Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 12

Suara Teresa yang manja mengingatkan Arvin pada masa kecil. Saat Teresa berumur tiga tahun, ibu sering mengikat rambutnya dengan dua ikal. Wajah Teresa yang bulat tampak makin tembam. Pada saat itu, Teresa selalu mengikuti Arvin dengan manja. Arvin menghibur Teresa yang bersedih hati dengan suara rendah, "Dia sudah dipecat." Teresa tetap jengkel. "Hanya dia yang akan menggodamu?" Arvin tidak bisa berkata-kata! Dari aksi Teresa yang menampar Mela, dapat dilihat betapa perhitungan Teresa saat ini. Jika hal ini tidak ditangani dengan baik, kemarahan istrinya ini tidak akan memudar. "Dia adik sepupu Yugo Limanta, jadi lebih berani!" Yugo Limanta? Teresa pernah mendengar nama itu. Dia ingat bahwa adik sepupu Yugo menyukai Arvin. Tak disangka, baru pertama kali datang ke perusahaan pun langsung bertemu. Teresa mendengus. "Nggak boleh ungkit lagi soal surat perceraian ini." "Sayang, harusnya aku yang bilang ini." Teresa sudah berjanji akan tinggal di sisinya, maka Teresa tidak boleh mengungkit soal surat perceraian lagi. Jika tidak, dia tidak akan mengampuni Teresa. Teresa dengan girang mengecup pipi Arvin. "Kamu rapat dulu, aku tunggu di sini." "Oke." Arvin melirik arlojinya. Tidak bisa bersenang-senang terus dengan Teresa. Jika tidak, Teresa akan kelaparan bersamanya siang ini. Suasana di ruang rapat sangat santai. Para petinggi perusahaan bersyukur pada Nyonya Teresa yang menjadi penyelamat mereka. Sudah lama mereka tidak merasakan suasana santai seperti itu! Namun, hanya sebentar saja, suasana sudah menjadi dingin. "Pak Agus." "Ya, Pak Arvin." "Untuk kerja sama dengan Grup Wisra, kamu yang pegang selama ini?" Manajer yang bernama Agus merasa nada bicara Arvin menjadi dingin ketika menyebut Grup Wisra. Kesantaian barusan menghilang seketika. "Ya, aku yang pegang selama ini." Agus menjawab sambil memperhatikan ekspresi Arvin dengan waswas. Hatinya menegang ketika ekspresi Arvin menjadi lebih masam. Ini, ada apa lagi? Presdir Grup Wisra adalah ayah mertua Arvin. Perusahaan mereka sudah memberikan profit yang cukup banyak pada mereka. Mungkinkah Diko belum puas? Arvin melirik Agus yang gelisah, lalu melanjutkan dengan suara dingin, "Irvan nggak kabari kamu? Kita nggak kerja sama lagi dengan Grup Wisra sekarang." "Kenapa dokumen persetujuan terkait perusahaan mereka masih ada di sini?" Agus termangu, lalu menoleh pada Irvan. Irvan terdiam. Arvin baru membatalkan kerja sama tadi malam sehingga dia belum sempat membuat pengaturan. "Irvan." Agus terdiam. Lalu, Arvin melemparkan tatapan tegas pada Irvan. "Apa aku perlu mulai meragukan kinerjamu?" Arvin langsung melempar dokumen persetujuan terkait Grup Wisra yang dia pegang ke meja. Semua orang di ruang rapat menahan napas. Temperamen bos sangat labil dan tiba-tiba berubah! Bahkan ingin menghentikan kerja sama dengan ayah mertuanya? Irvan maju dengan hormat. "Maaf, belum sempat dikabari." Begitu sampai di perusahaan, Irvan sibuk membuat persiapan rapat. Dia tidak menyangka akan secepat itu ada dokumen kerja sama dengan Grup Wisra yang perlu ditangatangani. Arvin menyalakan sebatang rokok. Tatapan matanya menjadi lebih dingin karena teringat akan apa yang terjadi di rumah Keluarga Wisra kemarin. Dia mengisap rokok dengan kencang. "Hari ini, hentikan semua kerja sama dengan Keluarga Wisra. Kabari pihak bank, Grup Hisno berhenti menjamin mereka." "Baik." Punggung Irvan dibasahi keringat dingin. Dia bergegas pergi melaksanakan perintah. Dalam rapat itu, Arvin menangani semua topik diskusi yang mendesak, juga membahas solusi seputar proyek kerja sama dengan Grup Wisra. Arvin telah memberikan banyak proyek kepada Diko demi Teresa. Jika semua itu dibatalkan saat ini, dia harus segera mengaktifkan strategi cadangan. Teresa tertidur di sofa kantor. Di tengah tidur, dia samar-samar mendengar nada dering telepon. Dia menjawab telepon, "Siapa?" "Cepat pulang sekarang," seru Diko sambil menahan amarah di telepon. Teresa langsung sadar dan membuka mata. Diko hanya akan meneleponnya demi urusan proyek. Jika demikian, Diko seharusnya bersikap ramah. Sekarang Teresa bahkan bisa merasakan amarah Diko yang berusaha ditahan melalui telepon. Ada apa ini? "Ada apa?" Teresa duduk