Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 13

"Astaga! Bu Zirca, apa yang kamu lakukan? Cepat bangun!" Nenek Safira berkata sambil berusaha membantu Zirca berdiri. Namun, Zirca tetap kukuh dalam posisinya. Kemudian, dia berkata kepada Nenek Safira, "Bu Safira, saya nggak menyangka kalau putri saya akan menikah dengan Pak Zane. Dengan sifat putri saya yang serampangan, dia jelas nggak cocok dengan Pak Zane. Lebih baik kita batalkan saja perjanjian yang sudah kita buat." "Cih! Ibunya saja meremehkan anaknya di depan orang lain. Sungguh memalukan!" Linda mengejek Siena dengan puas. Namun, Nenek Safira segera menegurnya. Kemudian, Nenek Safira menatap Siena dan meminta pendapatnya. Siena mencengkeram ujung bajunya dengan erat, lalu berkata dengan nada serius, "Nenek, aku rasa lebih baik kita batalkan saja perjanjian itu. Aku memang nggak pantas untuk Zane." Saat mendengar jawaban tersebut, Zane langsung duduk dengan tegak dan menyesap tehnya. Dengan nada meremehkan, dia pun berkata, "Permainan apa lagi yang ingin kalian mainkan?" "Pak Zane, kami tidak sedang bermain-main dengan Anda. Hanya Nona Tina yang cocok untuk Anda. Siena hanya orang biasa dan dia harusnya menikah dengan pria yang sederajat dengannya," lanjut Zirca. Nenek Safira mengerutkan kening dengan kesal saat mendengar kata-kata Zirca. "Menurutku Siena jauh lebih baik dari Nona Tina. Bu Zirca, apa kamu takut keluarga Lucian akan menindas Siena? Tenang saja, keluarga Lucian tahu mana yang benar dan mana yang salah. Kesalahan ayah Siena nggak akan dibebankan padanya." Saat mendengar kata-kata Nenek Safira, hati Siena terasa sakit sekali. Matanya berkaca-kaca dan dia hampir menangis. Dia baru mengenal Nenek Safira selama beberapa hari, tetapi Nenek Safira sudah sangat menyayanginya. Sikapnya benar-benar berbanding terbalik dengan ibu kandungnya sendiri. Pada saat itu, hatinya terasa sangat hampa. Ketika melihat Nenek Safira menolak untuk membatalkan perjanjian itu, Zirca langsung berkata dengan tegas, "Bu Safira, Siena nggak pantas menikah dengan Pak Zane. Kehidupan pribadinya sangat kacau dan dia suka tidur dengan banyak pria ... " "Bu!" Siena memotong ucapan Ibunya dan tidak percaya dengan apa yang dia dengar. "Apa maksud Ibu?" Namun, kata-kata itu sudah terlanjur terucap. Linda dan Hannah terkejut, lalu tertawa terbahak-bahak. Kemudian, Linda berkata kepada Nenek Safira, "Bu, apa wanita seperti ini yang ingin Ibu nikahkan dengan Zane? Ckckck. Sungguh ironis! Kehidupan pribadinya sangat kacau! Kalau nanti dia hamil, keluarga Lucian harus mempertimbangkan dengan hati-hati apakah anak itu anaknya Zane atau bukan." Tanpa sadar, Siena pun memegang perutnya dan wajahnya langsung pucat pasi. Nenek Safira pun juga tampak kecewa Di sisi lain, Zane menundukkan kepalanya dan tersenyum sinis. Tiba-tiba, dia berdiri dan berjalan ke arah mereka. Saat ini, Siena sedang berjongkok sambil menarik ibunya. Zane berjalan di hadapannya dan tatapannya yang dingin melirik hidung dan mata Siena yang merah. Sambil tersenyum menyeringai, dia pun berkata, "Nggak peduli seberapa rendah dan hinanya dirimu, jangan lupa kamu adalah Nyonya Muda keluarga Lucian! Kalau kamu berani main mata dengan pria lain dalam waktu tiga tahun ini, hidupmu akan lebih menderita dari kematian!" "Meskipun aku tahu kamu nggak punya malu, tapi aku tetap punya harga diri." Setelah mengatakan hal tersebut, dia mengeluarkan sebuah kartu berwarna emas dan melemparkannya ke arah Siena. "Kamu datang ke sini dan membuat keributan hanya untuk mendapatkan uang, 'kan? Selama tiga tahun ke