Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 1

Daerah pegunungan di bagian barat laut Denara seperti daerah primitif. Tidak ada jalan raya, tidak ada mobil, bahkan jarang sekali ada orang terlihat. Di antara pegunungan yang mengelilinginya, berdiri sebuah gubuk jerami yang terpencil. Di sekitar gubuk itu terdapat tanah kosong yang ditumbuhi banyak tanaman obat, sehingga baunya harum semerbak. Ruangan di dalam rumah kayu itu tidak terlalu luas. Hanya ada sebuah tempat tidur dan meja. Meja itu penuh dengan buku dan lembaran-lembaran kertas. Saat itu, di atas tempat tidur terbaring seorang lelaki tua dengan rambut dan janggut serba putih. Matanya tertutup rapat dan wajahnya terlihat damai. Seorang pemuda yang terlihat baru berusia 17 atau 18 tahun, duduk di tepi tempat tidur. "Satya, aku sangat iri padamu. Setelah hidup selama 81 tahun, kamu bisa meninggal dengan damai," ujar Yulius sambil tersenyum memandang lelaki tua yang baru saja meninggal di tempat tidurnya. "Ah, aku sungguh sial. Entah sampai kapan aku harus terus hidup seperti ini." Yulius menghela napas panjang, tatapannya terlihat sedih dan putus asa. Sudah hampir lima ribu tahun sejak dia memasuki dunia kultivasi. Selama masa yang panjang ini, Yulius tidak dapat mati dan dia juga tidak bisa maju ke tahap berikutnya dalam kultivasinya. Dia telah berkultivasi selama hampir lima ribu tahun, tetapi masih berada dalam tahap pemurnian energi! Ya, Tahap Pemurnian Energi! Tingkat paling dasar dalam dunia kultivasi! Jika benar-benar mengikuti standar yang ketat, Tahap Pemurnian Energi bahkan tidak dapat dianggap sebagai sebuah ranah, tetapi lebih ke tahap pemurnian tubuh. Hanya setelah mencapai Tahap Pembentukan Dasar, barulah seseorang dapat memasuki dunia kultivasi para dewa dan makhluk abadi. Namun, Yulius, malah terus terjebak di Tahap Pemurnian Energi ini dan tidak bisa maju ke tahap berikutnya. Selama ribuan tahun, dia sudah menelan puluhan ribu Pil Pembentuk Dasar Kultivasi, tetapi sama sekali tidak ada efeknya. Pada seribu tahun pertama, gurunya masih mencoba untuk menghibur, mengatakan bahwa karena akar spiritual Yulius jauh lebih kuat daripada orang lain, makanya dia harus tinggal di Tahap Pemurnian Energi sedikit lebih lama. Namun, setelah seribu tahun berlalu, dia masih tidak bisa menembus ke Tahap Pembentukan Dasar. Pada saat itu, gurunya juga mulai merasa apakah mungkin ada kesalahan. Mungkinkah Yulius sebenarnya hanyalah seorang manusia biasa yang sama sekali tidak memiliki akar spiritual? Akan tetapi, bagaimana mungkin manusia biasa bisa hidup selama ribuan tahun tanpa menunjukkan tanda-tanda penuaan? Beberapa waktu kemudian, guru Yulius berhasil melewati ujian petir dan naik ke surga, meninggalkan bumi. Setelah itu, tidak ada yang peduli dengan ranah kultivasi Yulius lagi. Seiring berjalannya waktu, energi spiritual di bumi makin menipis. Saat ini di bumi, bahkan jika Yulius bisa menembus batas kultivasi, dia tetap tidak akan bisa melewati ujian petir untuk menjadi dewa. Namun, Yulius juga tidak pernah berniat untuk menjadi dewa. Dia hanya ingin melampaui Tahap Pemurnian Energi yang terkutuk ini! Hal inilah yang menjadi obsesinya. Hingga saat ini, dia sudah mencapai lapisan Tahap Pemurnian Energi ke-9.832. Sedangkan para kultivator normal hanya perlu mencapai lapisan ke-12 untuk menembus ke Tahap Pembentukan Dasar. Ketika Yulius memikirkan tentang kultivasi, dia merasa sedikit tertekan. Dia menghela napas dalam-dalam, berdiri, dan memandang ke meja yang penuh dengan lembaran resep obat. "Seandainya aku tahu kamu akan menjadi maniak obat seperti ini, aku nggak akan mengajarkanmu ilmu pengobatan!" gumam Yulius sambil menggelengkan kepala dengan perasaan pasrah. Sesuai dengan keinginan terakhir Satya, Yulius harus merapikan semua resep obat ini dan membawanya pergi. Baru saja dia mulai merapikan barang-barangnya, tiba-tiba terdengar dia suara langkah kaki yang berisik. Dia segera mengangkat kepalanya dan melihat ke arah luar jendela gubuk itu. Satya sudah membangun gubuk di tempat terpencil seperti ini, tetapi tetap saja ada yang menemukannya. Yulius sedikit mengernyitkan