tegak. Nadanya seperti sedang berbicara dengan orang asing. Di sebelah sana, Diko terbengong! Dulu, Teresa tidak pernah bersikap seperti itu padanya. Teresa selalu waswas dan takut akan membuat mereka marah. Di rumah Keluarga Wisra kemarin, Diko sudah melihat perubahan Teresa. Akan tetapi, Diko belum paham saat ini. "Kamu masih berani tanya ada apa? Cepat pulang. Ada masalah besar di perusahaan!" Perusahaan? Mungkinkah karena Arvin? Teringat akan reaksi Arvin ketika dia mengkambinghitamkan Mela, Arvin pasti tidak akan mengampuni Mela. Tak disangka Arvin sudah mengambil tindakan dengan cepat. "Kamu dengar nggak?" Diko lebih marah lagi karena Teresa tidak merespons. Teresa bertanya, "Ada masalah di perusahaan? Memangnya bisa diatasi kalau aku pulang? Lebih baik kamu tanya anak pelakormu itu, mungkin dia punya solusi." Bukankah selama ini mereka menganggap Mela adalah pembawa keberuntungan? Lalu, mengapa mereka masih mencarinya? Di sebelah sana, Diko sangat emosi. Teresa tidak ingin basa-basi lagi sehingga langsung menutup telepon. Pintu dibuka dari luar. Teresa menoleh ke sana dan bertemu dengan mata Arvin yang lembut. Jika bukan karena telepon Diko barusan, Teresa tidak akan tahu apa yang sudah terjadi di ruang rapat. "Kamu lihat apa?" Teresa melamun pada Arvin. Teresa yang terbangun dari lamunannya beranjak dari sofa dan memeluk leher Arvin. "Kamu mau menjatuhkan Grup Wisra?" Dari kemarahan Diko barusan, Teresa tahu bagaimana situasi Grup Wisra sekarang. Arvin menatap Teresa sambil merangkul pinggang rampingnya sehingga Teresa tidak jatuh. "Kenapa? Kamu khawatirkan mereka?" "Mana mungkin? Suamiku hebat!" Arvin tersenyum. Dasar gadis cerdik. Akan tetapi, reaksi Teresa terhadap Grup Wisra berada di luar dugaannya! Baru pada saat ini, Arvin mulai memercayai perubahan Teresa padanya. Sekarang Teresa bahkan sudah tidak peduli dengan Grup Wisra. Jika bersandiwara, Teresa tidak akan berbuat sedemikian rupa. "Ayo kita pergi." Arvin menurunkan Teresa, lalu mengambil tas Teresa. Teresa mengikuti Arvin dengan patuh, membiarkan pria itu menggenggam tangannya. Saat meninggalkan perusahaan, tatapan semua orang pada Teresa berubah. Teringat akan nasib Lili, staf wanita yang lain tidak berani menatap Arvin dengan tatapan kagum lagi. Mereka takut akan membuat nyonya CEO marah dan dipecat. Di Kota Titus, tidak ada perusahaan lain yang bisa menyaingi gaji Grup Hisno. Teresa sangat puas terhadap semua perubahan itu. Arvin menoleh ke belakang dan melihat Teresa tersenyum berseri-seri. "Senyum apa?" Teresa menggandeng lengan Arvin dan menempel padanya. "Aku senang." Arvin tersenyum. Orang-orang di perusahaan lebih kaget lagi. Ternyata, bos mereka memiliki sisi yang begitu lembut. Bukankah dikatakan suami istri itu tidak akur? Ini namanya tidak akur? ... Sekembalinya ke Carmena. Mela menunggu di depan pintu dengan mata yang merah. Pelayan yang memegang sapu menatapnya dengan waspada, takut Mela akan menerobos masuk. Pelayan yang sekarang tidak lagi hormat padanya seperti pelayan-pelayan yang dulu. Melihat Arvin keluar dari mobil, Mela seperti melihat sang penyelamat. "Arvin, kalian akhirnya pulang." Nadanya sangat sedih. Mela benar-benar sedih. Dulu, dia bebas keluar masuk Carmena dan dihormati oleh semua pelayan. Mengapa jadi seperti sekarang? Arvin mengernyit. Mata Mela dikaburkan oleh air mata sehingga tidak melihat aura berbahaya di mata Arvin. Mela meraih pergelangan tangan Arvin dan berkata dengan suara parau, "Arvin, nggak peduli ada salah paham apa, kamu nggak boleh begini dengan Grup Wisra." Gerakan Mela membuat Teresa marah sehingga napasnya menjadi berat. Dulu, Mela masih menjaga jarak dengan Arvin untuk menjaga citra yang baik sebagai seorang kakak. Sekarang setelah berkonflik secara terbuka, Mela langsung menggoda Arvin di depannya? Teresa yang marah ingin maju. Akan tetapi, sebelum Teresa sempat beraksi, Arvin sudah mengentakkan tangan Mela dengan jijik. Mela terhuyung dan langsung jatuh. Mela menolehkan kepala dengan sedih, tetapi justru bertemu dengan mata Arvin yang penuh kejijikan. Mela terbengong. Pada saat ini, dia dengan jelas merasakan perbedaannya dengan Teresa, serta jarak di antara dirinya dan Arvin.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.