Bab 7
Jantung Nadira berdegap kencang, lalu meneruskan ketiga pesan dari Yohan pada Sabrina tanpa mengubahnya.
Tidak sampai dua detik, Sabrina langsung mengamuk di telepon. Saat telepon diangkat, dia membentak penuh emosi. "Dasar jalang! Kuperingatkan kamu, jangan coba-coba goda kakak iparku! Aku sedang mengandung cucu pertama di keluarga Salim dan kamu sudah nggak punya harapan lagi!"
"Kamu menyadari dia suamiku, 'kan? Tutup mulutmu! Jangan teriak-teriak. Jika aku kesal dan menggoda Yohan betulan, mungkin kamu keguguran sendirian."
Dia bilang, cucu pertama keluarga Salim?
Mendengar pengakuan Sabrina yang hamil anak Yohan terasa lebih menyakitkan daripada rencana penculikan yang dia buat.
"Kamu!"
Nadira menutup telepon dengan tatapan dingin.
Saat itu, mobil sudah tiba di kediaman. Entah sudah berapa lama mereka berhenti di sana.
Suasana di mobil terasa begitu dingin dan tegang.
Saat dirinya membuka sabuk pengaman, Nadira baru menyadari sesuatu. Dia segera menoleh. Mata gelap pria itu bagai kolam es ketika melihat tangannya yang gemetar tengah berusaha membuka sabuk pengaman.
Pria itu mencondongkan tubuh untuk membantunya sambil mengingatkan dengan nada dingin. "Sebaiknya, kamu nggak menyebut pria lain di hadapanku!"
Nadira terdiam. Mengapa pria ini begitu mendominasi dan keras kepala?
Pernikahan ini sekadar kesepakatan, tetapi dia yang mengatur segalanya. Nadira terpaksa bersikap lembut di luar dan perlahan menjawab, "Aku mengerti."
Namun, tangan besar milik pria itu sontak memegang dagunya.
Tanpa disangka, bibir mereka bertemu dalam sebuah ciuman mendadak ketika pria itu menunduk.
Tercium samar aroma sensual tembakau dari bibir tipisnya yang dingin.
Otak Nadira serasa berhenti bekerja.
Setelah beberapa saat, Nadira tersadar. Dia tidak menyangka pria itu menggigitnya dan ingin menciumnya lebih dalam …
Wajahnya langsung bersemu seraya mendorongnya, lalu dia berseru, "Pak! Apa yang kamu lakukan?"
Nadira merasa murka. Dia menutupi bibirnya yang telah digigit, sementara wajahnya pucat pasi karena gugup.
Wajah gadis itu langsung merah padam. Reaksinya seperti kucing kecil yang ketakutan, tampak sangat polos.
Pria itu agak terkejut, mata gelapnya menatap tajam. Dia menjilat bibirnya dan bertanya, "Ciuman pertama, ya?"
Rasanya, Nadira ingin menghilang saja.
Sebagai seorang wanita sosialita nomor satu, dia memiliki pemikiran konservatif. Meskipun dia telah mengagumi Yohan delapan tahun lamanya, dia ingin memberi ciuman pertamanya pada malam pernikahan.
Mungkin inilah alasan Yohan begitu tidak sabar untuk tidur dengan Sabrina.
"Hm?" Pria itu mendekatinya, suaranya makin rendah dan berat.
Nadira pikir, penampilannya sekarang sudah seperti udang rebus. Dia ingin kabur dari pelukan pria itu, tetapi tubuhnya yang lemas malah dipeluk makin erat. Suara berat nan serius milik pria itu berkata, "Kalau gitu, maafkan aku. Apa aku harus membiarkanmu ... membalas?"
Nadira menatap sorot mata hitamnya yang dalam, sulit menilai adakah niat bercanda atau tidak di sana.
Namun, sepertinya, dia sudah tidak murung lagi.
Apa dia senang?
"Pak, tolong jaga sikapmu!" Dia turun dari mobil penuh amarah, lalu bergegas masuk ke vila.
…
Nadira tidak melihat pria itu saat makan malam.
Ibu mertuanya cemberut dan menunjuk ke lantai atas. "Dia langsung kerja begitu sampai rumah. Nggak ada waktu untuk menemani istri barunya. Pria yang kaku dan membosankan. Nadira, ayo kita makan, biar gizi cucu kesayanganku bertambah!"
