Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 3

Ada kilatan ketidakwajaran di mata Sean. "Nana, apartemen Valerie sedang direnovasi. Baunya terlalu menyengat, bisa berdampak buruk bagi kesehatannya, jadi ... " Jantung Naomi terasa seperti dipelintir dengan keras. Dia pikir dia sudah tidak akan peduli lagi. Namun, rasa sakit yang menyesakkan tetap menyebar ke seluruh tubuhnya. "Apa dia nggak punya uang untuk menginap di hotel?" Valerie menunduk dengan mata memerah, sambil membereskan biolanya. "Kalian jangan bertengkar gara-gara aku. Aku akan pergi sekarang juga." Valerie tampak terburu-buru mengambil kopernya dengan panik, tetapi tanpa sengaja menabrak ujung meja. Dia meringis, menahan rasa sakit di dadanya sambil terengah-engah dengan suara yang lembut dan menggoda. "Kamu nggak apa-apa? Kok ceroboh banget? Ketabrak di bagian mana? Kamu bawa obat nggak?" Sean segera menggendongnya dengan cemas dan hendak membawanya naik ke atas. Hanya ada dua kamar di lantai atas, satu milik Naomi dan satu lagi milik Sean. "Ini rumahku, aku nggak setuju!" Naomi mengulurkan tangan dan berdiri menghalangi mereka. Suasana langsung menjadi tegang. Wajah Sean seketika menjadi kelam. "Naomi, Valerie sedang sakit sekarang. Kalau mau marah, pilih waktu lain! Lagian aku yang beli vila ini! Ingat itu baik-baik!" Di mata Valerie, terlihat sekilas rasa puas. Dia melingkarkan tangannya di leher Sean dengan lemah-lembut. Saat berbicara, bibirnya hampir menyentuh dagu Sean. "Sean, turunkan aku. Dengan latar belakangku seperti ini, mana pantas aku tinggal di sini?" Sikapnya yang pura-pura rendah diri hanya makin membangkitkan ego pria itu. Tanpa ragu, Sean mendorong Naomi ke samping. "Aku bilang pantas, ya pantas!" Kaki Naomi membentur pegangan tangga. Rasa sakit menjalar hingga wajahnya memucat. Sementara itu, pria itu masih sibuk menenangkan Valerie tanpa meliriknya sedikit pun. Setelah selesai mengurus Valerie, Sean turun ke bawah. Namun, dia tidak melihat Naomi di mana pun. Bahkan saat meneleponnya pun tidak ada jawaban. Namun, dia tidak terlalu memikirkannya. Di Kota Lunar, selain vila ini, satu-satunya tempat yang bisa Naomi tuju hanyalah rumah tantenya di pinggiran kota. Kalau sudah puas melampiaskan amarahnya, dia pasti akan kembali. Saat hendak berbalik naik ke atas, dia tiba-tiba melihat sebuah kantong jimat berwarna kuning tergeletak di sudut ruangan. Tiba-tiba, dia teringat pembicaraan dengan Naomi sebelum ulang tahunnya, tentang memilih tanggal pernikahan. Dia membungkuk, mengambil kantong jimat itu, lalu mengeluarkan kertas merah di dalamnya. Begitu melihat tanggal yang tertera di sana, dia langsung menelepon asistennya untuk mengosongkan jadwal paginya. Baru saja menutup telepon, serangkaian notifikasi transaksi dari kartu tambahan muncul. Perhiasan, pakaian, tas ... Dia membuka WhatsApp dan mengirim pesan. "Batas kreditnya 20 miliar. Kembalilah kalau sudah habis. Kamu nggak diperbolehkan keluar malam." Nada pesannya penuh dengan kemanjaan, tetapi juga sedikit tidak berdaya. Sementara itu, saat Naomi baru saja selesai berbelanja, notifikasi pesan itu muncul. Tiba-tiba, hatinya terasa sangat hampa. Sean telah merawatnya sejak dia berusia sepuluh tahun. Setiap kali dia berkata tidak boleh, Naomi pasti akan menurut. Namun, sekarang, pria yang dulu merawatnya dan berjanji akan selalu bersamanya sedang memeluk wanita lain di kamar yang seharusnya menjadi tempat bulan madu mereka. Tidak boleh? Kali ini, dia tidak mau menurut. Naomi membawa barang belanjaannya ke hotel bintang tujuh yang paling mewah di Kota Lunar, lalu memesan suite presidensial di lantai teratas. Dia memesan anggur dan steik paling mahal. Setelah mandi air hangat dengan nyaman, dia berdiri di depan jendela kaca besar, menatap pemandangan malam Kota Lunar sambil meminum anggur. Dulu, dia mengira tidak akan pernah meninggalkan kota ini. Sayangnya, kenyataan berkata lain. Setelah dua gelas anggur, dia mengambil ponselnya dan mengirim pesan. "Besok jam sepuluh, Kafe Terra, bawa uangnya dan aku akan tanda tangani." Balasannya datang dengan cepat. "Sepakat!" Grup Quincy didirikan olehnya dan Sean. Saat grup itu berdiri, Sean memberinya 10% dari saham awal. Sama seperti vila itu, salah satu bentuk pegangan yang diberikan Sean padanya. Dengan begitu, mereka berdua tidak akan pernah terpisah. Dulu, dia pernah merasa sangat gembira sekaligus terharu melihat pengorbanan pria itu. Demi membantu