Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 2

Saat Alice masih tertegun, suara gemuruh helikopter mendekat dari kejauhan. Pasukan penyelamat pria itu telah tiba. Dia menatap helikopter yang berputar-putar di atas kepalanya. Pintu kabin helikopter terbuka, menjatuhkan sebuah tangga tali. Seorang pria lain dengan pakaian kamuflase turun dari atas. Melihat hal itu, Alice segera berbalik dan berlari. Damian menegakkan tubuhnya untuk melihat bayangan Alice yang semakin menjauh. Sudut bibirnya terangkat menunjukkan senyum kegembiraan. "Jadi, kamu bersembunyi di sini. Aku akan kembali mencarimu … " ujar Damian. … Di sebuah rumah tua yang rusak di kaki gunung. Di depan rumah itu, dua mobil BMW hitam terparkir dan halaman penuh dengan orang-orang yang penasaran. Di ruang tamu, Nenek Yulia sedang menerima keluarga Amarta yang datang dari kota. Mereka adalah Carlo Amarta, Amel Kaden dan putri yang tertukar, Silvi Amarta. Ketiganya berpakaian mewah dan elegan, sangat kontras dengan ruang tamu yang kumuh dan penuh dengan berbagai macam obat herbal. Silvi memandang cangkir teh kotor dan rusak di depannya dengan tatapan jijik. Dia mengamati sekeliling ruang tamu, melihat dinding yang catnya terkelupas, tumpukan ramuan yang berserakan. Di musim panas seperti ini, ruangan itu bahkan tidak memiliki AC, hanya kipas gantung yang berdecit dan berputar dengan susah payah. Rasa jijik dan penolakannya semakin kuat. Bagaimana mungkin dia adalah anak dari keluarga yang begitu miskin ini? Dia adalah putri keluarga Amarta! "Ayah, aku sangat kepanasan. Apakah Alice tidak ingin menemuiku? Apakah dia berpikir aku merebut orang tuanya?" ujar Silvi dengan nada merajuk sambil memeluk lengan Carlo. "Kamu bicara apa? Ini bukan salahmu kamu tertukar. Bagaimana mungkin dia menyalahkanmu?" jawab Carlo dengan suara keras. Sebelum datang, mereka sudah berbicara melalui telepon, menyepakati untuk membawa Alice kembali ke keluarga Amarta. Namun, karena Silvi telah dibesarkan selama tujuh belas tahun, perasaan mereka tidak bisa diputus begitu saja, sehingga keluarga Amarta memutuskan untuk tetap merawatnya. Ekspresi Silvi semakin menunjukkan rasa tidak senangnya saat dia berkata, "Kalau begitu, kenapa dia membuat kita menunggu begitu lama … " Dia menoleh ke arah Nenek Yulia dan berkata, "Kamu bisa tidak pergi mencari Alice? Suruh dia segera datang." Tanpa ada sapaan, meski kalimatnya berupa pertanyaan, nada bicaranya seperti memerintah seorang pelayan. Nenek Yulia yang sejak tadi mengamati tingkah laku Silvi, menghela napas pelan. Baru saja dia hendak bangkit, Carlo langsung menghentikannya. "Tidak perlu mencarinya. Tunggu lima menit lagi, kalau dia belum kembali, kita akan pergi," ujar Carlo. Amel yang mendengar ini segera meletakkan cangkir teh dengan cemas. Dia tidak ingin putri kandung yang mereka temukan dengan susah payah ini terlewatkan lagi. Dia hendak membujuk, tetapi tiba-tiba terdengar suara tegas dari luar rumah. "Nenek, aku sudah pulang." Semua orang menoleh ke arah suara itu. Tampak seorang gadis tinggi dan langsing berdiri di ambang pintu, siluetnya terlihat jelas melawan cahaya matahari, memancarkan aura dingin yang membuat orang merasa segan. Ketika gadis itu melangkah masuk, Nenek Yulia yang meski sudah tua tetapi masih memiliki penglihatan tajam, langsung menyadari bahwa kebaya gadis itu robek di bagian bawah. "Alice, ada apa ini?" tanya Nenek Yulia sambil mendekat. Alice menopang Nenek Yulia sambil berkata, "Nenek, aku tidak apa-apa." Sambil berbicara, dia menunduk memandang kebaya yang dikenakannya, "Bajunya … tidak sengaja robek … " Saat itu, barulah semua orang melihat dengan jelas bahwa kebaya yang dikenakan Alice tidak hanya kotor tetapi juga compang-camping. Melihat ini, Silvi semakin merasa jijik. Tempat terpencil dan miskin ini bahkan tidak punya pakaian yang layak! Dia bertekad untuk tidak pernah kembali ke tempat