depan, kamu bisa mendapatkan apa pun yang kamu mau. Di dalam kartu itu ada uang sepuluh miliar. Ambil kartunya dan pergi dari sini! Aku nggak mau melihat kalian di kediaman keluarga Lucian lagi!" Pria itu memancarkan aura keanggunan dan kewibawaan. Sementara itu, Siena merasa seperti sampah yang diinjak-injak. Sangat hina dan menyedihkan. Dengan tangan yang gemetar, dia mengambil kartu emas itu dan ingin mengembalikannya kepada pria sombong ini. Namun, kartu itu langsung dirampas oleh Zirca yang segera berkata, "Uang sepuluh miliar itu nggak ada artinya untuk kami! Apa kamu pikir kamu bisa menyingkirkan kami berdua dengan uang sepuluh miliar ini? Selama perjanjian belum dibatalkan, aku akan terus datang ke sini untuk membuat keributan!" Nenek Safira sangat marah sehingga kepalanya terasa sangat pusing. Dengan nada tinggi, beliau pun memberi perintah kepada kepala pelayannya. "Usir wanita gila itu dari sini!" Seketika itu juga, Zirca langsung digiring keluar oleh para pelayan. Siena menggigit bibirnya menahan tangis dan berjalan tertatih-tatih mengikutinya. Namun tiba-tiba Nenek Safira memanggilnya, "Siena, Nenek nggak akan membatalkan perjanjian itu. Nenek percaya padamu. Jadi, tolong bertahan selama tiga tahun lagi, ya?" Nenek Safira menatapnya dengan penuh kasih sayang dan menunjukkan kepercayaan yang besar padanya. Air mata yang selama ini ditahan Siena pun akhirnya tumpah. Dia mengabaikan keberadaan Zane, lalu mengangguk sambil terisak, "Baik, Nek." Setelah itu, dia menutup mulutnya dan menahan rasa sakit di lutut serta perutnya sambil berjalan keluar dengan tertatih-tatih. Zane menatap punggung Siena yang makin menjauh dengan tatapan tajam. Setelah beberapa saat, dia mengalihkan pandangannya dengan kesal. Bagi Zane, Siena hanyalah wanita hina yang bahkan melihatnya sekilas pun akan membuatnya marah. Di sisi lain, Siena berusaha mengejar Zirca dan merebut kembali kartu emas itu. Zirca tampak cemas dan berkata dengan penuh amarah, "Perjanjian itu nggak bisa dibatalkan, kenapa kamu nggak mengizinkanku untuk mengambil uang ini?" "Ibu!" seru Siena dengan penuh kesedihan. "Apa Ibu nggak bisa menjaga harga diriku di depan keluarga Lucian?" "Huh! Harga diri?" ujar Zirca dengan nada mencemooh. "Dibandingkan dengan kebahagiaan Nona Tina, harga dirimu itu nggak ada artinya!" Siena mengerucutkan bibirnya sambil menatap Ibunya dengan mata berkaca-kaca. Ayah Siena pernah mengatakan padanya bahwa Ibunya hampir meninggal saat melahirkannya. Jadi, beliau berpesan kepadanya untuk selalu berbakti pada Ibunya. Jika bukan karena ucapan tersebut, Siena benar-benar ragu apakah dirinya benar-benar anak kandung Ibunya. Malam itu, Siena pergi ke rumah Dian tanpa ada niat untuk kembali ke kediaman keluarga Lucian. Namun, Nenek Safira menyuruh seseorang untuk menjemputnya. Ketika dia kembali, Zane tidak ada di rumah. Siena pun membersihkan kartu emas milik pria itu dan berencana untuk mengembalikannya. Setelah perdebatan sengit, Ibunya akhirnya menyerah dan mengembalikan kartu itu padanya. Meskipun Siena tidak menyukai Zane, dia tetap ingin menjaga sedikit harga dirinya di hadapan pria itu. Saat ini, dia berdiri di ambang pintu ruang kerja Zane. Setelah ragu-ragu beberapa saat, akhirnya dia masuk ke dalam. Dia tahu bahwa Zane tidak mengizinkannya untuk masuk ke ruang kerjanya, apalagi menyentuh barang-barangnya. Namun, dia hanya ingin meletakkan kartu itu. Siena pun meletakkan kartu itu di atas meja agar terlihat jelas. Namun, saat hendak keluar, dia bertabrakan dengan seorang pria. Pria itu berdiri di ambang pintu