dahi. Sepuluh menit kemudian, sekelompok orang tiba di depan gubuk. Ada tujuh orang, dua pria dan seorang gadis, seorang kakek tua di kursi roda, dan empat pria kekar berpakaian rapi yang tampak seperti pengawal. Melihat kakek tua di kursi roda yang tampak sekarat, Yulius langsung tahu kalau mereka pasti datang untuk mencari pengobatan. "Halo, Dewa Pengobatan Satya. Aku Ferry dari keluarga Tanadi di Jayan. Kami ingin meminta bantuan Anda untuk menyelamatkan … " Seorang pemuda tampan melangkah maju dan berkata dengan suara keras. Yulius membuka pintu dan menyelanya. "Kalian terlambat. Satya baru saja meninggal." Apa? Semua orang yang ada di sana seketika terkejut. Dewa Pengobatan, Satya Sagara, yang selama ini mereka cari dengan susah payah ... ternyata sudah meninggal? "Bagaimana … bisa begitu … " Wajah Ferry menjadi pucat pasi dan dia menatap kosong ke arah Yulius. Untuk menyembuhkan penyakit kronis Chairil Tanadi, keluarga mereka mengerahkan semua sumber daya yang mereka miliki. Mereka menghabiskan banyak tenaga dan uang untuk mencari tahu di mana keberadaan seorang Dewa Pengobatan bernama Satya Sagara yang sudah mengasingkan diri selama hampir dua puluh tahun ini. Setelah melalui banyak kesulitan, akhirnya mereka menemukan gubuk tempat tinggal Satya. Namun, siapa sangka yang mereka dapatkan justru kabar ini! "Kok bisa kebetulan begini? Kami baru saja menemukannya … nggak, Dewa Pengobatan Satya pasti belum meninggal, dia cuma menghindar dan nggak mau bertemu dengan kami!" teriak seorang gadis dengan mata indah yang memerah, dengan emosi. "Benar! Dewa Pengobatan Satya pasti masih ada di dalam gubuk!" Mata Ferry berbinar penuh harap dan dia langsung melangkah masuk ke dalam gubuk. Di dalam, dia melihat Satya terbaring di tempat tidur dengan mata tertutup rapat. Ferry mengamati dengan saksama dan menyadari bahwa orang tua yang ada di tempat tidur itu ternyata sudah tidak bernapas lagi. "Nggak mungkin … bagaimana bisa begini?" Ferry merasa harapannya hancur dan tubuhnya lemas tak berdaya. "Sudah kubilang, Satya sudah meninggal. Kalian bisa pulang sekarang." Yulius mengernyit sedikit, kurang senang dengan tindakan Ferry yang menerobos masuk ke dalam gubuk. Ferry tiba-tiba teringat sesuatu, lalu menoleh ke Yulius dan bertanya, "Kamu murid Dewa Pengobatan, 'kan? Kamu pasti sudah mewarisi ilmu pengobatannya juga. Tolong sembuhkan kakek kami. Berapa pun biayanya, kami akan membayarnya!" Yulius menggelengkan kepalanya. "Aku bukan muridnya. Aku cuma teman lamanya." Sebenarnya kalau dilihat lebih teliti, Yulius bisa dibilang guru dari Satya. Satya, yang saat itu baru berusia lima belas tahun, mulai mempelajari ilmu pengobatan di bawah bimbingan Yulius. Tentu saja, tidak perlu memberi tahu hal ini, karena tidak akan ada yang percaya. Namun, menyebut dirinya sebagai teman lama juga terasa aneh. Yulius terlihat tidak lebih dari 20 tahun, sementara Satya sudah berusia 80 lebih. Usia mereka terpaut jauh berbeda, bagaimana bisa disebut teman lama? Namun, saat itu tidak ada yang memikirkan hal lain. Semua orang sangat sedih karena harapan mereka telah hancur. Chairil yang duduk di kursi roda, menjadi sangat sedih dan kehilangan semangat hidup setelah mendengar kabar kematian Satya. Matanya terlihat sangat sayu. Ini sudah takdir! Umurnya sudah tidak lama lagi! Tidak perlu berjuang lagi! Gadis itu sangat sedih melihat kakeknya seperti ini hingga dia tidak bisa berhenti menangis. Yulius sedikit mengernyitkan dahi. Dia menatap Chairil, lalu tiba-tiba berkata, "Kamu sudah hidup selama 73 tahun. Seharusnya sudah cukup lama, bukan? Kenapa kamu masih ingin terus hidup?" Semua orang terdiam mendengar pertanyaan itu. Mereka terkejut bagaimana Yulius bisa tahu usia Chairil. Namun, ekspresi mereka berubah begitu mendengar kata-kata Yulius yang selanjutnya. Sudah cukup hidup? Siapa di dunia ini yang merasa sudah cukup hidup? Apa maksud dari kata-kata itu? Apa itu sindiran? Hinaan? "Dasar bajingan, apa maksudmu!?" Wajah Ferry berubah merah karena marah dan dia melayangkan pukulan ke dada Yulius. Mata Yulius sedikit bergerak, tetapi tubuhnya tidak bergeming. Brak! Sebelum