meringankan beban Sean, dia menghubungkan akun pembagian dividen saham awalnya langsung ke departemen keuangan. Selama bertahun-tahun ini, dia tidak pernah mengambil uang sepeser pun, semua dia gunakan kembali untuk mendukung perkembangan grup. Namun, karena sekarang dia ingin berpisah, lebih baik berpisah sekalian tanpa ada yang tersisa. Sebelum tidur, Sean kembali mengirim pesan di WhatsApp. "Aku sudah memperpanjang sewa kamarmu di hotel sampai hari Senin. Nana, jangan marah lagi, ya. Hari Senin aku jemput kamu ke Kantor Catatan Sipil." Naomi membuka lemari dan baru menyadari kantong jimatnya hilang. Dia menatap pesan WhatsApp itu cukup lama. Sean menggendong Valerie ke rumah mereka, membantunya memperpanjang sewa kamar hotelnya, dan dengan tenang mengajaknya mengambil akta nikah. Sungguh ironis! Kenapa Sean bisa berpikir kalau dia masih akan menurut dan menikah dengannya? Pukul 11:30 malam. Naomi terbangun karena rasa sakit. Perutnya terasa seperti terbakar. Dulu, saat Sean baru merintis bisnis, dia pernah memaksakan diri menghadiri empat jamuan dalam satu hari demi mendapatkan satu proyek dan satu investor. Satu-satunya keinginannya saat itu hanyalah agar Sean bisa membuktikan dirinya di hadapan keluarga Lennox. Kemudian, Naomi mengalami tukak lambung dan harus dirawat selama setengah tahun. Sejak saat itu, Sean melarangnya terlibat dalam urusan perusahaan lagi. Dia hanya menginginkan Naomi tetap di rumah, menjalani hidup dengan tenang, bersiap menjadi istrinya di masa depan. Kepala Naomi terasa berputar karena sakit yang hebat. Dia berusaha menggapai laci meja di samping ranjang dan meraba-raba mencari obat. Namun, tidak menemukan apa pun. Saat itulah dia baru sadar kalau ini hotel, bukan rumahnya dengan Sean. Tidak ada obat maag yang selalu dia simpan. Rasa sakit yang datang bergelombang, membuatnya meringkuk seperti udang di atas ranjang. Keringat dingin membasahi dahinya yang putih pucat. Awalnya dia pikir rasa sakit itu akan mereda kalau ditahan sebentar. Namun, sepuluh menit berlalu, tetapi tidak ada tanda-tanda membaik. Dia tidak berani menunggu lebih lama lagi. Dengan tangan gemetar, dia meraih ponselnya, berniat menekan nomor darurat 119. Namun, pada saat itu, Sean menelepon. Saat seseorang sedang rapuh dan tidak berdaya, mereka paling mudah menyerah. Melihat nomor yang sangat akrab itu, hidung Naomi terasa perih karena menahan tangis. Topeng pura-pura kuat yang dia pakai selama beberapa hari ini, seketika hancur berkeping-keping. Dia mengangkat panggilan itu dan menempelkan ponsel ke telinganya. Namun, sebelum dia sempat berbicara, suara pria itu sudah terdengar dari seberang, penuh dengan amarah yang terpendam. "Naomi, apa kamu sangat membenci Valerie? Dia itu sahabatmu." Setiap kata yang diucapkan Sean terasa seperti palu besar yang menghantam kepala Naomi. Naomi menekan perutnya yang sakit, giginya gemetar saat berbicara. "Apa yang terjadi padanya?" Suaranya lemah dan hampir tidak terdengar. Seandainya Sean sedikit saja lebih perhatian, Sean pasti akan sadar ada yang tidak beres dengannya. Namun, Sean tidak menyadarinya sama sekali. Sebaliknya, amarahnya makin meledak karena pertanyaan ringan itu. "Kamu masih berani bertanya? Naomi, sejak kapan kamu jadi seperti ini?" "Kamu tahu betul kalau Valerie punya asma, tapi kamu malah menyemprotkan disinfektan di seluruh rumah. Kamu bahkan menaruh aroma terapi di kamar mandi! Kamu sadar nggak kalau dia hampir mati karena nggak bisa bernapas?" Bibir Naomi yang pucat sekarang berdarah karena terlalu keras digigitnya. Dia tertawa pahit dan kepedihan tanpa mengeluarkan suara. Dia menyemprotkan disinfektan untuk menghapus jejak keberadaannya di rumah itu. Dia menaruh aroma terapi karena Sean sering susah tidur dan aroma itu adalah formula khusus yang dia cari dengan susah payah. "Sean, aku nggak punya kemampuan untuk meramal masa depan. Aku nggak tahu kamu akan membiarkan Valerie tinggal di sana." Terdengar keheningan dari ujung telepon. Namun, napas pria itu terdengar sangat cepat. Seolah ada amarah yang tertahan di dalam dadanya. Tiba-tiba, rasa sakit hebat menyerang Naomi lagi. Dia tidak kuat lagi menahannya dan mengerang pelan. Ponselnya pun terjatuh dari genggamannya. "Kamu kenapa?" "Sean, perutku sakit, bisa nggak kamu ... " Namun, sebelum dia sempat menyelesaikan kalimatnya, Sean sudah menyela dengan nada lelah dan penuh kejengkelan.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.