Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 4

Hugo tiba-tiba membuka matanya lebar-lebar. Apa yang terjadi? Suara itu sebelumnya tidak pernah terdengar. Anehnya, suara itu terdengar begitu familier. Seolah-olah, dia baru saja mendengarnya. "Hehe, kalian semua nggak akan bisa kabur, semuanya milikku. Roti, kue tart, kue tart telur, makanan penutup, ayo cepat masuk ke mulutku ... hehehe ..." Seketika itu juga Hugo menyadari bahwa suara itu ternyata berasal dari Winona yang sedang mengigau dalam tidurnya. Sinar matahari menembus celah-celah tirai, menyinari kamar dengan lembut. Hugo mendapati dirinya dan Winona saling berpelukan erat. Wajah Winona begitu dekat, hidung mungilnya bergerak pelan saat bernapas, bulu matanya yang panjang bergetar lembut, dan bibir mungilnya sedikit mengerucut, menciptakan ekspresi tidur yang polos dan manis. Ditambah dengan gumaman mimpi yang sesekali keluar, serta setetes liur bening yang menggantung di sudut bibirnya, Hugo tiba-tiba merasa bahwa Winona sebenarnya cukup menggemaskan. Tidak seseram yang dia lihat tadi malam. Namun, kenyataan bahwa dia tidur seranjang dengan gadis paling populer di kampus tetap membuat Hugo sulit untuk benar-benar terlelap. Terlebih lagi, Winona mengenakan gaun tidur tipis yang sangat terbuka. Yang paling parah ternyata Winona tidak bisa diam saat tidur. Semalam, dia bahkan memperingatkan Hugo untuk tidak bergerak atau mendengkur. Namun, dia sendiri malah tidur dengan sangat berantakan. Kakinya bahkan beberapa kali mendarat di perut Hugo. Dan sekarang, Hugo juga menemukan fakta bahwa Winona suka mengigau, menggumamkan hal-hal aneh sambil terkekeh pelan. Rasanya sangat aneh. Di puncak semuanya, di tengah tidurnya, dia seperti bermimpi sesuatu yang menyenangkan dan tiba-tiba memeluk Hugo erat-erat. Hugo bertahan hingga hampir pukul tiga pagi sebelum akhirnya kelelahan menghadapinya dan jatuh tertidur. Namun, dia terbangun lagi karena suara Winona di dalam mimpinya. Yang membuatnya terkejut adalah dia bangun lebih dulu dari Winona. Dengan hati-hati, dia mengangkat tangan untuk melihat waktu di jamnya. Pukul 07.40, dia hanya tidur empat setengah jam. Namun, anehnya, bukannya merasa lelah, tubuhnya justru terasa segar dan penuh energi. Padahal biasanya Hugo sangat malas bangun pagi. Meminta Hugo bangun pagi sama seperti meminta nyawanya, begitu sulit. Namun, hari ini, begitu membuka mata, semua rasa lelah dan kantuk lenyap seketika. Dia menelan ludah. Mungkinkah ini ada hubungannya dengan apa yang Winona katakan tentang ... infeksi? Atau mungkin ini adalah tanda awal dari kebangkitan? Saat pikiran itu melintas, sebuah embusan napas lembut menyentuh telinga Hugo. Seluruh tubuhnya merinding, jantungnya berdetak kencang saat dia menyadari bahwa mereka masih dalam posisi berpelukan yang sangat dekat. Dia ingin melepaskan diri, tetapi tangannya terikat oleh borgol. Winona tampaknya merasakan gerakannya. Dia mengerutkan alis dan memeluk Hugo lebih erat. Hugo langsung membeku, takut membangunkan gadis ini. Meskipun terlihat polos dan tidak berbahaya, Hugo tahu betapa berbahayanya Winona. Ancaman semalam masih terngiang jelas di pikirannya. Jika dia sampai mengganggu tidur gadis ini, bisa jadi Winona benar-benar akan menggorok lehernya. Meskipun mungkin dia tidak akan mati, tapi rasa sakitnya pasti akan sangat menyiksa. Saat Hugo sibuk dengan pikirannya sendiri, Winona perlahan membuka matanya. Matanya yang indah menatap Hugo, awalnya tampak sedikit sayu, tetapi dengan cepat berubah tajam dan penuh kewaspadaan. "Kamu kelihatan sangat ... bersemangat," katanya