Ternyata, hubungan ibu dan anak ini tidak harmonis.
"Kamu masih belum terbiasa di sini, 'kan? Biarkan pelayan membawamu keliling rumah ini setelah makan."
Mata Nadira agak berbinar dan tersenyum. "Baik, Ibu."
Usai makan malam, Nadira berjalan menuju taman belakang. Saat itu, dia baru menyadari betapa luasnya tempat ini. Ada beberapa rumah yang terpisah, kolam renang, dan lapangan. Tempat ini lebih terlihat seperti perkebunan mewah daripada vila.
Diam-diam, dia merenung dan bertanya pada Bi Sunny dengan tatapan ingin tahu. "Bi Sunny, aku dan suamiku memang sudah menikah, tapi aku belum tahu nama lengkapnya. Bisakah kamu beri tahu aku siapa namanya?"
"Maaf, Nyonya Nadira. Kami sudah kerja di sini selama setengah tahun, tapi hanya tahu kalau inisial nama belakang tuan itu L. Selain itu, kami nggak berani tanya lebih jauh."
Bi Sunny menjawab dengan jujur.
'L lagi?' pikir Nadira.
Sepertinya, para pelayan juga tidak tahu apa-apa soal identitasnya.
Nadira mengernyit saat kembali ke kamar.
Jika pria itu sengaja menyembunyikan, dia tidak akan bisa mendapat informasi dari siapa pun. Sepertinya, dia harus menyelidiki sendiri siapa sosok asli pria ini!
Saat itu, sang ibu mertua menyambutnya dengan senyum lebar dan membawa secangkir kopi. "Nadira, sudah selesai jalan-jalan? Bagus. Suamimu sudah bekerja keras, lho. Bagaimana kalau bawakan secangkir kopi untuknya?"
Di mata sang ibu mertua, jelas terlihat niatnya untuk membantu mendekatkan hubungan mereka.
Dia tidak tahu bahwa ini hanyalah pernikahan palsu dan membahagiakannya adalah bagian dari perjanjian.
Nadira menerima kopi itu dengan patuh, mengikuti ibu mertuanya naik ke lantai atas, lalu mengetuk pintu ruang kerja.
Setelah beberapa saat, terdengar suara berat milik seorang pria dari dalam. "Ada apa?"
Ibu mertuanya langsung mendorong Nadira masuk dan menyanjung, "Istrimu mau memijat bahumu!"
Setelah bicara begitu, pintu langsung dikunci dari luar.
Nadira melirik canggung ke arah pria yang duduk tegak di balik meja. Dia tidak mengangkat mata sedikit pun, bahkan sikapnya begitu dingin.
Panggilan video masih berlangsung, dia sedang rapat.
Nadira tidak berani bersuara dan hanya bisa menruh kopi di mejanya dengan hati-hati.
Saat itu, kelihatannya rapat sudah selesai. Tiba-tiba, ada suara seorang pria bernada candaan. "Kak, ini agak di luar topik, sih. Kenapa kamu bisa langsung menghamilinya sekali coba?"
"Memangnya kamu nggak lihat dia jomlo tahunan? Ya, wajar kalau begitu ... haha!"
Nadira, yang sedang melamun, tiba-tiba tersadar. Kedua pria di video itu tampaknya membicarakan dia dan topik itu sangat tidak sopan!
Pipinya langsung merona.
Dia buru-buru melirik pria di balik meja, tetapi dia masih fokus bekerja dan kelihatannya tidak peduli.
Namun, percakapan di panggilan video makin tidak sopan. "Aku pernah ke toilet bareng dia dan punya dia itu …"
Saat itu, pria tersebut mendongak dan menatap layar. Ekspresinya tetap datar, tetapi tatapannya terlihat genit. Artinya, dia mendengar semuanya!
Tiba-tiba, dia menoleh ke arah Nadira yang wajahnya merona dan terlihat serius ketika bertanya, "Kenapa kamu masih berdiri di sana dan menguping? Tolong jaga sikapmu."
Pria itu benar-benar mengembalikan perkataan yang pernah dia ucapkan!
Nadira menangkap gurauan di matanya. Pria ini begitu pendendam!
Dia tersipu dan buru-buru berkata, "Aku juga nggak mau dengar, tapi telingaku nggak bisa menutup."