tinju Ferry menyentuh Yulius, dia malah merasakan kekuatan besar menghantam tubuhnya, membuatnya terlempar ke belakang dan jatuh ke tanah. Semua orang yang melihat kejadian itu sangat terkejut dan wajah mereka berubah pucat. Jelas-jelas Ferry yang memukul duluan, tetapi pemuda itu tidak bergerak sama sekali. Bagaimana bisa Ferry malah terlempar jatuh? "Kakak!" teriak gadis cantik itu. Keempat pengawal itu langsung bereaksi dan berjalan beberapa langkah ke depan, berdiri di depan Yulius. "Jangan bergerak!" perintah Chairil dengan suara serak dari kursi rodanya. Keempat pengawal itu langsung berhenti. Ferry memegangi dadanya, bangkit dari tanah, dan menatap Yulius dengan rasa takut. "Dik, kami sudah bertindak kurang sopan. Bolehkah aku tahu namamu?" tanya Chairil. "Yulius Fiero," jawab Yulius. Chairil mengangguk kecil dan berkata, "Tadi kamu bertanya kenapa aku ingin terus hidup. Aku bisa menjawab pertanyaanmu." "Karena aku masih ingin terus bersama keluargaku. Aku ingin melihat cucu-cucuku tumbuh besar, melihat mereka menikah, dan melihat mereka punya anak. Bukankah begitu keinginan setiap orang? Menjaga dan mengawasi dari generasi ke generasi," kata Chairil sambil tersenyum. "Kakek … " Gadis di sampingnya menangis lebih keras saat mendengar kata-kata kakeknya. Keluarga … Mata Yulius berkedip singkat. Bagi dirinya, keluarga sudah menjadi sesuatu yang sangat jauh di masa lalu. Namun, bagi orang biasa, keluarga terus ada, dari generasi ke generasi. Namun, siapa sih yang ingin cepat-cepat mati? Kebanyakan orang pasti ingin hidup lebih lama. "Kamu menderita kanker paru-paru stadium akhir, 'kan? Kamu punya waktu kurang dari tiga bulan lagi. Nikmati saja sisa hidupmu," kata Yulius sambil memutar badan dan kembali ke gubuk, lalu menutup pintu. Semua orang dari keluarga Tanadi tercengang. Bagaimana Yulius bisa langsung tahu bahwa Chairil menderita kanker paru-paru? Bagaimana bisa dia tahu juga bahwa hidup Chairil tinggal tiga bulan lagi, sama seperti yang dikatakan para dokter? Dia pasti benar-benar murid Dewa Pengobatan! Setelah menyadari hal itu, Ferry kembali mengetuk pintu gubuk dan berteriak, "Pak Yulius, kamu pasti murid Dewa Pengobatan, 'kan? Tolong sembuhkan kakekku. Kami … " "Hidup dan mati sudah ditentukan. Kalau kalian nggak segera pergi, jangan salahkan aku kalau bersikap kasar." Terdengar suara tenang Yulius dari dalam gubuk. "Dokter dengan hati yang mulia, bagaimana kamu bisa melihat orang meninggal tanpa melakukan sesuatu … " Ferry berkata dengan marah. "Ferry, kembali," kata Chairil. "Kakek!" Mata Ferry memerah dan dia menoleh ke arah Chairil. "Adik itu benar. Hidup dan mati sudah ditentukan. Kalau Tuhan menginginkan aku mati, bagaimana bisa aku melawannya? Ayo kita pergi," kata Chairil. "Dik, aku sangat menghormati Pak Satya dan aku nggak menyangka kalau Pak Satya sudah meninggal dunia. Maafkan kami yang sudah mengganggu kedamaian Pak Satya hari ini. Kuharap arwahnya di alam baka nggak marah kepada kami," kata Chairil dengan tulus. Setelah selesai berbicara, dia langsung mengajak semua orang untuk pergi dari tempat itu. Ferry, meskipun tidak rela, hanya bisa mengikuti perintah kakeknya dan ikut pergi. Dalam perjalanan pulang, tidak ada yang berbicara sepatah kata pun. Suasananya menjadi sangat suram dan sedih. Ferry memperhatikan adiknya yang tampak sedang berpikir keras, dengan dahi mengernyit dia bertanya, "Selina, apa yang kamu pikirkan?" Selina mengernyitkan dahi dan bergumam, "Aku merasa kalau Yulius ini nggak asing. Sepertinya aku pernah bertemu dengannya di suatu tempat." "Bagaimana mungkin? Ini pertama kalinya kita datang ke wilayah barat laut, bagaimana mungkin kamu pernah bertemu Yulius?" tanya Ferry. "Iya juga sih … tapi, aku benar-benar merasa dia tampak nggak asing," kata Selina sambil memijat pelipisnya. Ferry yang sedang dalam suasana hati buruk, tidak lagi memedulikan Selina dan mengira adiknya salah orang. Namun, setelah berjalan beberapa langkah lagi, Selina tiba-tiba berhenti. "Aku … aku ingat! Aku pernah melihatnya di sekolah!"
Previous Chapter
1/100Next Chapter

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.