tiba-tiba, dengan suara yang dingin. Kalimat itu membuat Hugo tersentak, dan menyadari bahwa gadis itu sudah terbangun. "Bersemangat? Apa maksudmu?" tanya Hugo penuh kebingungan. Hugo mendadak memahami maksud dari pertanyaan Winona. Semua itu gara-gara posisi tidur gadis itu yang benar-benar berantakan. Saat memeluk Hugo, kakinya dengan tidak sengaja melintang di perut Hugo, dan entah bagaimana bagian bawah kakinya menyentuh sesuatu yang seharusnya tidak tersentuh. Jadi, itulah alasan kenapa Winona menanyakan hal tadi. "Aku bisa jelaskan! Ini Cuma ... reaksi fisiologis yang normal." Hugo mencoba menjelaskan sambil berkeringat dingin. Dalam hati, dia berdoa semoga gadis ini tidak mengambil tindakan ekstrem untuk 'mengatasi' dirinya. Namun, Winona hanya terkekeh pelan. Tangannya terulur, membelai pipi Hugo dengan lembut. Suaranya terdengar halus, dengan sedikit nada serak khas orang baru bangun tidur, tetapi anehnya memancarkan daya tarik yang tak bisa diabaikan. "Kamu kenapa tegang sekali? Takut sama aku?" Melihat perubahan sikap Winona yang begitu tiba-tiba, Hugo merasa dirinya benar-benar tidak bisa membaca pikiran gadis ini. Namun, sebelum dia sempat bereaksi, terdengar bunyi klik dari arah pergelangan tangannya. Hugo langsung menyadari sesuatu yang aneh. Tadi, tangannya dan tangan Winona sama-sama terbelenggu borgol, tetapi sekarang, borgol itu justru terpasang di dekorasi kayu kepala ranjang. Hugo terkejut karena satu tangan Winona masih berada di pipinya. Bagaimana mungkin Winona bisa membuka borgol itu tanpa melepaskan tangan dari wajahnya? "Ini maksudnya apa?" Hugo dengan nada bingung. "Aku punya kebiasaan mandi pagi." Winona mengabaikan pertanyaan Hugo sambil turun dari tempat tidur. Dia mulai melepaskan gaun tidur tipisnya, berjalan menuju kamar mandi tanpa rasa terganggu sama sekali. "Kamu mandi, kenapa harus borgol aku?" Hugo bertanya kesal. "Menurut aturan pemantauan 24 jam, kamu harus selalu bersamaku, bahkan saat aku mandi. Tapi kupikir, kalau aku membiarkanmu masuk ke kamar mandi dengan kondisi sekarang, kamu bakal lebih merasa nggak nyaman." Winona berujar sambil memutar tubuh sedikit dan mengangkat rambut panjangnya ke atas. Sekilas matanya menatap tubuh Hugo dengan ekspresi setengah tersenyum. Kalimat itu justru kontradiktif. Nyatanya, Hugo malah merasa makin tidak nyaman. "Jadi, kamu tunggu saja di luar. Jangan coba-coba melepaskan borgol itu." Ujar Winona lagi sebelum masuk ke kamar mandi dan menutup pintu. Hugo hanya bisa menatap langit-langit kamar dengan pasrah, menghela napas panjang. Tak lama kemudian, Winona kembali ke kamar dengan pakaian hitam yang dia kenakan saat datang kemarin. Semalam, Hugo tak bisa melihatnya dengan jelas, tetapi sekarang berbeda. Pakaian itu terlihat sederhana, jauh lebih sederhana dari bayangannya. Namun entah bagaimana, pakaian itu terlihat sangat sempurna di tubuh Winona. Winona memakai kaus putih longgar yang ujungnya dimasukkan ke celana pendek jeans hitam ketat, memperlihatkan sedikit kulit pinggangnya yang putih mulus. Di atasnya, dia mengenakan jaket pendek hitam yang pas di tubuh, menonjolkan lekuk tubuhnya yang memikat. Kakinya dibalut sepasang sepatu bot pendek hitam yang hanya sampai pergelangan kaki. Secara keseluruhan, sekilas, Winona terlihat sangat pandai berdandan. Namun, Hugo yakin, untuk gadis secantik Winona, pakaian apa pun yang dikenakannya pasti akan terlihat sangat menarik. Orang-orang memang bergantung pada pakaian, tetapi pakaian terkadang membutuhkan pemakai sempurna untuk terlihat indah. "Kamu udah tenang?" Winona