Bab 2
Ellen baru saja hendak berbicara, tiba-tiba Yura menyela topik pembicaraan, "Nggak ada apa-apa, Kakak, kamu sudah pulang?"
Mendengar panggilan yang sudah lama tidak didengarnya, langkah Carlton terhenti sejenak. Matanya menatap Yura dengan dalam.
"Sejak kapan Yura berhenti memanggilnya Kakak?" ucap benaknya.
"Apakah sejak usianya 18 tahun, 15 tahun, atau bahkan lebih awal?" pikir Carlton.
Dulu, Carlton mengira itu karena Yura sudah tumbuh dewasa dan tidak lagi dekat dengannya. Namun, belakangan dia baru tahu bahwa Yura sebenarnya menyukainya.
Kini, Yura kembali memanggilnya "Kakak". Carlton menatapnya dengan pandangan yang dalam, mengamatinya dengan saksama.
Ada sesuatu yang berbeda dari dirinya.
Setelah beberapa saat, Carlton akhirnya menundukkan pandangannya, menarik perhatiannya, dan meletakkan hadiah yang dibawanya di atas meja, lalu berkata dengan nada datar.
"Ayah, Ibu, ini hadiah dari Shania untuk kalian. Katanya, ini hanya sedikit ungkapan terima kasih, semoga kalian suka."
Ellen langsung tersenyum lebar, "Tentu saja suka! Shania selalu memilih hadiah yang bagus. kamu sudah mengucapkan terima kasih padanya?"
Rahmat juga ikut berdiri, sudut bibirnya yang biasanya tegas kini sedikit melengkung, "Carlton, lain kali kalau kamu berkunjung ke rumah Shania, bawa juga kaleng teh hitam yang ada di lemari."
Sebagai calon menantu, Shania selalu disukai oleh Rahmat dan Ellen. Bahkan, dalam obrolan mereka, mereka secara halus menyarankan agar Carlton mengundang orang tua Shania untuk berkunjung ke rumah mereka di akhir pekan.
Ini jelas-jelas pertanda bahwa mereka sedang mempersiapkan pernikahan.
Yura duduk diam, memperhatikan mereka. Perasaan kesepian tiba-tiba menyergap hatinya. Kukunya menekan telapak tangannya, lalu segera melepaskannya.
Pada momen ini, Yura sekali lagi menyadari bahwa dirinya hanyalah orang asing di keluarga ini.
Namun, mulai sekarang, dia tidak perlu lagi merasa khawatir tentang hal-hal seperti ini.
Dengan pikiran itu, Yura bangkit dengan tenang dan berjalan menuju kamarnya.
Mendengar suara langkah, Carlton yang sedang asyik berbincang dengan orang tuanya mengangkat pandangannya. Dia hanya melihat punggung Yura menghilang di balik pintu.
"Apakah ini hanya perasaannya saja?" gumam Carlton.
Sejak dia pulang, Yura hanya mengucapkan satu kalimat, ini sangat berbeda dengan sikapnya yang dulu.
Sore harinya, Yura membawa kartu keluarga dan berencana pergi ke kantor catatan sipil untuk mengurus pemindahan catatan keluarganya.
Saat turun tangga, dia melihat Shania duduk di sebelah Carlton, tersenyum manis sambil menatapnya mengupas jeruk.
Jari-jari Carlton yang panjang dengan cekatan mengupas kulit jeruk, membersihkan serat putihnya, lalu memisahkan satu bagian dan menyuapkannya ke mulut Shania.
Pipi Shania memerah karena malu, dia menatap Carlton, lalu dengan patuh menggigit jeruk yang disuapkan.
Carlton tersenyum kecil, lalu mengambil selembar tisu dan dengan hati-hati membersihkan sudut bibir Shania.
"Manis nggak?"
Shania mengangguk, lalu mengambil sepotong jeruk dan menyuapkannya ke mulut Carlton.
"Kamu cobain juga."
Melihat keintiman mereka, Yura diam-diam mengalihkan pandangannya dan berjalan menuju pintu.
"Yura!"
Shania tiba-tiba memanggilnya dari belakang, Yura menoleh dan melihat Shania melambaikan tangannya.
"Carlton sedang libur hari ini. Kami berencana pergi ke taman. Mau ikut bersama kami?"
Yura menggelengkan kepala, "Ini kencan kalian, aku nggak mau ganggu."
Shania tersenyum, "Kamu kan adik ipar, pasti nggak ganggu kok."
Saat mengucapkan kata "adik ipar" Shania tanpa sengaja memberikan penekanan, seolah-olah mengingatkan Yura tentang posisinya.
Dulu, mendengar kata-kata itu, hati Yura terasa seperti diremas, sakit sampai dia sulit bernapas.
Namun, sekarang, dia hanya menganggap Carlton sebagai kakak. Hatinya menjadi tenang seperti permukaan danau yang jernih.
"Aku ada urusan yang harus diselesaikan, lain kali saja."
Mendengar penolakan Yura, senyum Shania langsung kaku, suaranya terdengar sedikit sedih dan gemetar.
"Yura, apa kamu masih marah karena aku "merebut" kakakmu? Itu sebabnya kamu nggak mau pergi bersama kami?"
Mendengar itu, Carlton segera memeluk Shania dan mengerutkan kening, "Aku memang mencintaimu, bagaimana bisa disebut merebut?"
Kalimat romantis itu membuat telinga Shania memerah, lalu dia memukul dada Carlton dengan lembut.
Carlton tertawa kecil, memeluknya erat, dan mencium rambutnya. Lalu, pria itu berkata, "Kalau dia tidak mau, biarkan saja."
Yura menarik senyum tipis.
Memang seharusnya begitu.
Mulai sekarang, mereka akan berjalan di jalan masing-masing.
Dengan sopan, Yura mengucapkan selamat tinggal pada mereka dan berbalik menuju pintu.