Bab 24
"Leira, bukannya aku meragukanmu," tutur Yoga. "Sekretaris Yani sudah mengikutiku puluhan tahun, aku nggak bisa sembarangan menuduhnya," jelasnya perlahan.
Leira mengangguk paham.
Lantas, dia mendekati Sekretaris Yani dengan langkah hati-hati. "Sebelumnya, aku memang nggak menemukan keanehan dari foto-foto itu karena ..."
Leira berhenti sejenak.
Sekretaris Yani menatapnya penuh gelisah.
"Karena kamu sudah operasi plastik, wajahmu benar-benar beda sekarang."
"Saya nggak pernah melakukan operasi plastik," bantah Sekretaris Yani dengan tegas, lalu melemparkan tatapan marah kepada Yoga. "Pak Yoga, saya nggak mengerti mengapa Anda harus mempermalukan saya seperti ini?"
"Saya sudah setia bekerja puluhan tahun untuk Anda, melewati suka duka, dan berkontribusi tanpa pamrih. Jika Anda mau pecat saya, langsung bilang saja! Nggak perlu hina saya dengan tuduhan nggak jelas!"
Yani tampak sangat marah.
Zarren hanya memutar matanya, malas mendengar drama itu. "Heh, memangnya kamu siapa? Cuma sekretaris. Kalau keluarga Suryadinata mau pecat kamu, nggak perlu susah payah begini."
Yani langsung terdiam.
Dia mengabaikan Zarren, lalu menoleh ke arah Yoga.
Mengharapkan pembelaan darinya.
Namun, Yoga tidak goyah. Dia memercayai Leira.
"Leira, bisa tunjukkan bukti yang jelas? Biar dia percaya dan nggak ada perdebatan lagi."
Leira mengangguk. "Tentu saja bisa."
"Apakah ada kertas dan pensil sketsa?" tanyanya.
"Ada, ada."
Zarren segera menyuruh pelayan untuk mengambil papan gambar dan pensil.
Leira langsung mengambil pensil, mulai menggambar pada kertas.
Sambil menggambar, dia menjelaskan, "Seseorang bisa mengubah wajahnya lewat operasi plastik, tapi nggak akan bisa mengubah takdir."
"Orang bilang, raut wajah seseorang bisa mencerminkan hatinya. Penampilanmu berubah karena tindakan buruk yang pernah kamu lakukan."
Suara goresan pensil mulai menari-nari di atas lembaran kertas.
Sementara itu, wajah Yani terlihat makin muram.
Ketika Yoga dan sang istri duduk di sampingnya seraya melihat wajah karakter yang mulai terlihat di atas papan gambar, mereka sangat terkejut.
"Kenapa bisa dia?"
"Bukannya dia sudah mati?"
Merasa penasaran, Zarren ikut melihat sketsa itu. Gambar wajah yang dibuat Leira jauh lebih menarik dan cantik dibandingkan penampilan Yani sekarang.
Biasanya, orang akan berubah cantik setelah operasi plastik. Akan tetapi, berbeda dengan Yani yang terlihat biasa saja.
Akhirnya, Leira berhenti menggambar. "Ini adalah wajah aslimu," ujarnya dingin.
Dia memutar papan gambar dan mengarahkannya ke Yani, "Benar, 'kan?"
Wajah wanita di sketsa itu memiliki ciri-ciri mencolok, tetapi ada sesuatu yang menyeramkan di matanya. Sekadar melihat gambar itu saja sudah terasa menakutkan.
"Itu bukan aku!" sangkal Yani dengan nada tinggi.
"Nggak masalah kalau nggak mau mengaku. Toh, aku punya cara untuk membuktikannya," balas Leira.
Leira menatap tajam ke arah hidung Yani. "Kamu pernah operasi hidung, 'kan? Orang yang pernah operasi hidung ..."
"Oh, aku tahu! Aku tahu! Ada satu gerakan yang nggak bisa dilakukan!" potong Zarren bersemangat, lalu berlari ke arah Yani. Meskipun Yani sempat menjerit, Zarren menekan hidungnya dengan cepat.
Hidung yang ditekan tepat di bagian tengah adalah mimpi buruk bagi semua orang yang telah melakukan operasi hidung.
Yani pun menjerit histeris, hidung yang tegak lurus seketika miring akibat perbuatan Zarren!
"Wah, gila! Padahal cuma kutekan sedikit!" seru Zarren terkejut.
Dia melompat mundur.
Yani memegangi hidungnya dengan marah, sorot matanya terarah tajam kepada Zarren dan Leira.
Leira menambahkan dengan nada tenang, "Operasi plastik butuh perawatan rutin. Seiring usianya bertambah, makin banyak perawatan yang diperlukan. Coba periksa apa dia pernah datang ke klinik operasi plastik dalam beberapa tahun terakhir, baru kamu tahu yang sebenarnya."
"Kenapa kalau aku operasi plastik, sih? Memangnya ada hukum yang melarangku melakukan operasi plastik?" teriak Yani sembari menutup hidungnya.
Yoga sudah melindungi Jina di belakangnya, menatap Yani penuh amarah. "Jamira, ternyata kamu masih hidup," ujarnya.
"Pak Yoga, saya bukan Jamira, saya nggak tahu apa yang sedang Anda bicarakan," bantah Yani, nadanya makin putus asa.
Namun, dia tak tinggal diam. Sambil menjerit, dia mencoba untuk menerjang ke arah Yoga dan Jina.