Bab 3
Semua murid di kelas mengikuti arah pandang Selina dan melihat ke sudut ruangan tempat Yulius duduk.
Pandangan mereka secara alami tertuju pada Dean yang duduk di depan Yulius.
Dean adalah siswa paling tampan di kelas 3-2. Wajahnya tampan, keluarganya kaya, dan dia menjadi idola banyak gadis di kelasnya yang diam-diam menyukainya.
Mungkinkah Selina pindah ke kelas ini karena Dean juga?
"Hei, Dean, sepertinya Nona Selina itu datang karena kamu," kata Thomas, teman sebangku Dean, sambil menyikut lengannya.
Dean juga merasa bingung.
Dia pernah mencoba mendekati Selina waktu kelas satu, tetapi sebelum sempat mengobrol dengan Selina, dia sudah lebih dulu diperingatkan oleh orang suruhan keluarga Tanadi.
Sejak saat itu, Dean tahu bahwa Selina bukanlah sosok yang bisa dia ganggu.
Sekarang mereka sudah di kelas tiga dan hampir lulus, tetapi kenapa Selina malah datang mencarinya?
Mungkinkah Selina sudah diam-diam menyukainya sejak lama?
Saat pikiran itu terlintas, Dean langsung menegakkan punggungnya sambil menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Meskipun hatinya sangat bersemangat, dia berusaha terlihat tenang di luar.
Semua murid di kelas fokus melihat Selina dan Dean.
Sedangkan Yulius dan temannya yang gemuk, sudah benar-benar mereka abaikan.
Dua orang ini, si gendut dan si penyendiri. Bagaimana mungkin mereka bisa menarik perhatian dewi Selina?
"Satu lagi bunga indah akan dirusak oleh Dean!"
"Ah, andai aku setampan dan sekaya Dean."
"Selina adalah dewi pujaanku. Bagaimana bisa dia menyukai orang lain?"
Para siswa di kelas merasa iri sekaligus cemburu, dengan perasaan campur aduk.
Hanif selaku wali kelas tersenyum ramah kepada Selina dan bertanya, "Selina, apa kamu mau duduk dengan Dean?"
Selina tidak menjawab, dia langsung turun dari podium dan berjalan menuju tempat duduk Yulius.
Dean merasa sangat gugup. Jantungnya berdebar kencang saat memikirkan kata-kata pertama apa yang harus dia ucapkan.
Ketika Selina makin dekat, senyuman Dean makin cerah dan dia bersiap untuk berbicara.
Sayangnya, Selina tidak berhenti di sampingnya. Gadis itu malah berjalan ke bangku yang ada di belakangnya.
"Pak, saya mau sebangku dengan Yulius," kata Selina sambil menatap Yulius dengan penuh semangat.
…
Kelas menjadi sunyi senyap. Semua murid memandang satu sama lain dengan mata terbelalak.
Ada apa ini?
Kenapa Selina malah ingin duduk sebangku dengan Yulius yang biasa saja?
Bukannya dengan Dean yang populer di kelas?
"Hai, apa kamu bersedia memberikan tempat dudukmu untukku?" Selina bertanya dengan lembut kepada Doni yang tercengang. Suaranya begitu merdu.
Sebagai si gendut yang jarang berinteraksi dengan orang lain, ini adalah pertama kalinya Doni berada sedekat ini dengan seorang gadis secantik Selina. Wajahnya langsung memerah, mulutnya terbuka, tetapi dia tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun.
"Aku nggak mau sebangku sama kamu," jawab Yulius sebelum Doni sempat bicara.
"Wah … "
Beberapa siswa tak bisa menahan diri, mereka langsung bersorak kaget.
Selina yang meminta duduk sebangku dengan Yulius sudah cukup mengejutkan mereka.
Namun, mereka sama sekali tidak menyangka bahwa Yulius malah menolak!
Apa dia tahu apa yang sedang dia tolak?
Itu adalah impian setiap siswa laki-laki di sekolah!
"Kalau kamu nggak mau, aku saja!"
Para siswa berteriak dalam hati.
Namun, Selina sama sekali tidak terganggu dengan penolakan itu. Dia berbalik dan menatap Hanif.
Ketika Hanif menyadari tatapan dari Selina, dia merasa sangat gugup dan tegang.
Dengan status Selina, bahkan kepala sekolah pun akan bersikap hormat di depannya.
Jadi, permintaan kecil seperti ini jelas harus dia penuhi.
Hanif lalu menatap Yulius dan berkata dengan suara tegas, "Yulius, bersikaplah lebih sopan! Selina baru saja bergabung dengan kelas kita, bagaimana bisa kamu berbicara seperti itu padanya?"
