Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 8

Selina sangat senang. Dia tak menyangka tujuannya bisa tercapai secepat ini. "Kita … kita pergi sekarang saja!" kata Selina dengan mata indahnya yang berbinar. Namun, Yulius menggeleng. "Nggak perlu buru-buru, aku nggak mau bolos kelas." "Kerjamu cuma tidur waktu pelajaran, jadi apa salahnya membolos? Lagi pula, kita bisa minta izin." Selina berkata cemas. Pipi Selina memerah karena terlalu bersemangat. "Benar, aku memang agak mengantuk. Jadi, biarkan aku istirahat sebentar." Setelah mengatakan itu, Yulius langsung meletakkan kepalanya di atas meja. Selina kesal sekaligus panik, tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Sepanjang pagi, Yulius tidur di meja seperti tidak ada masalah sama sekali. Banyak murid di kelas masih mengira ayah Dean akan datang mencari masalah, tetapi tidak ada tanda-tanda apa pun setelah empat jam pelajaran berlalu. Bahkan Hanif tidak menyinggung masalah yang terjadi pagi tadi, seolah tidak ada kejadian apa-apa. Karena itu, pandangan murid-murid di kelas itu terhadap Yulius berubah. Bisa duduk sebangku dengan putri keluarga Tanadi, sekaligus bisa menghajar Dean tanpa mendapat hukuman … Dulu mereka mengira Yulius orang yang pendiam dan tertutup, tapi sekarang mereka berpikir mungkin Yulius jarang bicara karena dia tidak merasa perlu untuk berinteraksi dengan mereka. Saat pulang sekolah siang itu, Selina langsung meraih lengan Yulius karena takut pemuda itu akan kabur. "Jangan lupa janji kamu pagi tadi," kata Selina. "Lepaskan, nanti orang salah paham," Yulius segera memperingatkan. Selina melepaskan tangannya dengan wajah memerah sambil menggigit bibirnya. 'Berengsek! ' 'Cuma dipegang sedikit saja, dia bersikap seolah-olah sedang dimanfaatkan!' 'Benar-benar bukan pria sejati!' Selina memaki Yulius ribuan kali di dalam hatinya. Keduanya meninggalkan kelas satu demi satu, lalu berjalan keluar gerbang sekolah sambil menjaga jarak yang relatif aman. Begitu keluar dari gerbang sekolah, Yulius langsung merasakan tatapan penuh kebencian. Di seberang jalan, ada sebuah mobil van terparkir. Beberapa orang preman bertubuh kekar sedang berdiri di depan van itu sambil merokok. Dua orang di antara mereka menyeringai saat melihat Yulius. Jelas sekali, para preman itu adalah anak buah Wafa Selina juga memperhatikan kelompok preman yang jelas-jelas berniat jahat di seberang jalan itu. Dia berbalik ke Yulius dan berkata, "Aku akan meminta Om Sandi untuk mengusir orang-orang ini." "Om Sandi?" tanya Yulius. "Di sana." Selina menunjuk sebuah Mercedes hitam yang parkir di dekat gerbang sekolah. "Om Sandi itu anak angkat kakekku. Namanya Sandi Tanadi, sekarang dia bertugas menjaga keselamatanku," kata Selina sambil berjalan. Tidak lama kemudian, mereka berdua sampai di samping mobil Mercedes. Seorang pria paruh baya dengan bekas luka bakar mencolok di wajahnya keluar dari kursi pengemudi. Hanya dengan sekali pandang, Yulius tahu bahwa orang ini juga seorang praktisi bela diri, tingkat kultivasinya berada di Tahap Pemurnian Energi tingkat delapan. Dengan kata lain, dia adalah seorang petarung bawaan. Sandi juga sedang menilai Yulius. "Om Sandi, di sana … " Selina berjalan mendekat pada Sandi dan berkata beberapa kata pada pamannya. Sandi mengangguk, lalu langsung berjalan menuju mobil van itu dan menghampiri beberapa preman tersebut. Para preman itu awalnya masih terlihat sombong, Mereka menunjuk Yulius sambil mengayunkan tongkat besi mereka, seakan ingin menghajar Sandi juga. Namun, setelah Sandi mengatakan beberapa patah kata, wajah mereka langsung pucat. Mereka meminta maaf pada Sandi, lalu buru-buru pergi dengan mobil van mereka. "Om kamu sepertinya jago banget berkelahi, ya?" Yulius bertanya pada Selina yang duduk di dalam mobil. "Tentu saja! Pamanku itu kan seorang petarung tingkat lanjut level delapan yang diakui oleh Asosiasi Ahli Bela Diri!" jawab Selina dengan bangga. "Oh? Petarung bawaan ini juga punya level?" Yulius agak terkejut. "Iya. Petarung bawaan dibagi menjadi dua belas level. Level delapan itu sudah termasuk luar biasa. Sedangkan di atas level dua belas adalah para Master Seni Bela Diri. Dulu waktu aku masih kecil, aku pernah bersalaman dengan seorang master bela diri yang sangat terkenal di wilayah Jayan!" Mata Selina berbinar, penuh kebanggaan. Jadi, petarung bawaan setara dengan tahap Pemurnian Energi dan setiap level setara dengan satu tahapan. Sedangkan Master Seni Bela Diri, seharusnya berada di tahap Pembentukan Dasar setelah Pemurnian Energi. 