dengan pakaian rapi dan tatapan tajam yang mengintimidasi. Siena terkejut dan langsung mundur selangkah. Zane menyipitkan matanya dan bertanya dengan nada dingin, "Apa yang kamu lakukan di ruang kerjaku?" Siena bungkam dan langsung berjalan menuju kamar dengan kepala tertunduk. Zane pun hanya bisa mengerutkan kening dengan heran. Beraninya wanita itu mengabaikannya! Saat duduk di meja kerjanya, dia langsung melihat kartu emas itu. Dia mengamati kartu itu dengan saksama sementara jari-jarinya mengetuk-ngetuk permukaannya dan pikirannya pun berkecamuk. Saat malam, Siena tidak bisa tidur nyenyak karena kedinginan. Dia sudah membungkus tubuhnya dengan selimut tipis yang dia miliki, tetapi badannya tetap menggigil. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka dan sosok tinggi menjulang berjalan masuk. Orang itu tidak lain adalah Zane. Hati Siena langsung kacau. Rasa kesal dan gugup pun bercampur aduk menjadi satu. Karena Zane membencinya, dia pikir pria itu tidak akan pernah memasuki ruangan ini lagi selama dirinya berada di sana. Namun, ternyata Zane tetap masuk ke sana. Kehadiran pria itu pun membuat Siena merasa tidak tenang. Zane berhenti di sampingnya, lalu mengawasinya dengan saksama. Seketika itu juga, seluruh tubuh Siena langsung menegang. Meskipun dalam kegelapan, dia bisa merasakan aura kuat yang terpancar dari tubuh Zane. Setelah beberapa saat, Zane pergi ke kamar mandi. Dia tidak pernah menyalakan lampu kamar itu. Setelah mendengar suara gemercik air selama beberapa saat, pria itu keluar dari kamar mandi dan langsung pergi tidur. Siena merasa kedinginan dan gugup, jadi dia tidak bisa tidur. Saat mendengarkan hembusan napas pria itu yang makin tenang, pikiran Siena melayang pada selimutnya yang terasa begitu nyaman dan hangat. Perasaan iri dan kesepian pun menyergap hatinya. Dia masih harus menjalani kehidupan yang berat ini selama tiga tahun ke depan. Lebih dari seribu hari dan malam yang harus dilaluinya. Bayangan akan waktu yang panjang itu saja sudah membuatnya ingin mengakhiri hidupnya. Tangannya secara tidak sengaja terangkat dan menyentuh perutnya yang masih datar. Secercah harapan mulai tumbuh di dalam hati Siena. Siena berpikir bahwa mungkin kehadiran seorang anak dapat menjadi jalan keluar dari pernikahannya yang penuh tekanan ini. Tidak! Begitu pikiran ini muncul, dia langsung menolaknya. Zane sangat kejam. Jika pria itu tahu tentang keberadaan anak ini, dia pasti akan membunuhnya. Siena menggigit bibir bawahnya dengan bimbang. Dia masih ragu-ragu apakah akan mempertahankan anak ini atau tidak. Keesokan harinya, Siena terbangun dari tidurnya karena suara dering telepon. Dengan mata yang masih berat, Siena membuka kelopak matanya dan melihat Zane sedang berdiri di dekat jendela kaca sambil mengenakan pakaiannya. Tubuhnya yang tinggi semampai dan postur yang tegak membuatnya tampak sangat gagah. Cahaya matahari pagi menyinari tubuh pria itu dan mengubah aura tegasnya menjadi lebih lembut dan hangat. Siena pun terpana melihat pemandangan itu. "Oke. Hari ini aku nggak ada acara. Sampai ketemu nanti." Pria itu menjawab telepon tersebut dengan suara lembut yang jarang terdengar. Sepertinya, orang yang dia ajak bicara adalah Tina. Setelah selesai berpakaian, pria itu tiba-tiba berjalan ke arahnya. Tanpa sadar, Siena langsung memejamkan matanya dan berpura-pura masih tertidur. Setelah beberapa saat, Siena perlahan membuka matanya. Namun, begitu matanya terbuka, dia melihat tatapan dalam dan tak terduga dari mata hitam pria itu.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.