"Kamu dan Doni sering mengobrol saat pelajaran, aku sudah lama ingin memisahkan kalian!"
"Kebetulan, biarkan Selina duduk sebangku denganmu, dan Doni pindah ke baris kedua paling belakang untuk duduk sendiri! Pindah sekarang!"
Karena kepala sekolah telah memberi perintah, Yulius tentu saja tidak bisa membantah.
Beberapa menit kemudian, Selina berhasil menjadi teman meja Yulius.
Sementara itu, Doni duduk sendirian di baris kedua paling belakang.
"Selina adalah siswa berprestasi dari kelas unggulan, kalian semua harus banyak belajar darinya!" kata Hanif lagi dengan nada memuji.
Bagi Yulius, duduk sebangku dengan Selina adalah sebuah bencana.
Dia menjalani kehidupan yang sangat tenang di SMA ini selama dua tahun penuh, sampai-sampai lebih dari setengah murid di kelasnya bahkan tidak ingat namanya.
Namun, semua itu hancur berantakan karena ulah Selina.
Seperti sekarang, meskipun pelajaran masih berlangsung, Yulius bisa merasakan banyak tatapan tertuju padanya.
"Huff." Yulius menghela napas sambil memijat pelipisnya.
Selina memperhatikan Yulius dari sudut matanya, tapi dia tetap diam.
Yulius juga tidak berniat untuk berbicara dengan Selina. Dia hanya meletakkan kepalanya di meja dan memejamkan mata.
Bel berbunyi menandakan akhir kelas dan seketika suasana kelas menjadi ramai.
Semua orang membicarakan Yulius dan Selina.
Dean dan Thomas meninggalkan tempat duduk mereka dan berjalan ke barisan depan kelas untuk berbicara dengan beberapa siswa.
"Astaga, Kak Dean, aku kira Selina mencarimu! Ternyata dia mencari Yulius!" kata seorang siswa.
Dean tampak muram, hatinya dipenuhi rasa malu dan kesal.
Sebelumnya, dia sangat percaya diri dengan pesonanya, tetapi Selina bahkan tidak meliriknya sekalipun!
"Nggak, aku merasa ada yang aneh. Sepanjang pelajaran tadi, aku nggak dengar Selina mengobrol dengan Yulius. Kelihatannya mereka sama sekali nggak saling kenal," kata Thomas.
Setelah mendengar ini, sekelompok siswa itu langsung menoleh ke arah Yulius dan Selina di belakang.
Yulius masih tertidur di mejanya, sedangkan Selina sibuk menulis sesuatu. Tidak ada tanda-tanda percakapan antara mereka.
"Menurutku, target Selina yang sebenarnya adalah kamu, Dean! Dia memilih duduk dengan Yulius hanya karena kebetulan kursi itu ada di belakangmu!" Thomas berkata dengan penuh keyakinan.
Mendengar itu, siswa-siswa lainnya langsung mengangguk setuju. "Ya, aku juga berpikir begitu. Yulius itu jarang bicara, mana mungkin dia kenal dengan dewi Selina?"
"Kalau begitu, kenapa dia nggak langsung minta duduk dengan aku?" tanya Dean sambil mengernyit.
"Aduh, tentu saja karena dia malu! Selina kan perempuan dan statusnya istimewa. Mana mungkin dia berani secara langsung menunjukkan perasaannya padamu?" salah satu siswa menambahkan.
Dean berpikir sejenak dan merasa perkataan itu masuk akal.
Mungkin alasan Selina tidak meliriknya tadi karena dia malu, bukan?
Namun, di tengah percakapan mereka, Yulius tiba-tiba bangkit dan berjalan keluar kelas.
Kemudian, Selina mengekor di belakangnya dan mereka keluar bersama.
Tindakan dua orang itu kembali menimbulkan perbincangan di kelas.
Dean, yang tadinya mulai merasa tenang, kini kembali terlihat marah.
Yulius dan Selina pergi ke atap gedung sekolah.
"Aku tahu kenapa kamu mencariku, tapi aku harus bilang kalau aku nggak bisa membantumu," kata Yulius tanpa basa-basi.
Selina menggigit bibirnya dan berkata, "Kamu kan murid Dewa Pengobatan. Kamu pasti bisa menyelamatkan kakekku."
"Sudah kubilang aku ini bukan muridnya Satya. Aku cuma temannya," jawab Yulius sambil menggelengkan kepala.
"Jangan bohongi aku lagi. Kamu bisa langsung tahu kalau kakekku kena kanker paru-paru stadium akhir dan hanya punya waktu kurang dari tiga bulan lagi. Selain murid Dewa Pengobatan, siapa lagi yang bisa sehebat itu?" kata Selina dengan tegas.