bertanya, kembali ke sikapnya yang dingin. Dia menyilangkan tangan di dada sambil memandang Hugo. Namun, ekspresinya berubah kesal saat menyadari bahwa Hugo justru terlihat semakin gelisah. "Ck." Gadis itu berdecak tak sabar. "Kalau gitu, biarkan aku mandi juga, ya. Habis mandi pasti aku lebih tenang." Hugo buru-buru menjawab untuk menyembunyikan rasa malunya. Winona berjalan ke tepi tempat tidur, lalu membungkuk untuk melepaskan borgol di tangan Hugo. Hugo bisa mencium aroma segar dari rambut gadis itu. Aroma bunga lembut bercampur dengan aroma buah yang segar, mengingatkannya pada taman penuh kehidupan di musim semi. Gerakan Winona begitu lembut dan cekatan. Dalam waktu singkat, borgol itu pun terlepas. Namun selama proses itu, tatapan Winona tidak pernah lepas dari Hugo, seolah-olah sedang mengamati reaksi pria itu. Begitu tangannya bebas, Hugo langsung melompat turun dari ranjang dan bergegas masuk ke kamar mandi. Saat dia menyadari Winona juga berniat masuk, Hugo buru-buru menutup pintu. "Kamar mandiku nggak ada jendelanya! Aku nggak akan kabur. Kalau ada apa-apa, aku pasti langsung panggil kamu!" Winona terdiam di luar selama beberapa detik, sebelum menanggapi. "Cepat sedikit. Kita sudah hampir telat ke kampus." Air dingin mengguyur tubuh Hugo, membuatnya menggigil. Rahangnya gemetar menahan dingin. Bekas noda darah kering yang menempel di dada dan perutnya mulai luruh di bawah derasnya air. Pemandangan itu perlahan membuat pikirannya kembali tenang. Seusai mandi, Hugo keluar dari kamar mandi dan melihat Winona sedang berbaring di sofa, asyik memainkan ponselnya. Tanpa membuang waktu, Hugo masuk ke kamar tidur, berganti pakaian, lalu kembali ke ruang tamu. Namun kali ini, Winona sudah berdiri di dekat pintu masuk, menatapnya dengan pandangan dingin. "Ayo pergi. Jangan sampai telat." Tanpa banyak bicara, Hugo mengikuti Winona keluar dari apartemen tua itu. Mereka menuruni tangga hingga sampai di jalanan luar. Tiba-tiba, ponsel Hugo berdering. Dia mengeluarkannya dan melihat ada pesan WhatsApp baru. Pengirimnya … Winona. Nama itu terlalu gamblang, jadi Hugo mengalihkan pandangannya. "Kapan nomormu ada di kontak WhatsApp-ku?" tanya Hugo bingung. "Tadi pas kamu mandi, aku pakai ponselmu buat menambahkannya." Winona menjawab dengan santai. Hugo ingin protes soal privasi ponselnya, tetapi mengingat jasa Winona tadi malam, dia urungkan niatnya. Toh, cuma menambah kontak, bukan hal besar. Dia akhirnya membuka pesan yang dikirim Winona. "Nanti di kampus, ingat lihat situasi dan ikuti petunjukku." "???" Hugo membalas dengan tiga tanda tanya, tetapi Winona tidak membalas lagi. Sepanjang perjalanan, suasana di antara mereka terasa hening, tak ada yang bersuara. Situasi ini berlanjut hingga dua puluh menit kemudian. Ketika mereka tiba di jalanan depan gerbang universitas, tiba-tiba berkata kepada Hugo. "Bersiap-siaplah." "Bersiap buat apa?" Sebelum Hugo sempat memahami maksudnya ketika Winona langsung menggamit lengannya. Ekspresi Winona pun berubah total, senyuman lembut muncul di wajahnya, seperti seorang gadis manis yang tengah jatuh cinta. Tepat ketika Hugo hendak mengatakan sesuatu, sebuah suara memanggil dari belakang. "Winona, eh? Kok kamu gandeng cowok?" Winona menoleh dengan senyuman yang bisa meluluhkan es. "Pagi, Zora! Kenalin, ini pacarku, Hugo." Melihat senyuman Winona yang nyaris sempurna itu, Hugo merasa jantungnya berdebar nggak karuan. Wanita ini benar-benar berbakat. Kalau dia masuk dunia akting, pasti bisa meraih Piala Oscar dalam waktu dekat.'

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.