Bab 1
"Dor!"
Suara tembakan bergema di tengah hujan badai di pinggir tebing!
Seorang pria jangkung tumbang di depan Teresa Wisra.
"Arvin!" Teriakan serak memecah kesunyian di hutan pegunungan. Teresa berjuang keras untuk menekan luka pria itu, berharap bisa menghentikan pendarahan.
Akan tetapi, usahanya sia-sia. Sepasang mata yang dulunya membuat Teresa takut dan tercekam sudah terpejam. Tubuh pria itu juga berangsur-angsur menjadi dingin.
"Kenapa?"
Mereka sudah bercerai. Mengapa Arvin Hisno tetap datang setelah mendengar dia telah diculik?
Mata Teresa yang merah padam menoleh pada pria yang berteduh di bawah payung hitam di sebelah sana. Dulu, pria itu bahkan menentang seluruh Keluarga Hisno demi melindunginya ... Darlon Hisno.
Mata yang dulunya lembut kini hanya bersisa kecuekan.
Teresa menangis deras dan tubuhnya gemetar. "Ini tujuan sebenarnya kamu mendekatiku dari awal?"
Konspirasi untuk membuatnya membenci Arvin, lalu menghancurkan Arvin dan mengambil alih Keluarga Hisno?
Alih-alih menjawab, Darlon merokok dengan cuek. Lalu, seorang wanita seksi yang memakai kebaya melangkah keluar dari belakangnya.
Itu ... Mela Wisra.
Bukankah Mela mencintai Arvin? Mengapa Mela malah bersama Darlon?
Teresa terbengong. Potongan-potongan kecil di benaknya langsung terhubung. Teresa menggertakkan gigi karena marah. "Kalian?"
Mela menendang tulang belikat Teresa yang terluka. "Sudah kubilang, Keluarga Wisra bukan punyamu. Kenapa kamu nggak mau dengar?"
Teresa pun paham!
Mereka bersekongkol karena masing-masing ingin mengambil alih Keluarga Hisno dan Keluarga Wisra.
Timbul kemarahan dan kebencian di mata Teresa. "Kalian menghalalkan segara cara untuk mencapai tujuan kalian, kalian nggak takut karma?"
"Karma?" Darlon akhirnya menatap Teresa, tetapi matanya penuh rasa jijik. "Tanya saja dengan Dewa Kematian!"
Darlon menodongkan pistol ke arah Teresa!
Mata Teresa membelalak. Kebenciannya ditelan oleh rasa putus asa. Wajahnya putih pucat ketika melihat senyuman jahat di wajah Darlon!
"Jangan ...!"
Mata Teresa membelalak karena Darlon mengarahkan moncong pistol ke arah Arvin.
Di tengah teriakan Teresa, peluru menembus tubuh Arvin yang sudah dingin. Darah yang dingin terciprat ke tanah becek, mengeluarkan campuran bau amis darah dan bau tanah.
Teresa melempar diri ke tubuh Arvin. "Pfft!" Daging ditembus, tubuh Teresa mengarah ke depan secara tak terkendali.
Tangan Teresa tergelincir di tanah becek. Mereka bersama-sama jatuh dari tebing. Saat jatuh, Teresa memeluk erat tubuh Arvin yang sudah dingin.
Teresa memejamkan matanya yang penuh rasa penyesalan. Bibirnya yang hangat mengecup dahi Arvin yang sudah dingin. Wajah Teresa berlinang air mata. "Maafkan aku!"
Dia salah.
Dia salah menilai orang sehingga membuat Arvin mati!
"Arvin, kalau waktu bisa diputar balik, aku pasti mendengarkanmu."
Sambil berkata, Teresa memuntahkan darah. Rasa sesak yang kuat membuatnya jatuh ke dalam kegelapan bersama penyesalannya terhadap Arvin.
...
Byar ....
"Jangan" teriak Teresa. Suaranya gemetar karena takut.
Kilatan petir menerangi kamar. Saat bertemu dengan mata Arvin yang ganas seperti binatang buas, kepala Teresa berdengung.
Tubuhnya membeku ketika Teresa menatap pria yang masih hidup itu.
Saat melihat bilah pisau yang sudah menusuk ke dada Arvin, pikiran Teresa pun menjadi kacau. "Nggak, aku nggak ...!"
Teresa belum sempat melepaskan tangannya.
Arvin langsung memegang bilah pisau yang tajam itu dan merebutnya. "Krang!" Darah dan aura khas pria itu menyelimuti Teresa.
Pria bak iblis itu berbisik di telinga Teresa, "Masih mau kabur?"
"Nggak, Arvin, aku nggak akan kabur lagi." Teresa mengisap hidung sambil menangis dan memeluk leher pria itu yang panas.
Baru saja menerima kenyataan bahwa dirinya terlahir kembali, Teresa langsung tak sadarkan diri.
...
"Hmm!"