menyedihkan ini lagi! "Robek ya sudah, nanti Nenek buatkan yang baru," kata Nenek Yulia sambil berbalik untuk memperkenalkan, "Alice, ini ayah dan ibumu, serta saudara perempuan yang tertukar." Mata Alice mengikuti arah pandang neneknya dan pertama kali melihat Carlo. Pria itu berpakaian rapi dengan setelan jas, rambutnya hitam tanpa tanda kebotakan, tubuhnya sedikit berisi, umurnya hampir 50 tahun tetapi tampak seperti awal 40. Dia terlihat muda. Carlo telah menunggu lebih dari setengah jam di tempat yang panas dan kumuh ini. Ketika putri yang ditunggunya muncul dengan pakaian compang-camping dan tidak menyapanya, rasa kesal semakin membuncah di hatinya. Dengan nada tidak sabar, dia bertanya, "Kenapa membuat kami menunggu begitu lama?" "Aku tidak sengaja terjatuh saat turun gunung," jawab Alice sambil menunduk. Bulu matanya yang tebal menutupi tatapan dinginnya, membuatnya terlihat seperti anak kecil yang merasa bersalah. Carlo melihat wajah cantik Alice yang mirip dengan Amel, ditambah lagi sikapnya yang sopan, membuatnya sulit untuk terus marah. "Dasar ceroboh, ayo naik mobil," ujarnya singkat, lalu berbalik meninggalkan tempat itu tanpa ingin berlama-lama lagi. “Alice, aku adalah ibumu. Biarkan Ibu melihat, apakah kamu terluka?” ujar Amel menghampiri Alice, menggenggam tangannya dan memeriksa apakah anaknya terluka. Alice menatap wanita anggun di depannya yang penuh kekhawatiran, mengingatkannya pada ibu angkatnya yang lembut. Alice menjawab, “Aku baik-baik saja, terima kasih.” "Bu, ayo pergi. Jangan biarkan Ayah menunggu terlalu lama," kata Silvi sambil menarik tangan Amel dengan niat untuk segera pergi. "Iya, iya," balas Amel sambil mengangguk berulang kali, tetapi matanya tetap tertuju pada Alice, "Alice, ayo kita pulang, jangan buat ayahmu menunggu." Alice mengangguk dan berpamitan dengan Nenek Yulia. Melihat perhatian Amel yang sepenuhnya tertuju pada Alice, hati Silvi merasa tidak nyaman. Dengan sengaja, dia menarik Amel lebih keras, tetapi tidak berhasil dan membuatnya semakin kesal. Dengan marah, dia melepaskan genggaman Amel dan hendak mencari Carlo ketika Nenek Yulia memanggilnya. "Silvi, kamu sudah memikirkannya matang-matang? Tidak ingin tinggal di sini?" tanya Nenek Yulia sambil menatap Silvi dengan tatapan tulus. Barulah Alice menatap Silvi. Gadis itu berambut panjang lurus, wajah yang biasa saja, tetapi penampilan penuh merek terkenal membuatnya tampak seperti gadis kaya sejati. "Tidak," jawab Silvi tanpa ragu. Rasa jijik yang dia rasakan terpampang jelas di wajahnya. Apakah dia terlihat begitu bodoh? Rela meninggalkan kehidupan mewah hanya untuk datang ke tempat kumuh ini dan menderita? Nenek Yulia menghela napas pelan dan berkata, "Pulanglah, kalau ada waktu, kunjungilah ayahmu." Mendengar tentang ayah kandungnya, wajah Silvi langsung berubah masam. Sebelum datang, keluarga Amarta telah menyelidiki latar belakang keluarga asli Silvi. Ayah kandungnya adalah seorang pembunuh yang sedang menjalani hukuman seumur hidup di penjara. "Ayahku hanya satu, namanya Carlo," ujar Silvi, lalu menarik paksa Amel dan pergi. Alice hanya bisa terdiam melihat kepergian mereka. Nenek Yulia menatap punggung Silvi yang pergi dengan penuh keteguhan, lalu menggelengkan kepala dengan putus asa. Kemudian, dia beralih kepada Alice dan berkata, "Pulanglah, Nak." "Ya, Nek," balas Alice sambil membungkuk dan memberikan pelukan kepada neneknya. Lalu, dia berbisik di telinga Nenek Yulia, "Aku akan mengunjungi Ayah dan aku akan membersihkan namanya." Setelah berkata demikian, tanpa memberi kesempatan Nenek Yulia untuk mencegahnya, dia mengambil tas kainnya dan berbalik pergi. Di luar halaman hanya tersisa satu mobil, ada sopir yang berdiri di samping pintu menunggunya. Alice mendekat, sopir membuka pintu untuknya. Begitu masuk, barulah dia melihat ada seseorang di kursi belakang!

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.