"Jadi, kamu paham?" Pria itu tersenyum tipis sambil menatapnya tajam.
Nadira tidak bisa membalas.
Nadira ingin kabur karena malu. Pria itu menatap bibir merah muda lembutnya, pinggang rampingnya, dan ejekan teman-temannya terlintas dalam benak. Matanya menggelap ketika mengingat malam itu. Usai berpikir sejenak, dia memanggil Nadira dengan suara parau, "Nyonya Nadira. Kita perlu bicara."
"Aku akan menambahkan satu aturan dalam perjanjian pernikahan kita. Tiga bulan kemudian, kamu harus tetap menjalankan kewajibanmu. Mengerti?"
Tiga bulan?
Nadira berbalik dan melihat tatapan matanya. Dia langsung paham apa yang dimaksud "kewajiban"!
Wajahnya langsung merona lagi. Bagaimana bisa pria ini mengajukan permintaan seperti itu?
Dia mencoba melawan, "Pak, pernikahan kita ini hanya pura-pura. Tadi, kudengar dari pelayan kalau ibumu tinggal di rumah terpisah dalam area ini. Selain saat Ibu datang dan kita harus pura-pura mesra, apa aku nggak boleh pulang ke rumah?"
"Bagaimana menurutmu?"
Nadira tidak sanggup melawan aura dinginnya yang mengintimidasi.
"Beberapa hal memang benar." Dia mengungkapkan keinginannya dengan sorot mata dalam nan ambigu, tetapi ekspresinya terlihat dingin serta tegas. "Lagi pula, kamu nggak punya hak menolak."
Nadira menggigit bibir, tahu dirinya tidak punya posisi untuk membantah saat ini. Dia pikir, masih ada waktu tiga bulan. Kalau misi balas dendamnya selesai, pasti dia akan mencampakkan pria ini!
Hmm.
…
Nadira kembali ke kamar dengan kesal dan mendapati banyak panggilan tidak terjawab dari Yovita.
Saat dia menelepon balik, suara dari ujung sana terdengar cemas, "Akhirnya kamu angkat teleponku juga, Nadira."
"Aku sudah pulang dan berhasil kabur dari keluarga Winata dengan selamat."
Yovita tertawa dingin. "Mereka mau mencelakakanmu lagi, ya?"
"Cara mereka begitu kekanak-kanakan dan mudah terbaca." Lalu, Nadira menceritakan semuanya. Dia sudah menduga ada masalah dengan sup itu sejak awal, sehingga dia sudah lebih dulu menelan satu pil penawar racun dari kantong jarumnya. Tidak hanya menetralkan racun, pil itu juga aman untuk ibu hamil.
Yovita bertepuk tangan dengan gembira. "Untung saja Bibi meninggalkan banyak resep obat untukmu!"
Keahlian medis Nadira diwariskan ibunya. Dulu, dia tidak mengerti alasan ibunya mengajari dirinya secara diam-diam. Sekarang, dia sadar, mungkin ibunya sudah mempersiapkan ini sejak lama!
"Nggak sehebat itu, kok."
"Nggak hebat apanya? Kamu bisa menyembuhkan masalah pencernaanku dengan akupunktur, lho. Aku ingat, kamu pernah cerita kalau dulu pernah menyelamatkan seorang pria …"
Nadira tersenyum. Memang benar, dia pernah menyelamatkan seorang pria. Saat itu, dia tengah bersaing dengan perusahaan musuh bebuyutannya untuk mendapatkan klien. Dalam perjalanan dinas ke provinsi tetangga, dia bertemu seorang pria yang punya gangguan tidur sambil berjalan. Karena iba, dia membantu pria itu dengan akupunktur. Itu adalah kali pertamanya menyelamatkan nyawa orang asing.
Yovita mengalihkan pembicaraan. "Eh, tapi utamanya, aku ingin tahu tentang suami misteriusmu itu!"
Mengingat permintaan suaminya yang kurang sopan tadi malam, Nadira pun kesal. "Aku belum menggali banyak informasi tentang dia malam ini. Aku cuma tahu kalau inisial nama belakangnya L."
"Ukuran berapa?"
Nadira hendak menjawab bahwa dia juga tidak tahu, tetapi tiba-tiba dia sadar dan menggertakkan giginya. "Yovita!"