Teresa bangun lagi di pagi keesokannya!
Begitu bergerak, tubuhnya sangat pegal.
Teresa membuka mata dengan linglung dan melihat sebuah luka yang mengerikan. "Ah ...." Teresa mundur dengan ngeri.
Akan tetapi, Teresa dipeluk lagi oleh sebuah tangan yang kuat.
Tubuh Teresa gemetar tanpa henti karena tatapan mata Arvin yang suram. Reaksi refleks tersebut langsung membuat Arvin marah.
"Masih bisa kabur?"
"Nggak, aku nggak kabur." Teresa tanpa sadar menggelengkan kepala ketika mendengar nada bicara pria itu yang berbahaya.
Sayangnya, sanggahan Teresa tidak berhasil membangkitkan akal sehat Arvin.
Arvin menindih Teresa. Lukanya yang sudah mengering robek lagi. Darah dengan warna merah menyala mengalir ke otot perutnya yang kekar.
Teresa langsung tersadarkan. "Hhm, jangan!"
Lukanya berdarah lagi. Apakah Arvin mau mati?
Teresa berusaha melawan, ingin menghentikan hukuman kekerasan tersebut.
Akan tetapi, tangisan Teresa dianggap sebagai penghindaran dan penolakan oleh Arvin. Akal sehatnya hilang seketika.
"Kamu begitu jijik dengan sentuhanku?" ujar Arvin dengan suara yang rendah dan aura berbahaya.
Melihat luka yang terus berdarah itu, keputusasaan di tebing sekali lagi menyelimuti Teresa. Dia menekan luka itu dengan panik.
Namun, darah tetap mengalir keluar dari celah jarinya. Teresa berkata dengan putus asa, "Arvin, kamu berdarah."
Suara yang lemah dan panik itu membangkitkan sedikit akal sehat Arvin.
Arvin melirik tangan yang sedang menekan lukanya, lalu melihat keputusasaan di dalam mata Teresa yang berlinang air mata. Napas Arvin langsung menjadi berat.
Teresa memegang lengan Arvin yang kekar dan memohon, "Kita hentikan pendarahannya dulu, oke?"
Nadanya penuh rasa takut.
Mata Arvin yang menatap Teresa menjadi lebih gelap. Dia mendengus, lalu bertanya, "Kenapa? Sekarang ganti taktik memelas agar bisa cari kesempatan untuk kabur?"
Teresa menegang. "Aku nggak akan kabur. Lepaskan aku dulu!"
Bagaimana mungkin dia akan kabur?
Di kehidupan sebelumnya, setelah bercerai dengan Arvin, orang-orang jahat menampilkan diri dan merebut segala sesuatu milik Teresa, bahkan mendesaknya ke tebing.
Bagaimana mungkin Teresa yang telah melihat segalanya dengan jelas akan kabur dari pria yang mati demi dirinya ini?
Dia hanya mengkhawatirkan Arvin!
Di kehidupan sebelumnya, Arvin mengalami luka berat karena Teresa. Kemarahan yang bertubi-tubi juga memperparah lukanya sehingga Arvin harus beristirahat selama sebulan.
"Aku ambilkan kotak P3K." Teresa dengan pelan mendorong tubuh Arvin, takut gerakannya akan membuat Arvin marah lagi.
Namun, Arvin tidak bergerak sama sekali. Matanya yang gelap penuh akan keraguan dan kewaspadaan terhadap Teresa. Teresa langsung meneteskan air mata.
Entah berapa lama kemudian, Arvin akhirnya mundur.
Barulah Teresa melihat betapa dalam luka Arvin. Tak disangka Arvin tetap mengalami luka berat, padahal dia sudah buru-buru menghentikan aksinya kemarin malam.
Arvin mengira Teresa akan segera kabur seperti sebelumnya. Alhasil, Teresa benar-benar pergi mengambil kotak P3K di lemari.
"Ah!" Begitu Teresa duduk, pergelangan tangannya ditarik sehingga dia jatuh ke dalam pelukan Arvin. Lalu, terdengar rintihan sakit.
Teresa bergegas duduk tegak. "Kamu jangan asal gerak, oke?"
Luka yang terus berdarah itu tampak makin mengerikan.
Teresa segera mengoleskan cairan desinfektan pada luka Arvin. Tubuh Arvin membeku ketika jari yang hangat itu menyentuh lukanya.
Sebelum Teresa sempat bereaksi, Arvin mengangkat dagu Teresa dan menciumnya secara agresif. Hal itu mengingatkan Teresa bahwa apa yang terjadi saat itu bukanlah mimpi.
Dia dan Arvin benar-benar sudah hidup lagi!
"Sasa, kurungkan niatmu itu. Kamu nggak akan bisa kabur!" seru Arvin dengan suara yang rendah dan serak. Aura berbahaya sudah berkurang banyak.
Hanya saja, rasa posesif Arvin terhadap Teresa makin kuat!