'Kalau begitu, aku ini setara dengan petarung bawaan tingkat 9.832, ya? Kedengarannya keren juga,' pikir Yulius. Sandi kembali dan duduk di kursi pengemudi, kemudian menyalakan mobilnya. "Nona, dia ini … " Sandi bertanya sambil melihat ke arah Yulius melalui kaca spion. "Dia murid Dewa Pengobatan yang kita temui di wilayah barat laut waktu itu. Namanya Yulius, sekarang dia juga teman sekelasku," jelas Selina. "Sebentar lagi nggak," tambah Yulius. "Oh? Kamu murid Dewa Pengobatan Satya Sagara?" Sandi menaikkan alisnya sedikit, agak terkejut. Di matanya, Yulius tampak seperti anak SMA biasa dan tidak ada yang istimewa. Mungkinkah nona muda yang polos dan naif ini sudah tertipu? Nona masih sangat muda, polos dan lugu. Jangan-jangan dia sudah tertipu? Sandi mulai curiga terhadap Yulius. Selina merasa sangat senang karena Chairil punya peluang sembuh. Sepanjang perjalanan, dia bercerita tanpa henti tentang masa kecilnya. Namun, Yulius kurang tertarik pada cerita itu dan hanya menanggapi dengan seadanya. Setengah jam kemudian, Yulius tiba di rumah keluarga Tanadi. Sebuah vila mewah yang terletak di kawasan elit Kota Jayandra. Vila keluarga Tanadi, hanya dari luas tanahnya saja, sudah dua puluh kali lebih besar dari tempat tinggal Yulius. Gaya arsitekturnya klasik dan megah, setiap sudut menunjukkan kekayaan dan kekuasaan keluarga Tanadi. Setelah melewati halaman yang penuh dengan pot tanaman dan sebuah danau buatan, barulah mereka sampai di ruang tamu. Seorang pelayan perempuan menyambutnya, "Nona, Nona sudah pulang." Selina hanya bergumam 'hmm', lalu segera bertanya, "Kakek di mana?" Belum sempat pelayan itu menjawab, tiba-tiba terdengar suara wanita dari sofa di belakang. "Kakekmu sedang menjalani pemeriksaan oleh dokter dari Zendara. Kenapa kamu buru-buru mencarinya?" "Tante." Selina baru menyadari wanita paruh baya yang duduk di sofa itu adalah Rosa, istri dari paman tertuanya. "Selina, kenapa membawa temanmu ke sini tanpa mengenalkannya lebih dulu?" Rosa yang mengenakan pakaian mewah, memandang Yulius. "Dia Yulius. Murid dari Dewa Pengobatan yang kutemui bersama kakak di wilayah barat laut," Selina memperkenalkan. "Oh? Jadi kamu Yulius?" Rosa memicingkan mata sedikit, mengamati Yulius dengan serius. Yulius hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. "Kamu yakin kamu murid Dewa Pengobatan? Jika kamu mencoba menipu keluarga Tanadi … kamu nggak akan bisa menanggung akibatnya. Sekarang aku beri kamu kesempatan. Akui kalau kamu berbohong dan aku nggak akan mempersoalkannya." Rosa berkata sambil tersenyum sinis. Dia sama sekali tidak percaya bahwa seorang pemuda biasa, seusia dengan Selina, bisa menjadi murid dari Dewa Pengobatan. Terlebih lagi, mereka berdua kebetulan bersekolah di sekolah yang sama. Jelas sekali, Yulius punya niat tertentu untuk mendekati keluarga Tanadi, atau lebih tepatnya mendekati Selina. Hal seperti ini bukanlah hal yang baru bagi keluarga kaya seperti keluarga Tanadi. Mendengar Rosa mengatakan demikian, ekspresi Selina berubah, dan dia buru-buru berkata, "Tante, Yulius itu tamu yang aku undang untuk mengobati kakek …" "Mengobati? Dia? Haha, Selina, kamu polos banget. Aku yakin anak ini nggak jelas asal-usulnya dan dia bukan murid Dewa Pengobatan. Dia pasti punya maksud tersembunyi. Dia ingin mendekati kamu dan mengambil keuntungan dari keluarga kita," kata Rosa sambil tertawa sinis. "Sepertinya aku sudah bilang dari tadi kalau aku bukan murid Dewa Pengobatan, 'kan?" balas Yulius sambil menatap Selina. "Jadi kamu mengakuinya?" Rosa menatapnya dengan tatapan remeh. "Sebenarnya, kalau boleh jujur, Satya adalah muridku." Yulius tersenyum tipis Semua orang di sana menunjukkan ekspresi aneh, termasuk pelayan dan Sandi yang berdiri di belakang mereka. Apakah anak ini sudah gila setelah kebohongannya terbongkar? Dewa Pengobatan itu muridnya? Namun, terlepas dari itu, berapa usia Dewa Pengobatan? Berapa usianya? Bukankah Dewa Pengobatan sudah terkenal di seluruh Denara jauh sebelum dia lahir? "Omong kosong! Selina! Waktu kamu dan Ferry pulang, dan bilang kalau kalian bertemu murid Dewa Pengobatan, aku sempat berharap kalau ayah masih bisa disembuhkan. Tapi ternyata yang kamu bawa hanya orang gila seperti ini!" Seorang pria paruh baya berjas dan berkacamata keluar dari ruangan belakang. "Ayah," Selina memanggil pelan. Nanda Tanadi dengan wajah muram menatap Yulius. "Katakan, siapa yang menyuruhmu mendekati keluarga Tanadi? Kalau kamu jujur, kami masih bisa melepaskanmu. Kalau nggak ... jangan harap bisa lolos dengan mudah." Air mata mengalir di mata indah Selina. Dia membawa Yulius pulang hanya untuk mengobati penyakit Chairil dan tidak pernah menyangka semuanya akan menjadi seperti ini.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.