Yulius sangat menyesal, seharusnya dia tidak berkata terlalu banyak saat itu.
"Lalu kenapa? Mengetahuinya tidak berarti apa-apa. Kanker stadium akhir, sepertinya tidak ada yang bisa menyembuhkannya," kata Yulius sambil menaikkan alisnya.
"Aku, aku nggak memintamu untuk menyembuhkannya. Aku hanya berharap … kamu bisa memperpanjang umur kakekku, membuatnya hidup beberapa tahun lagi … " Mata Selina memerah, suaranya terbata-bata.
Mustahil bagi pria biasa untuk menahan diri ketika seorang gadis secantik ini hendak menangis di hadapannya.
Namun, Yulius bukan pria biasa.
"Maaf, aku juga nggak bisa melakukan itu," kata Yulius.
Di dunia ini banyak sekali orang yang mengalami kesulitan. Yulius tidak mungkin menyelamatkan semua orang dan dia juga tidak punya kewajiban untuk melakukannya.
Yulius hanya ingin menjalani kehidupan biasa dan berharap suatu hari nanti bisa melewati Tahap Pemurnian Energinya.
Dia bukan pahlawan dan tidak ingin menjadi pahlawan.
"Berapa pun bayaran yang kamu inginkan, kami pasti bisa membayarnya!" kata Selina lagi.
"Aku benar-benar nggak bisa membantumu dan aku nggak butuh uang." Yulius menjawab dengan acuh tak acuh dan berbalik.
Setelah berjalan beberapa langkah, dia menoleh dan berkata, "Oh ya, aku berharap kamu bisa pindah tempat duduk. Aku nggak mau duduk sebangku denganmu. Aku benar-benar benci masalah."
Melihat Yulius pergi tanpa menoleh ke belakang, Selina merasa sangat marah hingga wajahnya memucat.
Sebagai putri keluarga Tanadi, dia belum pernah merendahkan diri seperti ini untuk memohon pada seseorang, bahkan sampai menangis.
Namun, Yulius tidak mau mendengarkan dan tampak acuh tak acuh.
"Nggak suka masalah, ya? Kalau begitu, aku akan membuat masalah untukmu!" gumam Selina sambil menggertakkan giginya.
Mereka kembali ke kelas dan selama beberapa pelajaran berikutnya, tidak ada percakapan antara mereka.
Sampai pelajaran terakhir di pagi hari selesai, Yulius masih tertidur di meja. Sementara itu, Selina sudah membereskan buku-bukunya dan mengetuk-ngetuk bahu Yulius dengan jari-jarinya yang halus.
"Yulius, kita makan siang bareng yuk," ajak Selina dengan suara yang manis.
Yulius membuka matanya dan melihat Selina yang sedang tersenyum. Dia merasa ada yang tidak beres.
"Sudahlah, kamu pasti lelah tadi malam, jadi lanjutkan tidurmu saja. Nanti aku akan bawakan makanan untukmu. Tunggu di sini, ya," kata Selina sambil berjalan keluar kelas dengan senyum licik.
Para siswa di dalam kelas yang mendengar perkataan Selina, langsung heboh.
Kalimat ini mengandung terlalu banyak informasi!
Apa maksudnya terlalu lelah tadi malam?
Apa arti ekspresi malu dan rona merah di wajah Selina saat dia mengatakan ini?
Apakah mungkin Selina sudah … dengan Yulius?
Yulius tetap tenang menghadapi tatapan penuh iri dari banyak siswa di kelas.
Sepertinya Selina sengaja ingin membuat masalah untuknya.
Namun, demi menciptakan kesalahpahaman ini, Selina bahkan rela menodai reputasinya sendiri. Sungguh kejam.
Yulius sama sekali tidak peduli.
Dia tidak suka masalah, tetapi itu bukan berarti dia takut masalah.
Apa salahnya menjadi terkenal di sekolah dan dicemburui oleh anak-anak yang bahkan belum tumbuh dewasa?
Baginya, itu bukan masalah besar.
Jika seorang pria yang telah berlatih selama hampir lima ribu tahun tidak dapat menghadapi tipu daya seorang gadis remaja, dia sebaiknya bunuh diri dan mengakhiri semuanya.
Yulius berdiri, ingin mengajak Doni pergi makan siang, tetapi seseorang memanggilnya.
"Hai, Yulius, aku mau membicarakan sesuatu denganmu. Kita bicara di koridor saja, ya?" Orang yang berbicara adalah Dean yang duduk di barisan depan.