebih dari itu.
Calvin bersikap lugas menghadapi keraguan orang lain.
"Calvin, kamu sudah belajar dengan giat dalam beberapa hari ini. Ibu tahu itu ...."
Lydia mengembuskan napas.
"Saat baru masuk SMA, nilaimu adalah peringkat kedua di kelas. Kamu seharusnya bisa masuk ke universitas kelas satu. Sayangnya, kamu nggak fokus belajar dalam tiga tahun ini. Pilihanmu sangat terbatas ...."
Calvin tersenyum saat berkata, "Bu Lydia, aku sudah tobat. Ibu lihat saja, mungkin aku bisa dapat nilai tinggi dalam Ujian Nasional dan membanggakan Ibu."
"Itu bukan yang terpenting. Yang penting kamu jangan menyia-nyiakan hidupmu."
Saat mengungkit masalah utama, nada bicara Lydia menjadi sangat serius.
"Calvin, belakangan ini kenapa Ibu dengar ada gosip tentang kamu dan Berlina, si murid unggul kelas 12A itu?"
Calvin menggaruk bagian belakang kepalanya. "Bu Lydia, aku memang agak dekat dengan Berlina akhir-akhir ini, tapi kami hanya teman biasa."
Lydia mengangguk. "Ibu percaya. Berlina juga nggak buta ...."
Calvin terdiam.
"Tapi masalahnya, wali kelas kelas 12A, Bu Herni, dia nggak percaya. Bu Herni bersikeras suruh aku memberimu peringatan. Ibu juga nggak bisa tolak. Calvin, kamu ini pintar, pasti tahu apa maksud Ibu, 'kan?"
"Paham. Gosip itu berbahaya. Bu Lydia, jangan khawatir. Aku tahu apa yang harus kulakukan."
"Coba kamu katakan. Biar Ibu bisa beri balasan ke Bu Herni."
Calvin mengangkat alis dan menjawab dengan sungguh-sungguh,
"Bu Lydia, aku akan peringatkan Berlina ...."
"Kami masih anak SMA, harusnya fokus belajar dan jangan pikirkan yang lain. Dia nggak boleh terobsesi dengan ketampananku dan lengah dalam menghadapi Ujian Nasional."
Lydia terdiam.
Dia tidak bisa berkata-kata.